Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan pemerintah Indonesia melalui Densus 88 telah melakukan penanganan terhadap teroris lebih baik dibandingkan dengan perlakuan negara-negara lain. "Cara kita bisa dikatakan lebih soft, lembut, hanya pakai senjata. Padahal terorisnya saja pakai senjata dan bom," kata dia saat ditemui Tempodi kantornya, Jakarta, Kamis, 7 Maret 2013.
Pernyataan itu diucapkannya karena ada pihak-pihak tertentu yang mengusulkan pembubaran Densus 88 karena dianggap melanggar HAM. "Mereka yang mengusulkan itu berarti tidak mengerti sulit dan bahayanya menghadapi teroris," kata Ansyaad.
Ansyaad lalu membandingkan pemberantasan teroris dengan negara-negara lain yang juga disinyalir menjadi sarang teroris. Contohnya di Filipina. Menurut dia, di sana pemerintah setempat menggelar operasi militer khusus untuk memberantas kelompok teroris yang dinilai meresahkan.
Lain lagi yang diterapkan pemerintah Yaman. Mereka menyerang kelompok teroris dengan peluru kendali (rudal). "Bandingkan lagi dengan Pakistan. Mereka diserang dengan drone(pesawat tanpa awak)," kata dia.
Menurut Ansyaad, pemerintah Indonesia memang tak ingin penanganan terhadap teroris menyisakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masif. Sebisa mungkin warga sipil yang tidak terlibat tak ikut terkena dampak operasi penangkapan mereka. Densus 88, sebagai pasukan khusus pemberantas teroris, melakukan kerjanya melalui investigasi yang jelas dan terukur.
"Bukan ujug-ujug terorisnya langsung ditembak, tapi mereka itu sudah bertahun-tahun dikejar. Rekam jejaknya sudah diikuti betul sehingga tidak salah orang," ujarnya.
Dari sekitar 840 teroris yang ditangkap sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 hingga saat ini, hanya sekitar 60-an teroris yang tertembak mati. "Artinya masih ada 700-an teroris yang kita perlakukan dengan baik. Di pengadilan juga pakai pengacara," ujarnya.
Ansyaad lalu membandingkan pemberantasan teroris dengan negara-negara lain yang juga disinyalir menjadi sarang teroris. Contohnya di Filipina. Menurut dia, di sana pemerintah setempat menggelar operasi militer khusus untuk memberantas kelompok teroris yang dinilai meresahkan.
Lain lagi yang diterapkan pemerintah Yaman. Mereka menyerang kelompok teroris dengan peluru kendali (rudal). "Bandingkan lagi dengan Pakistan. Mereka diserang dengan drone(pesawat tanpa awak)," kata dia.
Menurut Ansyaad, pemerintah Indonesia memang tak ingin penanganan terhadap teroris menyisakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masif. Sebisa mungkin warga sipil yang tidak terlibat tak ikut terkena dampak operasi penangkapan mereka. Densus 88, sebagai pasukan khusus pemberantas teroris, melakukan kerjanya melalui investigasi yang jelas dan terukur.
"Bukan ujug-ujug terorisnya langsung ditembak, tapi mereka itu sudah bertahun-tahun dikejar. Rekam jejaknya sudah diikuti betul sehingga tidak salah orang," ujarnya.
Dari sekitar 840 teroris yang ditangkap sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 hingga saat ini, hanya sekitar 60-an teroris yang tertembak mati. "Artinya masih ada 700-an teroris yang kita perlakukan dengan baik. Di pengadilan juga pakai pengacara," ujarnya.