Ratusan teroris yang menyebar di sejumlah daerah di Indonesia telah ditangkap Detasemen Khusus Anti-Teror (Densus 88) sejak terjadinya Bom Bali I pada 2002 lalu. Jumlahnya mencapai 840-an orang. "Dari 840 orang itu hanya sekitar 60-an teroris yang tertembak mati," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai kepada Tempo, Kamis, 7 Maret 2013.
Artinya, kata Ansyaad, sekitar 700-an teroris masih hidup dipenjara atau sudah bebas. Ini juga menunjukkan jika cara yang dilakukan Densus 88 dalam menangani teroris tidak berlebihan atau melanggar HAM seperti yang dituduhkan pihak-pihak tertentu. "Kita juga tetap sediakan pengacara. Di penjara mereka juga tetap dapat remisi," ujarnya.
Dia melanjutkan, dalam operasi penangkapan teroris, Densus melakukan investigasi, penyamaran, dan pengamatan secara jelas dan terukur selama bertahun-tahun. Hal ini dilakukan agar warga sipil yang tidak terlibat tak ikut terkena dampaknya. Upaya ini juga untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM yang lebih besar. "Bukan ujug-ujug terorisnya langsung ditembak, tapi mereka itu sudah bertahun-tahun dikejar. Rekam jejaknya sudah diikuti betul sehingga tidak salah orang," ujarnya.
Karena itulah, Ansyaad menilai jika pihak-pihak yang mengusulkan pembubaran Densus 88 karena tuduhan pelanggaran HAM berarti tidak mengerti sulit dan bahayanya menghadapi teroris. Apalagi saat ini jaringannya tersebar di seluruh Indonesia. "Musuh itu ya teroris, bukannya Densus. Mereka yang jelas-jelas melanggar HAM berat dan musuh negara," kata Ansyaad. "Kalau Densus dibubarkan, lalu siapa yang tangkap terorisnya?," tambah mantan kepala Polda Sumatera Utara ini balik bertanya.