Saturday, January 12, 2013

CLONING BUKAN KLONAN

Berdasarkan etimologi, istilah kloning atau klonasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Klonus yang berarti ranting, stek atau cangkok.
  • Pada hakekatnya kloning merupakan suatu pembiakan vegetatif atau reproduksi aseksual bertujuan untuk menghasilkan individu baru yang seragam.
  • Individu baru hasil kloning tersebut disebut klon.
  • Kloning pada tumbuhan telah berlangsung sejak lama dan banyak dilakukan khususnya dibidang pertanian dengan tujuan untuk memperbanyak tanaman melalui stek atau cangkok sehingga dihasilkan sejumlah tanaman yang sama sifatnya
  • Jadi berbeda dengan Klonan (baca kelonan) karena hasil keturunan dari proses itu pasti berbeda dengan kedua induknya hehehe
  • Sekarang perkembangan vegetatif cloning ini berkembang peast dengan teknologi tissue culture atau teknologi Kultur Jaringan Tumbuhan (In Vitro)
  • Sehingga kloning pada tumbuhan selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan kloning pada hewan.
 
    • Kloning bisa dilakukan karena adanya sifat Totipotensi sel tumbuhan, baik sel somatik maupun sel embrional pada umumnya lebih mudah untuk melakukan diferensiasi membentuk organ dan individu baru (klon) daripada sel hewan
    • Sifat Totipotensi pada hewan / manusia dipunyai pada Ovum yang telah dibuahi membentuk zygot yang mana Zygot ini mempunyai kemampuan untuk membentuk individu
    • Disamping itu dampak sosial, etika maupun moral pada kloning tumbuhan selama ini dipandang lebih ringan dibandingkan pada hewan.

    Sebenarnya kloning juga seringkali terjadi di alam dan umumnya dilakukan oleh organisme dalam rangka melestarikan jenisnya.
    • Kloning alami tersebut banyak dilakukan oleh organisme uniseluler dengan cara membelah diri (reproduksi aseksual) seperti pada Bakteri, Amoeba, Paramaecium, dan Protozoa lainnya pada kondisi lingkungan yang sesuai,
    • Sedangkan pada organisme multiseluler (hewan tingkat rendah) dapat kita lihat pada cacing Planaria sp.
    • serta pada hewan-hewan partenogenetik lainnya seperti pada lebah dan beberapa jenis serangga.
    Kloning alami pada tumbuhan dapat dengan jelas kita amati pada tanaman Cocor Bebek.
    • Meskipun reproduksi aseksual (kloning) dapat berlangsung dengan cepat, tetapi tidak selamanya menguntungkan bagi kelestarian jenisnya.
    • Hal ini karena individu yang sama sifatnya umumnya mempunyai kemampuan untuk menangulangi perubahan lingkungan yang sama pula,
    • Sehingga apabila terjadi perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan (drastis), maka besar kemungkinan organisme tersebut akan mati serta musnah jenisnya dari alam.
    • Secara singkat dapat dikatakan bahwa kloning telah terjadi sejak lama di alam dan merupakan sistem alami yang telah tertata dengan rapi sehingga terjadi keseimbangan ekosistem.
    • Pada akhirnya pengetahuan tentang kloning tesrsebut dimanfaatkan manusia untuk memperoleh jenis-jenis tanaman dan hewan unggul, serta diupayakan juga untuk melestarikan tumbuhan maupun hewan langka dari kepunahan.
    • Sekitar tahun 2000 an kemudian istilah kloning pada tumbuhan digunakan istilah Kultur Jaringan dan Istilah Kloning pada Hewan tingkat tinggi di istilahkan Kloning OK

