Pernahkah Anda melakukan transfusi darah atau melihat proses transfusi darah? Jika belum, Anda bisa melihat proses tranfusi darah di rumah sakit. Tujuan dilakukannya transfusi darah adalah untuk memberikan darah kepada orang yang kekurangan darah, misalnya karena kecelakaan, operasi, proses melahirkan, dan sebagainya.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mendapat transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi tranfusi lainnya biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual. Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali mereka pernah mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum menerima transfusi darah kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus digunakan.
Tentunya ada hal-hal yang harus diperhatikan pada proses transfusi ini, terutama jenis golongan darah.
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.
Meskipun transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa, namun tindakan ini bukan tanpa risiko. Dahulu infeksi menjadi risiko utama transfusi darah, tetapi kini hal itu semakin sangat langka terjadi karena pengujian yang hati-hati dan skrining donor. Sebaliknya, reaksi transfusi dan masalah diluar infeksi menjadi masalah yang paling umum.
Meskipun transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa, namun tindakan ini bukan tanpa risiko. Dahulu infeksi menjadi risiko utama transfusi darah, tetapi kini hal itu semakin sangat langka terjadi karena pengujian yang hati-hati dan skrining donor. Sebaliknya, reaksi transfusi dan masalah diluar infeksi menjadi masalah yang paling umum.
Bila Anda melakukan transfusi, maka perlu segera memberitahu perawat Anda bila melihat adanya perubahan dalam diri Anda, misalnya seperti gatal-gatal, menggigil, sakit kepala, dada atau nyeri punggung, mual, pusing, masalah bernapas, atau masalah lainnya. Berikut ini reaksi dan resiko yang mungkin timbul akibat tranfusi darah:
1. Reaksi Transfusi
Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi transfusi yang buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera terjadi setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan.
Untuk mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan pencegahan sebelum transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan dilakukan cross-matched untuk memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok dengan jenis darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah itu, perawat dan teknisi laboratorium bank darah mencari informasi tentang pasien dan informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum dikeluarkan. Informasi ini dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi dimulai.
- A. Reaksi Alergi
- B. Reaksi Demam
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mendapat transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi tranfusi lainnya biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.
- C. Reaksi hemolitik kekebalan akut
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual. Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.
- D. Reaksi hemolitik tertunda
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali mereka pernah mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum menerima transfusi darah kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus digunakan.
2. Transfusi yang berhubungan dengan cedera paru akut
Transfusi yang berhubungan dengan cedera paru akut (Transfusion-related acute lung injury –TRALI) adalah reaksi transfusi yang sangat serius yang terjadi pada sekitar 1 dari setiap 5.000 transfusi. Hal ini dapat terjadi pada semua jenis transfusi, tetapi mereka yang mengandung plasma yang berlebihan, seperti plasma beku segar atau trombosit, tampaknya lebih mungkin mengalami resiko ini. Kasus ini sering terjadi dalam waktu 1 sampai 2 jam sejak transfusi, tetapi dapat terjadi kapan saja sampai 6 jam setelah transfusi.
Ada juga sindrom TRALI yang tertunda yang terjadi hingga 72 jam setelah transfusi diberikan. Gejala utama dari TRALI adalah kesulitan bernapas. Jika TRALI dicurigai selama transfusi, maka transfusi harus segera dihentikan.
Para dokter percaya bahwa ada beberapa faktor yang terkait dengan resiko TRALI, dan obat-obatan tampaknya tidak dapat menghindari resiko ini. Banyak pasien yang mengalami TRALI akhirnya menjalani operasi, trauma, pengobatan kanker, transfusi, atau mengalami infeksi aktif. Pada umumnya, TRALI hilang dalam 2 atau 3 hari jika diberi bantuan napas dan tekanan darah, tapi meskipun bantuan ini diberikan, tetap saja ada kemungkinan kematian sekitar 5% sampai 10% dari kasus.
3. Graft-versus-host disease
Graft-versus-host disease (GVHD) terjadi ketika seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah mendapat sel darah putih dalam produk darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah putih dari transfusi menyerang jaringan pasien yang mendapat darah.
Hal ini lebih mungkin terjadi jika darah berasal dari keluarga atau seseorang yang memiliki jenis jaringan yang sama dengan pasien. Sistem kekebalan tubuh pasien tidak mengenali sel-sel darah putih dalam darah yang ditransfusikan, sehingga dianggap sebagai benda asing. Hal ini memungkinkan sel-sel darah putih melakukan pertahanan diri dan menyerang jaringan tubuh pasien.
Dalam waktu satu bulan sejak transfusi, pasien mungkin mengalami demam, masalah liver, ruam, dan diare. Untuk mencegah agar sel-sel darah putih tidak menyebakan GVHD, darah yang disumbangkan harus menjalani radiasi sebelum transfusi. (Radiasi membuat sel darah putih tidak mempengaruhi sel-sel darah merah.)
4. Infeksi
Transfusi darah dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri, virus, dan parasit yang menyebabkan infeksi. Di negara seperti Amerika Serikat kemungkinan infeksi akibat transfusi sangat rendah. Dengan adanya unit pengujian darah terhadap kuman yang dapat menyebabkan infeksi telah membantu memastikan darah sangat aman, namun perlu kita sadari bahwa tidak ada pengujian yang 100% akurat.
