Saturday, May 10, 2014

Kerikil Berbalut Sutera

Ilustrasi (Dok Okezone)Ilustrasi (Dok Okezone)Masalah hidup silih berganti menaungi perjalananku, namun kali ini masalah yang kuhadapi terasa sulit dan tidak mungkin rasanya bisa kulewati, meski banyak teman yang memberi wejangan padaku. “Allah memberi masalah tidak melebihi dari kemampuan hamba-Nya.” Tapi tetap saja wejangan itu tidak membuat masalahku terasa ringan atau sekadar bisa menjadi penyemangat bagiku untuk bisa melewatinya.
 
Tiga hari sudah aku berada di Cisarua, Bogor. Di sini aku mencoba untuk menenangkan pikiran dan berpikir apa yang harus aku lakukan. Rena, sahabat baikku menelepon sekitar jam 24.00 WIB, di malam ketigaku di Bogor. Ia mengatakan bahwa keberadaanku di sini sama saja lari dari kenyataan. Saat ia mengatakan seperti itu, batinku terasa berontak dan berkata,“Aku hanya ingin tenang sebentar saja.” Ditambahi dia mengabarkan kalau ibuku sedang jatuh sakit.
 
Ingin sekali aku kembali ke rumah melihat keadaan ibu, tapi aku tidak bisa, tiga hari yang lalu aku diusir Ayah karena aku sudah membuat malu keluarga, aku dikejar-kejar hutang Rp30 juta setelah acara pentas seni yang kuadakan tidak berhasil digelar.
 
Keadaan ekonomi keluargaku beberapa tahun ini memang sangat memprihatinkan, dan pihak sponsor menagih hutangnya ke orangtuaku, padahal sebelumnya aku meminta pihak sponsor untuk tidak menagih hutangku pada mereka, tapi semua itu lagi-lagi tak sesuai dengan yang kuinginkan. Saat sponsor menagih hutang ke orangtuaku di rumah, saat itu pula aku diusir dari rumah. Hidupku terasa sangat berantakan dan tidak tahu harus bagaimana menjalani hidup ini.
 
Esok pagi kuputuskan pulang dengan ongkos yang sudah kuhitung hanya cukup untuk sampai ke rumah. Sesampainya, dari jauh kulihat rumah yang sepi, pintu tertutup rapat seperti tak bertuan. Aku rindu Ibu, sangat merindukannya. Kubalikan badan dan mulai melangkah lagi menuju rumah Rena, berharap dapat solusi tepat darinya. Tiba di rumahnya, aku tak mendapat solusi apa-apa selain wejangan kata “sabar”.
 
Akhirnya kujual ponselku, barang satu-satunya yang kumiliki. Awalnya ia menolak untuk membeli, ia mau memberikan uang kepadaku cuma-cuma, namun aku tetap memaksanya untuk membeli ponselku. Dan Rena pun membeli ponselku dengan harga yang tak kupatok, tetapi ia membayarnya lebih dari harga jual yang sewajarnya. Dari inilah aku berniat mengumpulkan uang untuk membayar semua hutangku. Aku berpikir lagi bagaimana caranya agar kubisa menghasilkan uang lebih banyak, sementara aku pergi tak membawa ijazah dan barang yang lainnya.
 
Hari-hari yang kulewati sambil mencari kerja di warung ataupun di restoran-restoran, tapi semua tidak semudah yang kubayangkan; aku tetap menganggur dan uang yang kudapatkan dari hasil menjual ponsel semakin menipis. Malam semakin tua, kupilih untuk tidur di bangku halte bus. Angin terasa tajam kurasakan malam ini, seperti jarum yang menusuk pori-pori dan masuk menembus daging sampai akhirnya menusuk tulangku. Tubuh terasa beku, dalam posisi mata terpejam terdengar suara rintik-rintik hujan yang turun membasahi tanah, memberikan bau yang khas.
 
