Thursday, May 1, 2014

KENANGAN UNTUK ANAK WALIKU



Angin merengkuhkan rasa gundahnya. Mengumpalkan perasaan itu ke semua orang yang menghirupnya. Sukses! Angin membuat hati ini begitu pekik terhadap suasana. Dengan gumpalan udara yang tak begitu bersih aku menghirup dalam-dalam hembusan angin tersebut. Ku rasakan memori terekam dan seketika ku pejamkan mata lamat-lamat.
Kembali terekam suasana yang begitu indah. Begitu syahdu dengan alunan lagu melow yang kau buat untukku. Waktu itu kita di taman sekolah yang begitu indah dengan banyak beragam macam tanaman hijau, kau mengatakan aku adalah sosok wanita yang kau cari-cari sejak dahulu. Kau selalu mengatakan rasa yang pernah kau berikan hanya untukku. Mungkin, karena terpaan setiap katamu yang begitu manis aku terbuai. Nyatanya, saat ini kau tidak baik untukku. Kau meninggalkan ku dengan semua kenangan kita.
Kau jahat! Sangat begitu jahat. Setiap untaian kata yang selalu kau berikan itu hanyalah angin semata. Angin yang menerbangkan setiap untuaian kata manis itu. Aku menyesal saat itu sangat percaya kepadamu kalau memang kau benar teramat sangat baik untuk ku.
Aku sedih saat kau bilang kau titip semua kenangan kita. Aku sangat sedih! Aku tak mengerti apa maksud semua itu. Apa maksud dari pembicaraan itu? Aku memang ssudah memendam rasa curiga saat sebelum kau mengucapkan kata-kata yang tak ingin ku dengar itu.
Aku langsung bertanya kepada kamu, “Maksud kamu? Kamu ingin kita menyudahi semua hubungan ini?” Tanyaku dengan raut yang sangat begitu serius. Ku rasakan tiba-tiba angin tampak begitu kencang hingga rambutku yang terurai langsung saja terhembuskan oleh terpaan udara. “Ku rasa kamu bosan dengan aku,” Katanya dengan santai sembari menghirup dalam-dalam rokok yang merupakan makanan sehari-harimu. Kau yang hanya memakai kaus oblong dan celana jeans ketatmu dan beralaskan kepala —topi— yang entah gaya apa tak ku mengerti itu, berbicara dengan santai mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Kamu sok tahu!” Seruku langsung bersandar di kursi yang sedang kita duduki naungannya. Tempat biasa kita, taman kota. “Apa buktinya?” Tanyaku kembali sembari menelaah setiap kata yang ia keluarkan. Tapi yang ku dengar dari ucapanya, dia hanya memutarkan fakta apa yang diucapkan. Kurasa yang bosan dengan hubungan ini adalah dia. Iya kamu! Batinku.
“Tidak ada alasan lain? Punya yang baru?” Tanyaku sangat curiga. Sempat tersenggak karena kebulaan asap rok*k yang ia keluarkan. “Pasti punya yang baru kan? Sudah, alasan kamu basi! Kenapa enggak jujur saja? Dan enggak usah memutarkan fakta begitu, kalau nyatanya kamu yang bosan denganku,” Aku langsung berdiri meninggalkan ia sendiri. Di taman kota itu.
Udara yang ku hembuskan di pagi hari ini adalah udara yang kedua minggu tanpa kamu menemaniku. Tanpa kamu di sisi ku. Setelah acara kita bertengkar di taman kota itu, kamu hanya meminta maaf lewat pesan singkat dan entah ditelan bumi yang mana tiba-tiba kamu menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Dan tanpa sepatah kata pun kamu menggantungkan hubungan kita.
Jujur saja, aku merindukan kamu. Aku merindukan perhatian kamu yang dulu. Aku merindukan ocehaan kamu jika kamu memarahiku dengan penuh kasih sayang mu. Ahhhhhh! Ku teriak sekencang-kencangnya di danau yang sepi ini. Aku bosan merindu. Aku bosan terus-terusaan menunggu kamu yang tak pasti datang ini.
Tapi selain itu aku harus apa? Apakah aku harus mengelilingi dunia yang besar ini untuk mencarimu? Sudah sering ku mengunjungi tempat tinggal mu, tapi yang kutemukan apa? Tak ada seorang pun disana. Sudah ku temui teman-teman sepermainan mu dan yang mereka katakan kalian sudah lama tak bertemu.
Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku harus melupakanmu? Apakah aku harus mematikan rasaku untukmu? Apakah memang semua ini harus disudahi?
Aku baru tahu bahwa kamu tak sebaik yang ku perkirakan. Seharusnya dahulu aku mendengarkan perkataan temanku yang menyatakan kamu tidak baik. Kamu hanya gitaris yang belum terkenal. Dan kamu pengangguran… Iya! Seharusnya aku percayai perkataan teman-temanku itu. Ah sudahlah! Nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Rasa ini sudah berkembang melampaui batasan. Aku tak kuat untuk menahannya lagi.
Terekam kembali ingatan mimpi tentang kamu dahulu. Dimana kamu adalah pemeran utama dalam sebuah film romantis. Dan aku adalah seorang kekasih dari kamu. Banyak hal-hal yang membuat aku terpincut atas rayuan-rayuan gombal mautmu yang membuat aku tergelitik tersenyum.
Ah sudahlah! Aku lelah terus-terusan untuk bermimpi. Bermimpi yang tak sanggup ku gapai kembali.
Aku pulang dengan perasaan kacau menghadang. Ku lihat sekeliling ramai dipenuhi dengan segerombolan orang-orang sibuk yang sedang menenteng tas-tasnya. Ya! Dialah pegawai-pegawai kantoran yang kerjanya menyibukkan diri di depan laptop bak seorang bos. Yang nyatanya hanya tukang suruh-suruh.
Sedang asyik aku melihat-melihat sekeliling. Terlihat ada kecelakaan depan mataku. Orang-orang langsung berhamburan menghampiri. Tapi aku mengenal motor yang baru saja tertabak itu. Aku diam. Aku bergeming. Aku berfikir keras. Ya Tuhan… Tamaaaa! Aku berlari menghampiri Tama, iya dia pacar ku yang sedang kucari-cari sejak dua minggu terakhir ini.
Ku lihat dia sudah tak sadarkan diri. Aku langsung meminta tolong pada khalayak ramai. Aku hanya terlihat seperti orang bingung. Fikiran ku kosong. Jalan buntu sedang menghadang otakku. Air mataku tiba-tiba saja turun melewati pipi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, “Neng… neng… Ayo cepat naik ke mobil. Kamu pacarnya kan?” Tanya bapak-bapak yang sedang ada di bangku sopir sebuah mobil hitam metalik. Ah aku baru tersadar. Langsung saja aku naik di bangku penumpang belakang sopir yang nyatanya disana ada Tama, pacarku.
Ya Tuhan, Tama. Aku kangen sama kamu. Kenapa kita bertemu saat kamu sedang seperti ini? Kenapa kamu datang padaku lagi disaat kamu begini? Tama, kamu kemana saja? Aku sudah lama terus mencari mu. Aku rindu denganmu. Aku rindu dengan kita. Maafkan aku, sewaktu dahulu pernah egois sama kamu. Maafkan aku…
Pipiku telah basah oleh deraian air mata yang melewatinya. Sempat airmata ini jatuh di lembutnya pipi Tama yang sedang terbaring lemah ini. Ah! Seharusnya aku tak boleh menangis. Disini ada Tama, Tama tak suka melihat perempuan menangis. Tapi kalau dengan keadaan mengkhawatirkan seperti ini aku tak boleh menangis juga? Tamaaa! Ayo bangun! Aku kangen sama kamu. Aku janji, kalau kamu bangun aku tak akan menangis kembali.
Nyatanya setelah sampai rumah sakit ini kamu tidak bangun juga. Ah Tama! Kamu jahat sekali. Kamu tahu tidak? Aku tuh capek terus-terusan menunggu. Aku terlalu banyak menunggu. Terlebih menunggu kamu. Sudah sering kamu membuat aku menunggu. Salah satunya, menunggu kamu bangun dari koma kamu ini.
Sudah dua hari kamu koma dari kecelakaanmu itu. Polisi menyangkal bahwa kamu menerobos lubang yang dalam sehingga kamu jatuh dan helm yang kau kenakan loncat dari kepalamu dan akhirnya kepalamu terbentur entah benda apa. Yang jelas, hingga sampai saat ini akibat kamu koma.
“Tama, ayo bangun sayang. Kamu enggak capek ya tidur mulu? Pinggangmu memang tidak pegal, sayang? Kasihan badanmu, sudah kurus begini. Sudah banyak lho tadi temanmu yang menjengukmu. Dan disini juga ada orangtua kamu. Kamu enggak kasihan melihat mereka terus menangisi mu? Ayo sayang, bangunlah. Aku rindu denganmu. Ayo kita lalui semuanya bersama. Aku tidak bosan kok denganmu, yang ada mungkin kamu yang bosan denganku. Janji deh, aku enggak bakalan membuat kamu bosan. Aku janji akan selalu ada untuk mu, makanya bangun dong sayang. Aku sayang sama kamu…” Kataku terus berbicara sendiri dengan badan Tama yang penuh dengan luka di bagian kaki dan tangannya. Tanpa jiwanya yang mungkin sedang berjalan-jalan entah kemana.
Ah! Kulihat ada air bening di pelupuk mata Tama. Tuhan, sudah sadarkah Tama? Langsung saja, ku panggilkan dokter dan suster-suster yang merawatnya. “Maaf, mbak. Silahkan keluar dahulu. Kami akan memeriksa pasiennya.” Aku diusir keluar untuk menjauh dari Tama. Ya sudah, aku langsung bergegas keluar meninggalkan Tama dan membiarkan diperiksa oleh seorang dokter yang tak perrnah ku sukai itu.
“Bagaimana Tama, Dya?” Tanya Ibu Tama agak sesegukan. Ternyata dia masih menangis. Ia masih tak percaya bahwa Tama kecelakaan. “Aku enggak tahu, Tante. Tapi tadi aku melihat Tama menangis setelah aku menyemangati dia untuk bangun dari koma. Aku takut, Tante. Aku sayang sama Tama…” Aku memeluk Ibu Tama. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mata ini untuk tidak jatuh kembali. “Ibu juga, Dya. Ibu juga sangat sayang sama Tama,” Ucap Ibunya Tama sembari masih sesegukan menahan ingus yang ingin keluar dari hidungnya.
“Disini ada yang namanya Nindya?” Kata suster yang tadi mengusirku. “Iya saya sus,” Kataku sembari tunjukkan tangan. “Silahkan masuk, dari tadi pasien memanggil nama anda.” Ucap suster dengan nada yang kurang meyakinkan.
Aku berlari langsung menghampiri kekasihku. Dan para perawat dan dokter pun segera keluar. Aku langsung membelai wajahnya. Matanya yang sayu, pipinya yang sangat tirus, wajahnya yang begitu pucat. Ah! Aku tak pernah melihat kekasihku seperti ini. “Nindya, maafkan aku,” Kata Tama agak terbata-bata. “Ssstt, sebelum kamu minta maaf aku sudah memaafkanmu, Tam.” Kataku dan dia menyambut tanganku yang berada di pipinya. “Aku sayang sama kamu,” Katanya kembali. Perasaanku semakin tak karuan. Aku memanjatkan doa dalam hati agar tak terjadi apa-apa dengannya. Aku tak ingin kehilangannya untuk kedua kali.
“Aku juga,” Jawabku singkat. Tanpa sengaja air mataku terjatuh entah maksudnya apa. “Ah kamu cengeng. Kan sudah ku bilang jangan pernah menangis walau dalam keadaan duka sekaligus,” Katanya sembari mengapuskan air mataku yang sudah mengalir deras di pipi ini dengan jari-jarinya.
“Sungguh, ijinkan aku menangis Tam, aku takut,” Kataku semakin menjadi-jadi perasaan yang berkecamuk ini. “Jangan takut, sayang. Kalau memang kita jodoh pasti kita dipertemukan kembali, sekalipun itu di surga sana.”
“Tamaaa! Jangan berbicara seperti itu. Aku enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya. Kamu enggak tahu kan? Aku capek merindu. Aku capek selalu terus-terusan menunggumu untuk pulang. Aku enggak bisa jauh dari kamu…” Ucapku dari hati. Baru sekali ini aku mengucapkan kalimat tersebut.
“Iya, maafkan aku ya. Aku sebenarnya punya satu rahasia. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” katanya sembari melengkungkan bibirnya yang manis tesebut. “Aku terkena kanker paru-paru. Dokter juga sudah bilang kalau hidupku sudah tak lama lagi, makanya dua minggu yang lalu aku minta kamu untuk menjaga kenangan kita. Aku enggak mau lihat kamu sedih. Dan aku juga enggak pernah mencari kamu lagi. Menghubungi kamu lagi. Biar kamu enggak sedih, sayang. Tapi, Tuhan berkehendak lain, kita dipertemukan lagi. Jadi, aku minta kamu berjanji ya, jika memang aku sudah tak pernah bisa di sampingmu kembali, jangan pernah menunggu ku untuk kembali. Jangan pernah untuk menangisi ku lagi. Dan aku hanya ingin menitipkan semua kenangan kita. Maafkan aku, jika aku harus menyudahi hubungan ini. Maafkan aku, aku terlalu banyak kesalahan, sering menyakiti hatimu. Ku lakukan semua itu, karena aku sayang sama kamu. Janji ya? Kalau aku sudah enggak ada di sampingmu. Kamu harus mencari penggantiku secepatnya. Harus bisa lebih dari aku, bukan hanya seorang pengangguran yang hanya dapat duit jika ada job bermain gitar. Bisa ya?”
“Tamaaaa,” aku memeluknya dengan erat. Sangat erat, aku ingin jika Tuhan mengambil nyawa Tama, sekalian saja nyawaku juga. Bisakah aku hidup tanpa Tama?
“Uhukk.. uhukk… Jangan terlalu keras peluknya, Nindya sayang. Enggak bisa nafas nih.” Katanya dan refleks aku melepaskan pelukanku. Ku harap ini bukanlah pelukan yang terakhir. “Kamu bisa janji ya, sayang?” Tanyanya sembari membelai lembut kepalaku. “Kamu sayang kan sama aku? Pasti bisa lah…” Dia tersenyum. Senyum manisnya yang ia keluarkan itu. Senyum yang sering diberikan untukku. Aku menganggukkan kepala. Tapi, ku lihat Tama agak sulit bernafas. Tuhan, jangan bilang kalau…
Aku berlari keluar memanggil dokter dan para suster yang tadi memeriksa Tama. Sudah beribu doa ku lantunkan untuknya. Kami disini sudah hampir setengah jam menunggu untuk Tama. “Bagaimana keadaan anak saya dokter?” Tanya Ibu Tama saat dokter baru saja keluar dari ruangan ICU yang sudah dua hari dilalui oleh Tama. “Maafkan kami, Bu. Tuhan berkehendak lain. Kami sudah sekuat semampu kami menolong anak Ibu…” Dokter yang telah ku ketahui bernama Indra Gunawan itu berucap.
Aku hancur. Aku hancur. Aku hancur belebur-lebur. Aku lari entah kemana aku ingin berlari. Aku ingin menjauh dari tempat ini. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sedang hancur.
Tama kamu tega, sayang! Untuk kedua kalinya kamu meninggalkanku. Dan ini adalah yang terakhir, aku takkan pernah memilikimu kembali.
Jam 10 pagi tepatnya, disaat matahari mulai menyeruakan panasnya untuk menyinari bumi. Tama telah dikebumikan. Banyak orang yang menangis, kecuali aku. “Sayang, aku sudah menepati janjiku kan. Nih, aku tak menangis meskipun itu duka. Aku enggak menangis kan? Tama, kamu jahat banget sih, aku rindu sama kamu. Sudah lama kita tak berjumpa. Mengapa disaat kita berjumpa kembali, kamu malah langsung meninggalkan aku sendiri disini tanpa kamu lagi? Ah! Tama, aku sayang sama kamu. Apakah aku bisa menjaga titipan kenangan kita? Apakah aku sanggup? Demi kamu aku akan menjaga titipan kenangan dari kamu. Kamu disana baik-baik ya sayang. I Love You,

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...