5. Kontaminasi Bakteri
Jarang sekali darah terkontaminasi dengan sejumlah kecil bakteri kulit selama melakukan donor darah. Namun, trombosit adalah komponen darah yang paling mungkin mengalami kontaminasi bakterial. Oleh sebab itu trombosit harus disimpan pada suhu kamar, karena bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Menurut penelitian, sekitar 1 dari setiap 5.000 unit trombosit yang disumbangkan terkontaminasi. Pasien yang mendapatkan trombosit yang terkontaminasi dapat segera mengalami penyakit yang lebih serius setelah transfusi dimulai.
Pada tahun 2004, bank darah mulai melakukan pengujian terhadap trombosit, sehingga mereka dapat membuang unit darah terkontaminasi yang mungkin menyebabkan kerusakan. Pengujian ini masih terus disempurnakan, namun dari waktu ke waktu semakin sedikit penyakit yang disebabkan oleh masalah kontaminasi trombosit. Disamping itu, semakin banyak rumah sakit menggunakan trombosit apheresis, yang memiliki risiko yang lebih rendah dari kontaminasi bakteri.
Virus yang menyerang hati menyebabkan berbagai bentuk hepatitis. Hepatitis merupakan penyakit yang paling umum ditularkan melalui transfusi darah. Hasil dari sebuah penelitian 2009 terhadap hepatitis B dalam darah yang disumbangkan mengemukakan bahwa risiko penularan virus ini sekitar 1 dalam setiap 350.000 unit, atau sekitar 1 dibanding 1,6 juta transfusi darah dapat menularkan hepatitis C.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi tersebut. Dalam kebanyakan kasus tidak ada gejala, tetapi hepatitis kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan hati dan masalah lainnya.
Beberapa langkah secara rutin telah dilakukan untuk mengurangi risiko hepatitis dari transfusi darah. Para calon donor darah diajukan pertanyaan sehubungan dengan faktor risiko hepatitis dan gejala hepatitis. Darah yang disumbangkan juga diuji untuk menemukan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan masalah hati yang mungkin menjadi tanda jenis hepatitis lainnya.
Salah satu rute utama penularan HIV adalah melalui kontak langsung antara darah dengan darah yang terinfeksi HIV. Meskipun sebagian besar infeksi HIV melalui darah terjadi melalui penggunaan suntikan narkoba, namun di seluruh dunia sejumlah kasus penularan HIV terjadi melalui transfusi darah, suntikan medis, limbah medis dan paparan kerja.
Pengujian HIV atas setiap unit darah yang disumbangkan mulai dilakukan pada tahun 1985, dan semua darah yang disumbangkan hingga saat ini dites HIV. Dengan pengujian yang semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu, maka jumlah kasus AIDS yang terkait dengna transfusi terus menurun.
8. Infeksi Lainnya
Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis, HTLV-I dan HTLV-II (virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia). Sejak tahun 2003, darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus West Nile, yang terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum di Amerika Selatan dan Tengah).
Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis, HTLV-I dan HTLV-II (virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia). Sejak tahun 2003, darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus West Nile, yang terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum di Amerika Selatan dan Tengah).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri tertentu, virus, dan parasit, seperti Babesiosis, malaria, penyakit Lyme, dan lain-lain juga dapat ditularkan melalui transfusi darah. Tapi karena donor potensial disaring dengan pertanyaan tentang status kesehatan dan perjalanan mereka, maka kasus-kasus penularan penyakit akibat tranfusi seperti di atas semakin jarang terjadi.
Tentunya ada hal-hal yang harus diperhatikan pada proses transfusi ini, terutama jenis golongan darah.
Gambar Skema transfusi darah
Dalam kasus transfusi darah, golongan darah ini sangat penting sekali diketahui. Jika golongan darah yang ditransfusikan tidak sesuai, terutama protein darahnya, maka sel darah akan digumpalkan atau mengalami aglutinasi (penggumpalan). Apabila hal ini terjadi bisa membahayakan jiwa penerima transfusi darah.
Orang yang memberikan darahnya disebut donor, sedangkan orang yang menerima darah disebutresipien. Kemungkinan tranfusi darah dari donor pada resipien dapat dilihat dari skema pada Gambar Dari skema pada gambar di samping terlihat adanya kemungkinan terjadinya transfusi darah. Skema tersebut dapat dijelaskan dengan tabel di bawah ini:
Dari tabel di atas apabila dipandang dari donornya terlihat bahwa:
1. golongan darah A dapat menjadi donor bagi golongan darah A dan AB;
2. golongan darah B dapat menjadi donor bagi golongan darah B dan AB;
3. golongan darah AB dapat menjadi donor bagi golongan darah AB;
4. golongan darah O dapat menjadi donor bagi golongan darah A, B dan AB.
Dalam hal ini golongan darah O disebut sebagai donor universal yaitu donor bagi semua golongan darah.
Apabila dipandang dari resipiennya terlihat bahwa:
1. golongan darah A dapat menjadi resipien dari golongan darah A dan O;
2. golongan darah B dapat menjadi resipien dari golongan darah B dan O;
3. golongan darah AB dapat menjadi resipien dari golongan darah A, B, AB dan O, dalam hal ini golongan darah AB disebut resipien uniersal, yaitu resipien dari semua golongan darah;
4. golongan darah O hanya dapat menjadi resipien dari golongan darah O saja.
Apabila dipandang dari resipiennya terlihat bahwa:
1. golongan darah A dapat menjadi resipien dari golongan darah A dan O;
2. golongan darah B dapat menjadi resipien dari golongan darah B dan O;
3. golongan darah AB dapat menjadi resipien dari golongan darah A, B, AB dan O, dalam hal ini golongan darah AB disebut resipien uniersal, yaitu resipien dari semua golongan darah;
4. golongan darah O hanya dapat menjadi resipien dari golongan darah O saja.