Selama sepuluh tahun terakhir kita menikmati hak kita memilih langsung kepala daerah kita tanpa ada perantara. Sesuatu yang hanya sekedar mimpi di zaman orde baru dahulu. Dari proses ini, banyak bermunculan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas dan pro rakyat seperti Risma di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, Jokowi di Solo, Ahok di Belitung Timur, duet Jokowi-Ahok di Jakarta, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, dsb.
Tiba-tiba setelah Pilpres selesai, kita digemparkan dengan berita bahwa bulan September ini DPR akan mensahkan RUU Pilkada dimana pemilihan kepala daerah kembali tidak langsung, yakni dipilih oleh DPRD. Saya pikir, gila atau apa DPR ini? Kita semua tahu hasilnya, RUU sudah disahkan tanggal 26 September kemarin.
Buat para politikus, memang jelas, karena tujuan mereka adalah untuk berkuasa, maka sistem yang paling menguntungkan merekalah yang akan dipilih, tidak peduli apakah itu akan menguntungkan atau merugikan rakyat. Bagi koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PPP, PAN dan PKS), pemilihan tak langsung melalui DPRD jelas menguntungkan mereka karena mereka menguasai suara mayoritas DPRD I di 31 propinsi [1]. Jika diadakan Pilkada melalui DPRD, maka Koalisi Merah Putih (KMP) akan memborong 31 kursi gubernur dari 34 propinsi yang ada (catatan: hasil di Maluku Utara masih menunggu keputusan MK). Karenanya, tidaklah mengherankan jika KMP akan akan berusaha sekuat tenaga untuk menghapus Pilkada langsung dan mengembalikannya ke DPRD. Sebaliknya, untuk koalisi pendukung Jokowi-JK (PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura) mereka akan berusaha mempertahankan Pilkada langsung.
Namun ternyata bukan hanya di DPR, di masyarakatpun ada orang yang menghendaki agar Pilkada langsung dihapuskan, dan kembali ke Pilkada tidak langsung. Saya mencoba merenung, kok bisa ada orang yang senang hak memilihnya dicabut dan diwakilkan ke orang lain. Ini aneh bin ajaib menurut saya. Orang lebih suka memilih langsung daripada diwakilkan adalah sebuah “common sense”. Tapi kenapa ada orang yang “ngotot” justru ingin Pilkada oleh DPRD?
Setelah saya perhatikan, orang-orang yang “ngotot” ingin Pilkada oleh DPRD ini diantaranya adalah mereka para kader atau simpatisan parpol-parpol yang tergabung dalam KMP. Masyarakat dalam golongan ini, pilihannya sudah di-dropdari atas oleh pimpinan partainya. Ketika pimpinan partai memutuskan bahwa Pilkada oleh DPRD yang terbaik bagi partainya, maka mereka akan membelanya mati-matian, tidak peduli apakah itu pro-rakyat atau tidak.
Sebelum Pilpres, PKS mendukung Pilkada langsung. Bahkan dalam rapat Panitia Kerja RUU Pilkada terakhir di Komisi II, PKS masih bertahan untuk melakukan Pilkada secara langsung. Namun kemudian berbalik arah mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. “Perubahan PKS ini penyikapan yang sangat dinamis dan kami belajar dari Koalisi Merah Putih untuk satu suara,” kata Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid [2].
Kita bisa melihat di media sosial bagaimana kader dan simpatisan PKS membela mati-matian Pilkada oleh DPRD. Bahkan Jonru, salah satu kader PKS yang namanya mencuat karena Pilpres 2014, membuat analisis bagaimana Pilkada melalui DPRD merupakan sistem yang lebih mendekati syariat Islam [3]. Dia lupa kalau sebelum Pilpres PKS adalah pendukung Pilkada Langsung. Bahkan setahun sebelumnya, PKS jelas-jelas menolak Pilkada tak langsung karena buruk bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. “Jangan halangi kedaulatan rakyat,” kata Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid [4].