    Perkembangan Teknologi Kloning


    • Hanya terpaut beberapa bulan setelah keberhasilan koning domba Dolly disusul domba Polly yang telah disisipi materi genetik manusia,
    • Dunia ilmu pengetahuan kembali digemparkan oleh keberhasilan kloning sapi jantan yang diberi nama Gene hasil rekayasa perusahaan ABS Global Inc. yang bergerak di bidang Teknologi Reproduksi Hewan Ternak yang bermarkas di DeForest, Wisconsin, Amerika Serikat.
    • Meskipun sapi Gene tidak dihasilkan dari sel sapi dewasa tetapi teknologi kloning tersebut memungkinkan dihasilkan sapi dari sel sapi dewasa seperti halnya pada kloning domba Dolly.
    • Kloning pada hewan dimulai ketika para pakar Biologi Reproduksi Amerika pada tahun 1952 berhasil membuat klon katak melalui teknik TGM (Transplanting Genetic Material) dari suatu sel embrional katak ke dalam sel telur katak yang telah diambil intinya
    • Mintz (1967) berhasil melakukan transplantasi sel somatik embrional pada stadium blastula dan morula ke dalam rahim seekor tikus sehingga dihasilkan klon tikus
    • Gurdon (1973) melakukan transplantasi nukleus sel usus katak (somatik) yang telah mengalami diferensiasi ke dalam sel telur katak yang telah diambil intinya.
    • Sel telur yang berinti sel intestinum tersebut kemudian berkembang menjadi klon katak.
    • Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh sejumlah keberhasilan klon beberapa jenis hewan antara lain babi, kelinci, domba, kera dan sapi yang berasal dari klon sel embrio yang umumnya lebih mudah berhasil dibandingkan mengklon dari sel hewan dewasa (somatik).
    • Bagi kita mungkin bukan keberhasilan kloning DOLLY, Polly maupun Gene yang menjadi fokus utama melainkai sebuah pertanyaan besar yang memanti dihadapan kita yaitu Apakah Perlu Kloning Pada Manusia ?
    • Secara teknologis pembuatan klon manusia bukan merupakan masalah yang utama lagi dan diramalkan akan tercipta dalam kurun waktu 25 tahun mendatang,
    • Meskipun dengan biaya yang cukup mahal karena kemungkinan tingkat keberhasilan teknologi tersebut masih rendah.
    • Sebagaimana hal ini terjadi pada percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Ian Wilmut yaitu dari 277 percobaan yang dilakukan pada percobaan kloning tersebut, hanya 29 yang berhasil menjadi embrio domba yang dapat ditransplantasikan ke dalam rahim domba, dan hanya satu saja yang berhasil dilahirkan menjadi domba yang normal.
    • Keberhasilan tim dokter di Rumah Sakit Van Helmont, Belgia yang dipimpin oleh Dr. Martine Nijs dalam mengklon bayi kembar 4 tahun yang lalu adalah salah satu bukti bahwa kloning pada manusia dapat dilakukan.
    • Keberhasilan ini berawal dari ketidaksengajaan Dr. Nijs menggosok permukaan sel telur beku yang telah dibuahi dengan sebatang kaca sehingga sel telur tersebut terbelah menjadi dua dalam rahim si ibu dan kemudian berkembang menjadi janin, disusul dengan lahirnya dua anak kembar.
    • Teknik penggosokan tersebut merupakan salah satu teknik yang sering dilakukan pada kloning hewan percobaan sejak tahun 1980-an.

    • Keberhasilan demi keberhasilan semakin mendekati kenyataan terciptanya klon manusia, tetapi dampak yang menghawatirkan justeru akan menimpa moralitas kemanusiaan.
    • Tidak heran kalau gagasan untuk membuat klon manusia ini mendapat tanggapan keras dari kaum moralis serta menjadi bahan perdebatan diantara para pakar yuridis, politikus, agamawan dan dikalangan para pakar bioteknologi sendiri.
    • Sebagian orang berpendapat bahwa kloning penting untuk mengatasi permasalahan kemanusiaan dan penelitian-penelitian tentang kloning jangan sampai dihentikan.
    • Mereka memandang bahwa teknologi kloning dapat digunakan untuk memproduksi organ-organ tubuh pengganti seperti ginjal, darah, hati , jantung serta organ lainnya yang biasa diperoleh dari donor, sehingga akan membantu setiap penderita yang sangat memerlukannya untuk ditransplantasikan pada tubuhnya.
    • Tetapi sayangnya teknologi ini juga dapat digunakan untuk menggandakan orang-orang jahat.