Kubuka mata, benarlah apa yang terdengar di telingaku, air sudah membasahi tanah dan aspal yang tertangkap di pengelihatanku. Hatiku menagis, menjerit sekuat-kuatnya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau hidupku akan terdampar seperti ini, tak jelas dan tak ada arah tujuan. Rasa dingin kurasakan hingga matahari mulai tergelincir, berbagi kehangatan untukku yang seperti musafir gadungan.
 
Pagi harinya, kulihat disekeliling, orang-orang sibuk bepergian mencari nafkah untuk keluarganya, ada hal yang membuat aku ingin meniru ketika aku melihat seorang yang mencari nafkah dengan gitar tua. Dan dari situlah aku coba untuk memberi hak perutku, yaitu makan.
 
Kucari botol kosong, lalu kuisi dengan pasir di dalamnya. Langkah pertama berpijak di bus karyawan pabrik, ketika sudah menaiki bus yang tengah berjalan, aku diam di dekat pintu, kulihat karyawan berseragam heran menatapku, atau mungkin aku yang salah kiprah. Terasa hina diri ini meminta dengan alat seadanya, bahkan ini kali pertama kualami. Kukuatkan hati bahwa tidak ada cara lain saat ini untuk mendapatkan uang, untuk membayar hutangku.
 
Akupun mulai melangkah lagi, memasuki ruang bus lebih jauh hingga kuterhenti di bangku paling depan belakang kursi pak sopir, aku mulai bernyanyi sambil menggerakkan botol berisi pasir itu, betapa malu kurasakan. Usai bernyanyi, kulepas topi dari kepalaku dan meminta imbalan dari apa yang sudah kuberikan lewat suaraku. Dan hasilnya aku dapat uang lebih dari cukup untuk sekedar makan, sisanya kukumpulkan untuk membayar hutang.
 
Hari berikutnya kumengamen di tempat yang sama, ada yang berbeda dihari ini. Ketika baru turun dari bus, aku dijegat dua orang bertato, berbadan biasa sepertiku, sedang, dan tinggi 170 centimeter. Kumengira mereka juga seorang pengamen, tak lama salah satu dari mereka berkata dengan nada menantang dan dada dibusungkan. “Hebat lu berani ngamen di sini.” Mereka semakin mendekat, merampas uang yang kudapat dari hasil perjuanganku, tak terima dengan tindakan mereka, aku pun melawan sebisaku, hingga terjadilah perkelahian dua lawan satu.
 
Dari tiga di antara kami, salah satunya mendapatkan luka memar yang cukup banyak di wajah hingga mengucurkan darah lewat hidung, dan orang itu adalah aku. Bukan hanya itu, uang yang ada di kantong celanaku semua dikuras, termasuk hasil mengamen kemarin.
 
Hidup terasa semakin hampa dan penuh tantangan disetiap langkahnya, aku tidak mengerti bagaimana caranya agar aku bisa menghasilkan uang. Kuberjalan menahan perih di wajah dan dibagian tubuh yang lain, ditambah perutku yang juga mulai terasa lapar. Aku coba lagi untuk mencari pekerjaan di warteg-warteg, satu, dua, tiga warteg sudah kusinggahi, namun tak ada yang mau mempekerjakan aku, sampai di warteg yang keempat, aku tidak lagi meminta pekerjaan, aku hanya minta beberapa suap nasi dengan imbalan aku bekerja untuknya; cuci piring ataupun yang lainnya. Alhasil, aku pun diberi makan dan kemudian aku disuruh untuk mencuci piring-piring yang kotor.
 
Terlepas dari mencuci piring, aku kembali melangkah. Ketika kumelihat sebuah pakaian di jemuran, kulihat baju dan celana yang kukenakan, pakaian yang sudah beberapa hari kupakai dan sudah menimbulkan bau dari keringat dan dari terik matahari. Kulihat sekelilingku, sepi, dan ini kesempatan untukku, aku pun mulai melangkah, semakin mendekati pakaian yang menggantung itu, tiba-tiba hatiku terbesit ingatan tentang Ibu di rumah yang sedang sakit.
 