Jadi, sesuai atau tidaknya dengan syariat Islam itu ditentukan oleh di koalisi mana kita berada?
Ini yang saya sayangkan dari mayoritas teman-teman kader dan simpatisan parpol. Mereka sudah dicabut daya kritis dan nalarnya. Apapun yang diputuskan pimpinan partai itulah yang paling benar, dan kemudian dibela mati-matian dengan membuat segala justifikasinya. Cara berpikirnya menjadi terbalik, keputusan di-drop dari atas, kemudian dicari pembenarannya. Saya yakin ini tidak hanya terjadi di PKS, tapi di seluruh Parpol yang ada di negeri ini.
Namun, tidak semua kader dan simpatisan parpol berpikir taklid seperti di atas. Ahok contohnya, walaupun ia anggota Gerindra, tapi dengan tegas ia menolak kembali ke Pilkada tak langsung. Dan karena memegang teguh prinsipnya ini, ia mengundurkan diri dari Gerindra. “Bima Arya, walikota Bogor, yang merupakan kader PAN, dengan tegas menolak Pilkada tak langsung. “Jangan sampai mundur lagi lah ke masa dimana pemilihan itu merampas serta mengebiri hak-hak warga atau rakyat,” ujarnya [5]. Bahkan Ridwan Kamil yang diusung oleh Gerindra dan PKS adalah walikota yang paling vokal menyuarakan penolakan terhadap Pilkada tak langsung. Ia bahkan sempat memobilisasi para walikota dan bupati se-Indonesia yang tergabung dalam Apeksi dan Apkasi untuk melakukan demo menolak Pilkada oleh DRPD di Bunderan HI. Namun batal, karena tak mendapatkan ijin dari Polri. Menurutnya, wacana pilkada di DPRD merupakan kemunduran fundamental demokrasi. Pilkada di DPRD akan menutup peluang bagi tokoh non-mainstream untuk maju memimpin daerah. Karena pemilihan akan dikuasai oligarki partai [6].
Selain kader dan simpatisan parpol yang tergabung dalam KMP, kelompok masyarakat yang menolak Pilkada langsung diantaranya adalah para pendukung Prabowo-Hatta di Pilpres kemarin. Memang tidak semuanya, karena tidak otomatis para pendukung Prabowo-Hatta akan mendukung Pilkada via DPRD, namun banyak dari mereka yang mengganggap disahkannya RUU Pilkada oleh DPRD ini sebagai momen kemenangan Prabowo atas Jokowi. Jika mereka kalah di Pilpres, setidaknya mereka menang di DPR.
Fenomena yang menarik adalah kelompok masyarakat yang nalar dan hati nurani-nya mengatakan bahwa Pilkada langsung adalah yang terbaik untuk rakyat, namun mereka membenci Jokowi. Mereka menyadari bahwa Pilkada oleh DPRD berarti kemunduran ke zaman Orba, tapi mereka tak sudi mendukung Pilkada langsung karena didukung oleh koalisi Jokowi-JK. Sehingga tak mengherankan kalau kita mendengar ada orang yang berkata, “Saya ingin Pilkada langsung, tapi saya benci sama Jokowi! Gimana dong?” Kelompok masyarakat ini saya sebut kelompok masyarakat galau.
Sayang sekali kalau kejernihan hati dan pikiran kita hilang karena kebencian kita akan seseorang. Benar-salah bukan lagi berdasarkan nalar dan hati nurani, tapi berdasarkan emosi dan amarah. Saya terkadang suka kasihan melihat orang yang setiap hari kerjanya menjelek-jelekkan Jokowi. Apa tidak capek hidup dalam kebencian terus-menerus?