    • Satu hal yang paling esensi untuk setiap karya cipta, apalagi menyangkut manusia adalah apapun bentuk teknologinya, maka manfaat yang diperoleh harus lebih besar dari dampak yang ditimbulkannya.
    • Hal ini penting karena dampak yang ditimbulkan dari kloning manusia menyangkut banyak aspek dengan tingkat permasalahan yang sangat kompleks.
    • Sebagai contoh kekerabatan menjadi semakin rumit dan bias, ikatan anak dengan ibu atau anak dengan bapak menjadi lemah.
    • Kemungkinan akan timbul permasalahan seputar kepemilikan organ tubuh maupun anak dari hasil klon.
    • Apakah yang mempunyai hak kepemilikan anak hasil klon itu adalah orang tua penyumbang inti sel (nukleus) ataukah orang tua penyumbang sel embrio yang telah dihilangkan nukleusnya ataukah orang yang mengandung serta melahirkanya ?
    • Demikian juga status kepemilikan klon organ tubuh manusia menjadi semakin ruwet.
    • Apakah pemilik klon organ tubuh tersebut adalah orang yang menyumbangkan sel organnya untuk diklon (donor sel), ataukah organ tesebut milik ilmuwan yang mengklon, atau milik klinik, laboratorium, rumah sakit tempat dia mengklonkan organ tubuhnya atau milik lembaga yang membiayai usaha klon tersebut ?
    • Belum lagi dengan aspek yuridis yang berkaitan dengan perkawinan dan pewarisan manusia klon, serta masalah-masalah lain yang mungkin akan muncul seiring dengan dilaksanakanya teknologi kloning pada manusia.

    • Meskipun Bioetika mengenai bioteknologi, teknologi reproduksi dan kloning telah dibuat serta selalu diperbaharui oleh banyak fihak seperti badan dunia (UNESCO),
    • Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan lembaga-lembaga ilmiah lainnya, dan kloning manusia diperkirakan baru akan terlaksana dalam kurun waktu 25 tahun mendatang, tetapi alangkah baiknya mulai sekarang kita perlu mempersiapkan aturan-aturan (undang-undang) berikut sangsi-sangsi hukumnya untuk mengantisipasi dilakukannya kloning pada manusia.
    • Karena jika kita cermati secara seksama, maka permasalahan kloning pada manusia akan lebih banyak kesulitan yang muncul sebagai akibat dari dampak sosial, kultural, yuridis, etika dan moral daripada manfaat yang akan kita peroleh, sehingga perlu upaya untuk melarang kloning pada manusia.
    • Menurut hemat penulis teknologi kloning sebagai bentuk perkembangan ilmu seyogyanya tetap dilanjutkan dan)ifetat diarahkan pada penelitian-penelitian kedokteran untuk mengungkap dan mencari jawaban terhadap berbagai penyakit seperti kanker, penyakit keturunan, dan lain-lainnya.
    • Teknologi kloning juga penting dalam rangka penemuan bibit-bibit unggul tumbuhan maupun hewan serta sebagai upaya untuk melestarikan tumbuhan maupun hewan langka dari ancaman kepunahan.
    Dari uraian diatas secara Teknis akan kami berikan langkah langkah berupa manual baik Prosedur sexual (kawin) dan asexual ( tak kawin )

    Prosedur Kloning sexual hewan
    1. Penyiapan ovum dan sperma dari individu yang akan diklon
    2. Fertilisasi secara invitro di cawan petri hingga membentuk Zygot yang akan dibuat Klon
    3. Penumbuhan (Inkubasi)Zygot menjadi 4 sel
    4. Pemotongan/splitting sel sel embryo dengan teknik mikro manipulasi
    5. penumbuhan 4 potongan sel embryo yang mempunyai gen identik dalam inkubator sehingga menjadi 4 embryo normal sampai fase blastosis , lama fase inkubasi kurang lebih 12 sampai 14 hari
    6. Penanaman embryo / transfer embryo pada rahim induk betinanya/ ibu
    7. Proses kehamilan selama beberapa minggu setelah gestasi
    Methode Aseksual