Kuhentikan langkahku dan merenungi apa yang membuat aku diusir Ayah. “Karena hutang aku berada di sini, berjalan tak tentu arah. Jangan sampai karena sepasang pakaian aku mendekam di penjara dan tak bisa melihat Ibu lagi. Ya Tuhan.. maafkanlah aku.” Demikianlah yang kurenungkan dan yang menggagalkan niatku untuk mencuri pakaian.
 
Aku kembali melangkah, aku benar-benar rindu Ibu di rumah, aku ingin merawatnya. Sedih teramat pedih hatiku, aku anak satu-satunya tapi malah menyusahkan orangtuaku. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengikuti kemana pun kakiku melangkah, pasrah. Ku cari botol lagi lalu kulakukan hal yang sama seperti kemarin, kali ini aku bukan hanya ingin menghasilkan uang dari mengamen, aku punya tujuan lain, yaitu menenangkan diri kesuatu tempat. Dengan mengamen, kuberharap aku bisa ketempat yang sejuk mengandalkan pindah-pindah dari bus ke bus hingga mengantarkanku dari penatnya hidup ini.
 
Langkahku terhenti di depan masjid Al-Mukarromah, Subang. Lalu aku memasuki halamannya untuk sekadar istirahat. Kupejamkan mata sebelum kembali melangkah, kubayangkan wajah Ibu di rumah hingga tak terasa air mataku menggenang diujung mata. Sejuk angin membasuh tubuhku, berdendang riang membelai telingaku di pelataran masjid.
 
Kembali kumelangkah, duduk dan rebahan di luarnya, sesekali aku melihat ke dalam—ada beberapa orang yang melaksanakan shalat, kulihat jam dinding yang terpampang di dalam masjid masih pukul 10.14 WIB. Tiba-tiba kuteringat pada masa kecil yang riang melangkah sebelum adzan maghrib berkumandang ke mushalla untuk mengaji.
 
Astaghfirullahal’azim... aku melupakan satu hal yang paling sakral dalam hidup ini, sudah lama aku melupakan-Nya, tak pernah melibatkan-Nya dalam setiap urusanku, padahal sering kulihat Ibu sujud di rumah, tapi aku tak pernah mengindahkannya.
 
Rupanya, aku sudah menjadi orang yang sombong selama ini karena tidak meminta kepada yang Maha Memberi dan yang Maha Mengatur kehidupan ini. Kuberanjak bangun untuk shalat dhuha, tapi pakaianku dekil dan bau, jangankan untuk shalat, untuk memasuki ruangan masjidnya saja rasanya tak pantas. “Ya Allah... izinkan aku  bersujud pada-Mu.” Batinku memohon.
 
Tak lama, seseorang datang menghampiriku, ia mengaku pengurus masjid Al-Mukarromah, masjid di mana aku berada saat ini, namanya Rahmat, lalu kami pun mengobrol. Pengurus masjid itu seperti orang yang pernah aku lihat, tapi aku tidak tahu di mana dan kapan. Kuceritakan apa yang kurasakan, ia bilang, “Sebelum kita berada di dunia ini dan di alam rahim, kita berada di alam ruh, dan di dalam alam ruh kita berkelompok-kelompok. Saat itu kita melakukan persaksian bahwa Allah adalah tuhan kita semua. Mungkin saat dalam alam ruh kita satu kelompok dan itulah yang menyebabkan ketika seseorang bertemu dengan orang lain seperti sudah pernah melihatnya sebelumnya, padahal belum pernah bertemu sama sekali.”
 
Itulah yang ia katakan, mendengar wejangan darinya, dinding keangkuhan hatiku terasa runtuh, ingin rasanya kubersujud memohon ampunan dan mengakui segala kelemahan dan keterbatasanku, hingga akhirnya aku dipinjamkan sarung dan baju koko olehnya. Kuteringat saat Ayah mengusirku dan Ibu menangis, kuteringat pentas seni yang kuadakan gagal total, kuteringat kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan tanpa rasa sesal dan semua dosa-dosa yang sudah kuperbuat. Air mataku mengalir deras seperti tak terbendung lagi dalam waktu dhuha.
 