Paling enak itu memang menjadi orang bebas, bukan simpatisan atau kader parpol tertentu. Tanpa adanya keterikatan parpol, kita dapat mengungkapkan pendapat kita, menetapkan pilihan kita, dan bertindak berdasarkan nalar, rasio dan hati nurani kita. Sementara para simpatisan parpol, mereka terima jadi keputusan partai, kemudian mereka akan mencari pembenaran dari keputusan parpolnya. Ya, memang benar saya memilih Jokowi-JK di Pilpres kemarin, tapi dukungan saya terhadap Pilkada langsung tidak ada hubungannya dengan pilihan saya ke Jokowi-JK di Pilpres kemarin. Saya juga bukan kader atau simpatisan PDIP atau parpol pendukungnya. Belum pernah sedetik pun seumur hidup terlintas di pikiran untuk jadi simpatisan PDIP atau parpol manapun. Saya sudah terlanjut apatis dengan partai politik. Bagi saya semua partai politik sama bobroknya.
Anda pikir parpol-parpol di kubu Jokowi-JK yang mendukung Pilkada langsung itu karena pro-rakyat? Belum tentu. Tahun lalu, Nasdem masih mendukung Pilkada tak langsung. “Nasdem mendukung penghapusan Pilkada dan mengembalikannya ke tangan DPRD. Terlalu banyak waktu, energi, dan biaya yang terbuang tanpa adanya hasil yang optimal dari penyelenggaraan Pilkada,” kata Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh [7]. Sebelumnya, PKB juga mendukung Pilkada tak langsung. “Kami sebagai anak kandung NU, PKB tentu akan mengamankan keputusan Munas NU yang menganggap pilkada langsung lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKB, Hanif Dhakiri [8].
Kita semua tahu, puncaknya adalah drama walk-out partai Demokrat di Parlemen. Presiden SBY pada 15 September 2014, menyatakan dukungannya terhadap Pilkada langsung. “Kalau kita kembali pada pilihan kita, buah dari reformasi yang kita jalankan selama ini, tentunya pilihan kepala daerah langsung itu mesti kita jaga dan pertahankan sebagaimana pula pemilihan presiden secara langsung,” tegas presiden SBY [9]. Menurut catatan SBY, 70% rakyat menginginkan Pilkada langsung, bahkan di sosial media mencapai 90%. “Saya memasuki media sosial, dukungan (pilkada langsung) malah lebih tinggi lagi, diatas 90%, artinya rakyat masih menghendaki pilkada langsung,” kata Presiden SBY [10]. Hasil ini sejalan dengan jajak pendapat yang dilakukan Kompas dimana 91% responden menilai bahwa pelaksanaan pilkada secara langsung lebih demokratis ketimbang pilkada melalui pemilihan di DPRD [11]. Hasil yang tak jauh berbeda juga dipaparkan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dimana hasil surveinya menunjukkan 81,25% responden setuju pilkada langsung, dan hanya 10,71% yang setuju pemilihan melalui DPRD [12].
Apa lacur, retorika tinggalah retorika, partai Demokrat melakukan “walked out”, sehingga voting dimenangkan oleh koalisi Merah Putih, dan RUU Pilkada melalui DPRD pun disahkan. Memang ada yang mempertanyakan keabsahan hasil votingsidang paripurna kemarin, karena walaupun “walked out” anggota DPR dari partai demokrat harus tetap dihitung kehadirannya, sehingga total yang hadir tetaplah 496 orang sesuai Tata Tertib DPR pasal 278 (3) yang berbunyi, “Anggota yang meninggalkan sidang dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan”. Berarti keputusan harus disetujui oleh minimal 249 orang sesuai Pasal 277 (1) (… disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir). Jumlah anggota Koalisi Merah Putih hanya 226 orang, tidak sampai setengahnya [13].
Terlepas dari kontroversi tentang tata tertib ini, palu sudah diketuk, dan kita harus menerima kenyataan bahwa RUU sudah disahkan. Dan Presiden SBY sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat telah berhasil menutup masa kepresidennya dengan menghapus Pilkada langsung dan mengembalikannya kepada DPRD, sehingga banyak yang menggelarinya dengan sebutan, “Bapak Pilkada Tak Langsung”. Tak mengherankan ia mendapat berbagai kecaman dari masyarakat. Bahkan tagar #ShameOnYouSBY menjadi world trending topic di twitter [14]. Namun tak lama kemudian menghilang, dan sampai saat ini, tak ada yang tahu siapa yang menghilangkannya [15].
Oleh karenanya saya menghimbau kepada teman-teman, jangan mau dibodohi partai politik. Tujuan dari parta politik itu kekuasaan. Jadi ambillah keputusan itu berdasarkan nalar dan hati nurani kita, jangan berdasarkan apa yang pemimpin-pemimpin parpol itu serukan. Apalagi sampai menganggap pemimpin partai politik itu seperti Nabi yang perkataannya selalu benar dan harus dituruti. Kita semua sudah menyaksikan dengan terang benderang, partai politik yang tadinya mendukung langsung, tiba-tiba bisa berubah haluan menjadi tidak langsung, dan sebaliknya. Jangan mau dibodohi, gunakan nalar dan hati nurani dalam bertindak dan berbuat.
Bagi saya pribadi, pilihan antara Pilkada langsung dan tak langsung itu sesuatu yang amat sangat mudah. Nalar, logika, rasio, instinct, hati nurani, semuanya dengan mudah dan bulat mengatakan Pilkada langsunglah yang lebih baik. Itu semua datang secara spontan, layaknya sebuah “common sense”.
Dulu sewaktu pemilihan legislatif, saya lihat daftar caleg DPR. Dalam hati, “Duh kok pada tidak kenal gini yah.” Saya lihat caleg DPRD I, semakin gelap gulita. Caleg DPRD II, sama gelapnya, tidak ada yang kenal satupun. Saya tidak mau pilihan saya diwakilkan kepada orang-orang yang saya sendiri tidak kenal siapa mereka. Apalagi menurut KPK jumlah anggota DPRD yang terjerat korupsi sebanyak 3.600 orang [16]. Diwakilkan saja, saya tidak mau, apalagi diwakilkan kepada orang-orang yang korup. “Kalau kekuasaan diberikan kepada orang korup itu dengan sistem pemilihan tak langsung, selesailah. Ketemulah dua kekorupannya”, ujar wakil ketua KPK, Bambang Widjojanto [16].
Nah, teman-teman sekalian, dengan disahkannya RUU Pilkada tak langsung tanggal 26 September kemarin, maka para anggota DPRD I dan DPRD II, yang saya pribadi “gelap” tidak tahu siapa mereka ini, yang nantinya akan memilihkan walikota dan gubernur untuk kita.
Jadi suatu hari di tahun 2018 nanti, kita akan bangun tidur di pagi hari (kalau diberi umur panjang), tiba-tiba Bandung (tempat tinggal saya) sudah punya walikota yang baru, pilihan para orang-orang di DPRD II ini.
Menyedihkan memang, di saat kita sedang euphoria, bisa punya walikota pilihan kita sendiri, di saat semangat untuk membangun kota semakin tinggi karena pemimpin pilihan kita sekarang ini mau mendengarkan kita, dan benar-benar bekerja untuk kota dan rakyatnya, kita punya harapan yang sangat besar ke depan.
Sudah lama kita merindukan ini semua, namun sayang hak kita dirampas lagi. Kita mundur lagi ke jaman Orde Baru.
Pahit memang, tapi bukan berarti kita harus putus harapan dan berhenti berkarya. Kang Emil masih punya masa jabatan 4 tahun lagi, Pak Ahok masih 3 tahun lagi, dan Pak Jokowi-JK 5 tahun lagi. Kita optimalkan 3-5 tahun ke depan untuk membantu membangun kota dan negara ini, dalam kapasitas yang kita miliki, semampu kita! Hayu ah… kita beurger..! Beurgerak maksudnya!