    1. Penyiapan sel telur yang diambil dari induk betinanya
    2. Pengeluaran pro nukleus dari telur yang akan di klon dengan mengabsorbsi intinya sehingga menjadi tanpa inti tetapi organela sel lainnya masih lengkap
    3. Penyiapan sel somatis ( 2n) sebagai donor
    4. Pengeluaran inti sel somatis sebagai donor
    5. Pemasukkan inti sel somatis ke siroplasma sel telur yang intinya tadi sudah diambil sehingga kromosomnya tidak ( 3n)
    6. Pemberian kejutan listrik / nuklir
    7. Penumbuhan / inkubasi Zyot menjadi 4 - 8 sel embryo
    8. Penanaman di rahim induknya
    9. hasilnya akan sama dengan sel tubuh induk yang didonorkan ke sel telur tersebut OK
    KLONING ADEM AYEM TANAMAN
    • Kloning tanaman yang mendunia adalah Kultur Jaringan / Tissue Culture
    • Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi akseptis, sehingga bahan-bahan tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali.
    • Pada mulanya, orientasi tekhnik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori totipotensi sel.
    • Kemudian teknik kultur jaringan menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman.
    • Dewasa ini, setelah banyak mengalami perkembangan dan penyempurnaan, tekhnik kultur jaringan telah dipergunakan dalam industri tanaman.
    • Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat tergantung pada media yang digunakan.
    • Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur-unsur hara dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis.
    • Keberhasilan pertama dalam kultur in vitro dicapai dalam praktek kultur organ.
    • Menurut Shabde- Moses & Murashige (1979), Hanining, pada tahun 1904 telah berhasil mendapatkan kecambah tanaman jenis crucifer dari embrio-embrio yang diisolasi dari biji yang belum matang (immature).
    • Pertumbuhan organ yang tidak terbatas di dalam kultur in vitro, pertama diperhatikan oleh White dalam kultur akar tomat sekitar tahun 1934.
    • Kultur organ merupakan topik yang penting dalam penelitian antara tahun 1904-1960. setelah itu penelitian dalam bidang ini berkurang, kecuali kultur pucuk atau meristem.
    • Kultur pucuk atau meristem mempunyai aspek praktis sebagai cara memperbanyak klon yang cepat dan bebas penyakit.
    • Dewasa ini kultur meristem sudah merupakan hal yang terbiasa yang mungkin suatu saat semua orang bisa melakukan
    Tahapan Kultur Jaringan

    Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan
    • Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah memilih tanaman induk yang hendak diperbanyak.
    • Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya, serta harus sehat dan bebas dari hama penyakit.
    • Setelah ditentukan tanaman induk yang merupakan sumber eksplan, kegiatan berikutnya adalah mempersiapkan dan mengondisikan tanaman induk sedemikian rupa agar eksplan yang digunakan tumbuh baik pada waktu dikulturkan secara in vitro.
    • Pentingnya lingkungan tanaman induk yang lebih higienis untuk mendapatkan eksplan yang lebih berkualitas dan lebih bersih terbukti pada pembiakan in vitro berbagai tanaman tropis, seperti jati, pisang, anggrek, vanili, dan pepaya.
    • Tanaman sumber eksplan sebaiknya dikondisikan di rumah kaca atau rumah plastik.
    • Pemeliharaan yang diperlukan meliputi pemangkasan, pemupukan, dan penyemperotan dengan pestisida (Fungisida, bakteriosida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang tumbuh menjadi lebih bersih dan sehat dari kontaminan.
    • Di samping mengusahakan lingkungan tanaman yang lebih bersih dan higienis, perubahan status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu diperlukan, seperti memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh.
    • Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan fotoperiodisitas san temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokininuntuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi kultur.
    Inisiasi Kultur
    • Tujuan utama tahap ini adalah mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik.
    • Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan.
    • Untuk mendapatkan kultur yang bersih dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi.
    • Sterilisasi merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminasi mikroorganisme yang menempel dipermukaan eksplan.
    • Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan eksplan adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, dan HgCL2. sterilisasi dan penanganan eksplan secara lebih rinci dijelaskan dalam bab berikutnya.
    • Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencoklatan atau penghitaman bagian eksplan.
    • Pada waktu jaringan terkena sters mekanik, seperti perlukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk atau proses sterilisasi eksplan, metabolisme senyawa berfenol ini sering bersifat toksik, menghambat pertumbuhan, atau bahkan mematikan jaringan eksplan.
    • Untuk mengatasi pencoklatan di bagian eksplan, pengondisian tanaman induk di lingkungan yang bersih (sehat) pada tahap ini sangat membantu, karena tidak diperlukan sterilisasi yang terlalu kuat.
    • Untuk mengatasi atau mengurangi pencoklatan atau penghitaman jaringan,
    George dan Sherrington (1984) menyarankan beberapa tindakan yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:
    1. Mengurangi dan menyerap senyawa fenol yang dihasilkan dengan perlakuan arang aktif atau PVP(polyvinylpyrrolidone)
    2. Memodifikasi potensial redoks dengan merendam atau menambahkan antioksidan atau agen pereduksi ke dalam media. zat yang bisa digunakan di antaranya campuran antara asam sitrat dan asam askorbat.
    3. Menghambat aktivitas enzim fenolase dengan agen pengelat sepeeti EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid), DIECA( sodium diethyl dithiocarbamate), 8-HQ (8- hydroxyquinoline) dan phenylthiourea.
    4. Mengurangi aktivitas fenolase dan ketersediaan substratnya dengan cara perlakuan pH rendah dan inkubasi pada ruang gelap
    5. Menggunakan media tanpa Cu2+ dan Fe3+ pada tahap awal pengulturan eksplan, karena kedua ion ini berperan awal dalam oksidasi fenol. Jika pencoklatan sudah teratasi, eksplan dapat dipindahkan ke media normal yang dilengkapi dengan kedua ion tadi.