Dua hari aku tinggal di masjid bersama pengurus masjid itu, segala masalah yang membebani sudah kuceritakan padanya, dan aku ditugaskan membersihkan masjid berikut dengan pelataran bersamanya. Setelah tiga hari, aku pamit pulang untuk menemui ibuku, aku semakin rindu dengannya. Pak Rahmat memberiku sedikit uang yang ia punya, aku pun pulang.
 
Pada hari ini, kembali kumencari botol plastik untuk diisikan pasir, lalu mengamen lagi, hasilnya untuk membeli kue kesukaan Ibu. Setelah uang kurasa cukup untuk membeli kue, aku mencari toko kue dan membeli kue yang kumaksud. Kembali kumelanjutkan perjalanan, ketika sampai di terminal, seorang ibu tua sambil menggendong anak kecil menadahkan tangannya kepadaku. Aku tak punya uang lagi, uangku sudah habis untuk membeli kue. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan dua kue itu untuk Ibu tua dan menyisakan satu untuk ibuku.
 
Jarak terminal dan rumahku masih jauh, aku mengamen lagi agar sampai dekat dengan rumahku, saat ini aku tak mengharapkan uang lagi dari mengamen, aku hanya ingin bisa sampai rumah dan bisa memberikan kue ini untuk Ibu.
 
Tiga puluh menit kemudian, rumahku sudah terlihat, tapi hanya dari jauh mata memandang. Kutakut Ayah murka dengan kedatanganku, tapi bagaimana keadaan Ibu sekarang? Huffftt... aku tidak tahu harus bagaimana. Tak lama terlihat ayah keluar dan pergi menunggangi sepeda motornya. Setelah Ayah sudah benar-benar menghilang dari pandanganku, aku segera berlari, dan berhenti di depan pintu.
 
Kuketuk pintu seraya mengucapkan salam, dan tak lama Ibu membuka pintu, aku memeluknya erat sambil menetesakan air mata. Pun demikian dengan Ibu, ia membelai kepalaku, mencium pipiku seraya mengucurkan air mata. Kuberikan kue yang kubawa beriringan dengan kata maaf yang tulus karena kesalahan yang kuperbuat.
 
Ibu berkata Ayah akan kembali besok pagi, maka satu hari ini aku coba untuk membahagiakan Ibu dengan apa yang aku bisa, termasuk menyuapinya kue yang kubawakan. Malam pukul 02:45 WIB ibu membangunkanku dan mengajakku untuk tahajud bersamanya.
 
Dalam shalat itu, tubuhku bergetar, rasa dingin menyerang tubuhku; berawal dari tangan, kemudian merambat hingga ujung kaki, hal yang baru kurasakan seumur hidupku. Usai shalat, kucium tangan ibu, kulihat wajahnya, sudah basah dengan tetesan air mata yang mengalir. Terucap doa-doa dari bibirnya seraya membelai kepalaku hingga air mataku pun kembali meleleh.
 
Setelah melaksanakan shalat subuh, aku kembali keluar dari rumah sebelum Ayah kembali pulang, kupeluk Ibu erat dan kucium pipinya sebelum benar-benar melangkah dan menjauh. Di telingaku, Ibu membisikan kata “Doa ibu senantiasa tercurah untukmu, anakku.”
 
Kata itu terasa cepat merasuk otakku dan menyentuh bagian terhalus di hati sehingga memberikan energi untukku. Seiring dengan langkah mundur, Ibu terus menangis menatap kepergianku. Kulambaikan tangan, dan air mata Ibu semakin deras kulihat, bibirnya tertutup rapat tak bergeming sedikitpun.
 
Setelah melaksanakan shalat dhuha di sebuah masjid besar di Depok, aku duduk di luar masjid memikirkan ke mana kuharus melangkah. Dalam diam, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kawan lamaku, ia mengatakan bahwa ia sukses dengan acara pentas seni yang ia gelar, dan itu berkat ideku yang pernah kusampaikan padanya. Aku diajak bekerja sama dengannya untuk mengadakan pentas seni yang lebih besar dengan sponsor yang besar pula.
 
