Anak-anak
kita, adik-adik kita berkata:
“Pelajaran sains membuatku takut sebab aku harus belajar begitu banyak rumus.”
“Aku tidak mengerti apapun mengenai sains karena aku tidak pintar matematika.”
“Pelajaran sains membuatku takut sebab aku harus belajar begitu banyak rumus.”
“Aku tidak mengerti apapun mengenai sains karena aku tidak pintar matematika.”
Sebagian kita boleh jadi tidak menyukai pelajaran matematika dan
fisika, sebab yang terpampang di depan mata ialah ‘rumus-rumus yang
memusingkan’. Sebagian lainnya tidak menyenangi pelajaran kimia dan biologi
karena persepsi ‘harus menghapal’. Praktikum tidak cukup menyuntikkan
kegembiraan, tidak mampu memompakan rasa ingin tahu, dan gagal membangkitkan
antusiasme praktikan.
Raibnya ‘cara berpikir’ sebagai unsur terpenting dalam
pengajaran-pembelajaran sains membuat anak-anak kita tidak berhasil menyerap substansi
dari sains sebagai usaha memahami alam semesta melalui pencarian kebenaran.
Saban hari anak-anak disodori dengan rumus yang harus diingat tetapi terlepas
dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak tidak diajak memahami terlebih dulu
mengapa lampu menyala baru kemudian belajar bersama tentang prinsip listrik.
Terdapat beragam cara, sesungguhnya, untuk mengajak anak-anak
belajar berpikir layaknya ilmuwan (dalam konteks ini natural scientist)
dan memahami relevansi sains dengan kehidupan sehari-hari. Sejumlah peneliti
menyebutkan bahwa sejarah sains dapat menjadi salah satu jalan yang efektif
untuk membantu mencapai hal itu.
Malamitsa (2003), di antaranya,
mengatakan bahwa melalui sejarah sains anak-anak dapat memahami bagaimana sains
bekerja, mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk
menganalisis gagasan, serta membandingkannya dengan observasi tentang bagaimana
alam bekerja. Lewat sejarah sains, anak-anak dapat mengenali perubahan konsep
dalam sains, misalnya mengapa ada mekanika Newton dan ada mekanika relativitas
Einstein.
Selama ini kita tidak memperoleh pengajaran mengenai bagaimana
sejarah pertumbuhan pengetahuan dari Newton hingga ke Einstein. Kita hanya diajari
bahwa mekanika Newton dipakai untuk situasi seperti ini dan mekanika Einstein
digunakan untuk situasi seperti itu. Pengajaran sains ini kehilangan konteks
historis dan anak-anak kesulitan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Karya menarik Robyn Arianrhod, Imagining the World through the Language of Mathematics,
mengisahkan bagaimana pengetahuan berkembang. Dalam merumuskan gagasannya,
Albert Einstein tidak langsung bertolak dari Isaac Newton, melainkan merunut
gagasan ilmuwan yang hidup di antara era mereka, seperti Michael Faraday dan
James Clark Maxwell—ilmuwan yang menjadi ‘hero’ Einstein. Buah pelacakan historis
Arianrhod seperti ini dapat dipinjam untuk menjelaskan kepada anak-anak mengapa
ada dua konsep yang berbeda mengenai gerak tersebut.
Tatkala belajar biologi, khususnya teori evolusi Charles Darwin,
kita tidak pernah mendengar pak guru atau dosen menceritakan pengalaman hebat
anak muda Inggris itu dalam usahanya mengunjungi Galapagos, sebuah pulau yang
jauh dan terletak di Amerika Selatan. Kita tidak diajak mengikuti pelayaran
yang mendebarkan, menempuh samudra ganas untuk menyingkapkan rahasia alam, yang
kelak melahirkan teori evolusi yang menggemparkan itu.
Kita juga tak memperoleh cerita tentang ekspedisi Alfred Russell
Wallace ke berbagai pulau di Indonesia dan dari risetnya di sini ia melahirkan
teori serupa teori Darwin. Di tengah era internet yang sangat cepat, anak-anak
dapat dibangkitkan keingintahuan dan minatnya pada sains dengan membayangkan
bagaimana Wallace dan Darwin mendiskusikan gagasan mereka melalui
surat-menyurat yang pengirimannya memakan waktu berbulan-bulan. Kisah Darwin
dan Wallace dapat memberi gambaran tentang bagaimana ilmuwan naturalis bekerja
tanpa gampang menyerah.
Sisi-sisi menarik dan manusiawi di balik rumus, persamaan, maupun
teori yang dipersepsi memusingkan itu tidak pernah diceritakan. Kita kehilangan
sentuhan manusiawi saat mempelajari sains dan matematika—pernahkah di ruang
belajar dikisahkan perjalanan hidup John Nash, matematikawan penemu teori permainan
yang bertahun-tahun dicekam oleh schizoprenia?
Ketika tingkat literasi sains dan matematika anak-anak kita berada
di posisi sangat bawah dan jauh dari rerata internasional, dibutuhkan cara yang
inovatif dalam pengajaran sains. Memasukkan unsur sejarah ke dalamnya merupakan
salah satu cara tersebut, di samping sejumlah metoda lain yang mungkin
dijalankan, seperti belajar dari film-film science-fiction.
Rekomendasi untuk menyertakan elemen sejarah sains ke dalam
reformasi pengajaran sains, menurut Wang dan Marsh (2000), didasarkan atas
alasan spesifik tertentu, yakni menyediakan konteks bagi isu-isu yang
diajarkan. Dengan memasukkan unsur sejarah sains (Galvani-Volta) dan eksperimen
historis (Oerstead), pembelajaran sains menjadi lebih kontekstual, memotivasi,
informatif, dan relevan bagi minat dan perhatian anak-anak.
Pembelajaran sains seyogyanya diletakkan sebagai proses konstruksi
pengetahuan secara aktif, secara individual sekaligus secara sosial karena
melibatkan orang lain dalam kontruksi ini—guru, orang tua, ilmuwan, dan
sebagainya. Melalui pelibatan unsur sejarah sains ke dalam proses pembelajaran,
siswa bisa sekaligus memahami konsep dan metoda ilmiah, watak sains, dan
bagaimana ilmuwan bekerja—yang berarti memahami cara berpikir para ilmuwan.