    Multifikasi atau Perbanyakan Propagul
    • Pada prinsipnya, tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya.
    • Pada tahap ini perbanyakan tunas dirangsang,umumnya dengan mendorong percabangan tunas lateral atau merangsang pe,bentukan tunas advektif.
    • Kondisi ini memerlukan sitokinin seperti BA, 2-iP, kinetin, atau zhidiozuron.
    • Cara pemakaiannya, eksplan yang hidup dan tidak terkontaminasi (aseptik) dari tahap inisiasi kultur dipindahkan auat disupkulturkan ke media yang mengandung sitokinin.
    • Propagul yang dihasilkan dalam jumlah berlipat disubkulturkan terus secara berulang-ulang sampai dicapai jumlah propagul yang diharapkan.
    • Setelah itu, tunas mikro yang dihasilkan dapat diakarkan dan diaklimatisasi.
    • Subkultur dapat dilakukan beberapa kali sampai jumlah tunas yang dihasilkan sesuai dengan yang kita diharapkan, tanpa mengorbankan kualitas tunas.
    • Subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu tunas, seperi terjadinya vitrifikasi (suatu gejala ketidaknormalan fisiiologis) dan aberasi (penyimpangan) genetik.
    • Keadaan ini terjadi karena semakin banyak subkultur dilakukan berati semakin sering dikondisikan dalam media yang ngandung sitokinin, sehingga daya regenerasinya meningkat.
    • Akibatnya, kultur yang semula hanya menghasilkan tunas advektif dalam jumlah banyak.
    • Dengan demikian, metode perbanyakan in vitro yang digunakan kadang-kadang sulit menetapkan percabangan tunasa lateral atau bersamaan dengan pembentukan tunas advektif.
    Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar
    • Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multifikasi dipindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas.
    • Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau kelompok.
    • Pemanjangan tunas secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara inidividu.
    • Setelah tumbuh cukup panjang, tunas tersebut dapat diakarkan,
    • Pemanjangan tunas dan perakaran dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan, baru diakarkan.
    • Pada spesies-spesies yang mudah berakar, seperti pisang, strauberi, vanili, dan spathyphyllum, pemanjangan tunas dalam media tanpa sitokinin juga dapat sekaligus merangsang pembentukan akar, sehingga tidak diperlukan pengakaran tunas secara tersendiri.
    • Pengakaran tunas dapat dilakukan secara in vitro atau ex vitro (extra vitrum atau in vivo).
    • Untuk skala komersial, pengakaran ex vitro mempunyai banyak kelebihan karena dapat menghemat tenaga dan biaya, serta morfologi akar yang terbentuk juga lebih baik.
    • Pengakaran tunas in vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA.
    • Alternatif lain, induksi pengakaran dapat dilakukan secara in vitro, lalu perkembangan akarnya dilakukan secara ex vitro.
    • Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya.
    • Disamping itu, beberapa perlakuan yang disebut hardening invitro telah dilaporkan dapat meningkatkan tunas pada tahap ini, sehingga planlet atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasi dengan persentasi yang lebih tinngi.
    Beberapa perlakuan yang biasa dilakukan sebagai berikut:
    1. Mengondisikan kultur di tempat yang pencahayaannya berintensitas lebih tinggi (contohnya 10.000 lux) dan suhunya lebih tinggi.
    2. Pemanjangan dan pengakaran tunas mikro dilakukan dalam media kultur dengan hara mineral dan sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar-agar yang lebih tinggi.