Beberapa bulan aku tinggal di apartemennya untuk mempersiapkan acara yang akan kami selenggarakan selanjutnya. Hingga sampai waktu yang ditentukan, acara yang kami selenggarakan berjalan dengan sukses. Bukan hanya itu, kami berhasil memasarkan produk sponsor dengan hasil mengagumkan. Setelah punya cukup uang untuk mengganti semua hutangku pada sponsor yang kurugikan dulu, aku mendatangi kantornya dan menyerahkan sejumlah uang. Dari sini, karierku kemudian semakin meningkat.
 
Esok, kurencanakan untuk kembali pulang, memberitahu semua ini pada Ibu sekaligus aku ingin meminta maaf pada Ayah, juga berharap bisa berkumpul seperti sedia kala.
 
Malam ini kurasakan damai, tak sabar rasanya untuk menemui hari esok hingga pikiranku jauh melayang-layang bak Cendrawasih. Perlahan, mata terpejam menyiapkan kebahagiaan hari esok. “Alhamdulillah...” ucapku sebelum benar-benar berlabuh ke pulau impian.
 
Pagi yang kunanti pun tiba, setelah melaksanakan shalat dhuha, aku pergi ke toko kue kesukaan Ibu, lalu aku langsung menuju rumah dengan hati riang gembira. Ketika sampai di depan rumah, puluhan orang berkumpul, bendera kuning terpasang di pagar, semua orang menatapku, diam. Aku langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang yang berkumpul. Tiba di dalam,
 
Sebujur tubuh terbaring dengan wajah ditutupi kain putih. Seorang tetangga mendekat kearahku, ia berkata “Yang sabar atas musibah ini, beliau meninggal di rumah sakit, dan saat ini, ayahmu sudah memaafkanmu.”Mataku terbelalak “Ayah….” Air mataku kembali mengalir.
 
Perlahan, kubuka kain yang menutupi wajah tubuh yang terbujur kaku di hadapanku. Dan semakin terpukul aku setelah melihat dibalik kain itu. Aku menangis menahan duka, linangan air mata semakin membasahi pipi. “Ibu, aku bawakan kue kesukaan Ibu, kenapa Ibu pergi Bu…” belum sempat aku memberikan kabar gembira atas kesuksesanku saat ini pada Ibu, beliau telah pergi meningggalkanku. Kata-katanya masih terngiang di telingku yang beliau ucapkan sebelum aku pergi beberapa waktu lalu, “Ibu selalu mendo’akanmu, anakku.
 
”Aku terpaku melihat jasad Ibu berbaring di hadapanku. Seketika, Ayah datang memberikan selembar kertas untukku, “Sebelum pergi, ibumu menulis ini.” Ku buka dan mulai membacanya.
 
“Mas, maafkanlah Riki anakmu, dia anak semata wayang kita. Aku ingin kalian bisa hidup rukun. Kesalahan yang dilakukan Riki bukanlah ketersengajaan, ia hanya belum berhasil menjalankan acaranya, sudah menjadi tugas kita sebagai orang tua untuk terus menasehati dan membimbingnya..
Dan untuk Riki…
 
Ibu minta maaf tidak bisa menarikmu kembali pulang sebelum Ibu benar-benar pergi, semua tahu, sifat bapakmu sangat keras. Teruslah belajar memaknai hidup ini dan cari siapa dirimu, doa Ibu selalu tercurah untukmu, anakku.”
 
“Terimakasih Ibu atas doamu yang selalu temani langkahku…” ucapku lirih. Setelah Ibu dimandikan dan dikafani serta dishalatkan, kuantar beliau sampai peristirahatan terakhir. Kuazankan lalu perlahan tanah menutupi tubuh yang berbalut kafan. “Selamat tinggal Ibu, suatu saat mudah-mudahan kita bisa berkumpul lagi..”

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...