بسم الله الرحمن الرحيم
Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa’: 59]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari 'Irbad bin Sariyah radhiyallahu'anhu]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah,
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matn Al-Aqidah Ath-Thahawiyah]
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik dibanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7]
Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?
Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?
Jawaban Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah:
Tanya: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
1) Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
2) Motivasinya berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229]
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah berkata,
“Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat:
Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya.
Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah.
Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” [LihatAl-Makhraj minal Fitnah, hal. 82]
Kesimpulan
Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau atau berbaiat kepada selain pemerintah atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul danqawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perhatikan kembali dalam ayat di atas Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa’: 59]
Ulil amri atau pemerintah diantara kamu maknanya diantara kaum muslimin, sehingga apabila pemerintah muslim (beragama Islam) maka wajib ditaati.
Artikel terkait: http://sofyanruray.info/apakah-dipersyaratkan-untuk-menaati-pemerintah-muslim-harus-berhukum-dengan-syariat/
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم