PEMBUKAAN:
Hadirin Jamaah Rohiemakumulloh,
Setiap kita, tentu berharap agar segala amal ibadah yang kita lakukan siang dan malam, dapat diterima sebagai amal sholih, untuk kita jadikan bekal ketika sewaktu – waktu dipanggil ke hadirat Alloh SWT.
Hal itu selaras dengan do’a yang selalu kita panjatkan: “ALLOOHUMMA INNA NAS’ALUKA RIZQON THOYYIBAN, WA;ILMAN NAAFI;AN, WA’AMALAN MUTTAQOBBALAN = Yaa Alloh, kami memohon kepada Mu akan rizqi yang halal, ilmu yang bermanfaat dan amal ibadah yang diterima”
Masalahnya adalah: :Apakah syarat agar amal ibadah ikita itu diterima sebagai amal sholih? Hal ini tentu sangat penting kita ketahui, sebab jangan sampai kita sudah capek-capek beribadah siang – malam, namun ketika kita menghadap ke hadirat Alloh SWT, tidak ada satupun amal sholih kita, karena amal yang kita lakukan itu ternyata tertolak, atau tidak diterima.
Hadirin Jamaah Rohiemakumulloh,
Amal ibadah yang kita lakukan akan diterima oleh Allah SWT sebagai amal sholih jika memenuhi dua rukun atau dua syarat.
Syarat Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dengan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “INNAMAL A’MAALU BIN-NIYYAAT, = sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.
Sedangkan Syarat Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.dan para sahabat Nabi SAW. Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt semata - mata.
Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt semata - mata.
Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumulloh….!
Masalah selanjutnya adalah: “Apakah tanda – tanda bahwa amal yang kita lakukan itu ikhlash?”
Menurut para ulama, setidaknya ada 8 (delapan) tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda keikhlasan itu adalah sebagai berikut:
1. Tanda keikhlasan itu ada, mana kala kita takut akan popularitas (ketenaran).
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan seiring ” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Sedabgkan Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.
2. Tanda keikhlahan itu ada pada diri kita, saat kita dapat mengakui bahwa diri kita ini punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.
Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (HR. Ahmad).
3. Tanda keikhlasan itu ada ketika kita lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab ra. pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Tanda keikhlasan itu ada di saat kita tidak mempermasalahkan ditempatkan pada posisi apapun (entah sebagai pemimpin atau prajurit (rakyat/ anak buah).
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.
5. Tanda keikhalasan itu ada pada diri kita, ketika kita mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan sesama manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
6. Tanda keikhlasan itu ada, di saat kita cinta dan benci (marah) karena Allah SWT semata – mata.
Dapat dikatakan ikhlas di saat kita menyatakan mencintai dan membenci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan kita kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi kita. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu.
Menurut para ulama, setidaknya ada 8 (delapan) tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda keikhlasan itu adalah sebagai berikut:
1. Tanda keikhlasan itu ada, mana kala kita takut akan popularitas (ketenaran).
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan seiring ” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Sedabgkan Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.
2. Tanda keikhlahan itu ada pada diri kita, saat kita dapat mengakui bahwa diri kita ini punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.
Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (HR. Ahmad).
3. Tanda keikhlasan itu ada ketika kita lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab ra. pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Tanda keikhlasan itu ada di saat kita tidak mempermasalahkan ditempatkan pada posisi apapun (entah sebagai pemimpin atau prajurit (rakyat/ anak buah).
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.
5. Tanda keikhalasan itu ada pada diri kita, ketika kita mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan sesama manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
6. Tanda keikhlasan itu ada, di saat kita cinta dan benci (marah) karena Allah SWT semata – mata.
Dapat dikatakan ikhlas di saat kita menyatakan mencintai dan membenci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan kita kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi kita. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu.
Sebagaimana Alloh berfirman dalam QS At-Taubah: 58:
“Dan di antara mereka ada ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
7. Tanda keikhalasan itu ada pada diri kita, di saat kita mampu bersabar terhadap panjangnya jalan perjuangan menegakkan kebenaran.
Keikhlasan kita akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup kota adalah ujian. Ketegaran kita untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu.
7. Tanda keikhalasan itu ada pada diri kita, di saat kita mampu bersabar terhadap panjangnya jalan perjuangan menegakkan kebenaran.
Keikhlasan kita akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup kota adalah ujian. Ketegaran kita untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu.
Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”
8. Tanda keikhlasan itu ada pada diri kita, di saat kita bisa merasa gembira jika kawan kita memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita atau orang yang tidak kita sukai. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader (pemimpin), orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
8. Tanda keikhlasan itu ada pada diri kita, di saat kita bisa merasa gembira jika kawan kita memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita atau orang yang tidak kita sukai. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader (pemimpin), orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
Hadirim jamaah Jumah Rohiemakumulloh...!
Demikianlah khutbah siang ini, semoga ada manfaatnya bagi kita, sehingga segala amal ibadah yang kita lakukan dapat diterima oleh Alloh SWT, sebagai amal sholih, karena hanya itulah satu – satunya bekal, jika sewaktu – waktu kita dipanggil ke hadirat- Nya. Amien yaa Robbal ’Alamien.