Adanya rencana dari DPR RI yang tengah mempersiapkan RUU Larangan Minuman Beralkohol dimana melarang semua produksi, peredaran, penjualan, dan konsumsi segala jenis minuman beralkohol termasuk minuman tradisional seperti Cap Tikus mengundang protes dari berbagai kalangan.
Ketika dihubungi, Roby Sangkoy, MPd yang merupakan anggota DPRD Minahasa Selatan memprotes RUU tersebut. Menurut Sangkoy, usaha Cap Tikus masuk kategori tradisional karena merupakan warisan leluhur yang patut dilestarikan bukan dimusnahkan, karena melihat daerah lain seperti arak Bali yang dilegalkan pemerintah.
“Apakah Sulut bukan bagian NKRI dan apakah objek wisata hanya ada di Bali,” pungkas Sangkoy yang juga Ketua DEKOPIN Minsel. Sangkoy menambahkan pihaknya akan bersama – sama dengan petani dan penampung Cap Tikus melakukan pertemuan terlebih dahulu untuk membahas langkah – langkah yang akan diambil dengan adanya RUU larangan Minuman Beralkohol tersebut.
Sementara itu, Dr. Ferry Liando secara terpisah mengatakan bahwa Data dari kepolisian bahwa banyak kasus kriminal dan kejahatan bersumber dari miras, tapi miras bukan hanya cap tikus. Banyak miras impor juga masuk Sulut dan itu diperdagangkan secara bebas.” Keliru jika hanya cap tikus dijadikan tumbal atau sasaran semata sehingga tidak ada alasan untuk melarang produksi cap tikus,” ujar Liando
Liando menjelaskan Produksi cap tikus jangan dilarang tapi yang perlu ditertibkan adalah pelaku penyalahgunaan miras. Perlu aturan seperti membuat perda bahwa produksi cap tikus tidak dilarang tapi menertibkan mereka yang melakukan kejahatan. Jadi bisa saja ia minum alkohol dan mabuk, tapi sepanjang ia tidak membuat onar dan tidak buat kejahatan maka ia tidak membuay pelanggaran. Seseorang bisa dibebaskan mabuk asal ada aktivitas yang harus dibatasi saat ia mabuk seperti tidak boleh membawa mobil, tidak boleh berada dikerumunan atau tempat publik.
Diketahui, Minuman khas tradisonal Minahasa yakni Cap Tikus nantinya akan dilarang beredar dan diproduksi. Bukan hanya itu saja, sanksinya adalah pidana dan denda. Dengan demikian, petani cap tikus bakal kehilangan pekerjaan dan para tengkulak tidak lagi menampung Cap Tikus. Hal ini akan menyebabkan kerugian besar karena tingginya perputaran uang dengan adanya Cap Tikus yang sudah dikenal luas di Indonesia.
Ketika dihubungi, Roby Sangkoy, MPd yang merupakan anggota DPRD Minahasa Selatan memprotes RUU tersebut. Menurut Sangkoy, usaha Cap Tikus masuk kategori tradisional karena merupakan warisan leluhur yang patut dilestarikan bukan dimusnahkan, karena melihat daerah lain seperti arak Bali yang dilegalkan pemerintah.
“Apakah Sulut bukan bagian NKRI dan apakah objek wisata hanya ada di Bali,” pungkas Sangkoy yang juga Ketua DEKOPIN Minsel. Sangkoy menambahkan pihaknya akan bersama – sama dengan petani dan penampung Cap Tikus melakukan pertemuan terlebih dahulu untuk membahas langkah – langkah yang akan diambil dengan adanya RUU larangan Minuman Beralkohol tersebut.
Sementara itu, Dr. Ferry Liando secara terpisah mengatakan bahwa Data dari kepolisian bahwa banyak kasus kriminal dan kejahatan bersumber dari miras, tapi miras bukan hanya cap tikus. Banyak miras impor juga masuk Sulut dan itu diperdagangkan secara bebas.” Keliru jika hanya cap tikus dijadikan tumbal atau sasaran semata sehingga tidak ada alasan untuk melarang produksi cap tikus,” ujar Liando
Liando menjelaskan Produksi cap tikus jangan dilarang tapi yang perlu ditertibkan adalah pelaku penyalahgunaan miras. Perlu aturan seperti membuat perda bahwa produksi cap tikus tidak dilarang tapi menertibkan mereka yang melakukan kejahatan. Jadi bisa saja ia minum alkohol dan mabuk, tapi sepanjang ia tidak membuat onar dan tidak buat kejahatan maka ia tidak membuay pelanggaran. Seseorang bisa dibebaskan mabuk asal ada aktivitas yang harus dibatasi saat ia mabuk seperti tidak boleh membawa mobil, tidak boleh berada dikerumunan atau tempat publik.
Diketahui, Minuman khas tradisonal Minahasa yakni Cap Tikus nantinya akan dilarang beredar dan diproduksi. Bukan hanya itu saja, sanksinya adalah pidana dan denda. Dengan demikian, petani cap tikus bakal kehilangan pekerjaan dan para tengkulak tidak lagi menampung Cap Tikus. Hal ini akan menyebabkan kerugian besar karena tingginya perputaran uang dengan adanya Cap Tikus yang sudah dikenal luas di Indonesia.