    Aklimatisasi Planlet ke Lingkungan Luar
    • Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca, rumah plastik, atau sreenhouse (rumah kaca kedap serangga).
    • Proses ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah pengkoordinasian palanlet atau tunas mikro( jika pengakaran dilakukan dalam ex vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah sehingga planlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang.
    • Prosedur pembiakan dalam kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat ke kondisi eksternal dengan keberhasilan tinggi
    • Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim di rumah kaca, rumah plastik, dan lapangan sangat jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol.kondiis di laur botol kelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptikdan tingkat cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi di luar botol.
    • Planlet atau tunas mikro lebih bersefat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi kelembaban sangat tinggi, aseptik, serta suplai hara mineral dan energi berkecukupan.
    • Di samping itu, tanaman tersebut memperlihatkan beberapa gejala ketidaknirmalan, seperti bersifat sangat sukulen, lapisan kutikula tipis, dan jaringan vaskulernya tidak berkembang sempurna, morfologi daun abnormal dengan tidak berfungsinya stomota sebagaimana mestinya, struktur mesofil berubah, dan aktivitas fotosintesisnya sangat rendah.
    • Dalam karakteristik seperti itu, planlet atau tunas mikro mudah layu atau kering jika dipindahkan ke kondisi eksternal secara tiba-tiba.
    • Karena itu, planlet atau tunas mikro tersebut perlu diadaptasikan ke lingkungan baru yang lebih keras. Dengan perkataan lain, planlet atau tunas mikro perlu diaklimatisasi.
    • Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet atau tunas mikri ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi.
    • Secara berangsur-angsur kelembaban diturunkan dan intensitas cahaya dinaikan.
    • Cara yang paling mudah mengaklimatisasi dengan memindahkan ke bak aklimatisasi dengan media campuran tanah, pasir dan kompos, kemudian disemprotkan dengan air, dan disungkup dengan plastik.
    • Media aklimatisasi yang dipakai juga bisa berupa campuran media lain yang cocok.
    • Bentuk bak atau struktur aklimatisai bisa beragam, tergantung pada kebutuhan, skala produksi bibit, serta jenis tanaman yang diaklimatisasi.
    • Jika diperlukan aklimatisasi untuk puluhan ribu bibit dalam sebulan, struktur yang diperlukan bisa berupa bedengan bersangkup plastik dengan lebar 80 cm dan panjangnya sesuai kebutuhan.
    Alat dan Bahan
    Alat yang digunakan:
    1. Botol fido
    2. Alat tanam
    3. LAFC
    4. Cawan
    5. Rak kultur
    Bahan yang digunakan:
    1. Dendrobium lylipride
    2. Dendrobium schulery
    3. Alkohol 70%
    4. Media MS
    5. BAP
    6. Air kelapa
    7. Pisang
    8. Charcoal
    9. Tanah humus
    10. Pakis / Serabut kelapa
    Cara Kerja

    A. Subkultur Dendrobium lylipride Pada Media MS untuk Perbanyakan
    1. Disiapkan Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) dengan menyalakan lampu UV selama minimal 30 menit, lalu dinyalakan blower dan lampu serta dibersihkan bagian bawah laminar dengan alkohol 70%
    2. Dimasukan alat-alat yang akan digunakan yang sebelumnya telah disemprotkan dengan alkohol 70%
    3. Dibuka botol sumber eksplans dan kepala botol
    4. Diambil eksplan Dendrobium lylipride dengan menggunakan pinset lurus
    5. Ditaruh ekspan ke dalam cawan yang didalamnya terdapat kertas putih
    6. Dipotong akar dengan menggunakan pisau scalpel
    7. Dibuka allumunium pada botol fido dengan menggunakan pinset bengkok, lalu allumunium foil ditaro di bawah dengan posisis terlentang
    8. Ditaruh botol fido didekat api
    9. Didirikan tanaman pada media agar dengan posisi tegak lurus. Satu botol fido ditanam 3 tanaman yang besar atau lima tanaman dengan ukuran kecil
    10. Ditutup fido dengan allumunium foil, lalu ditempeltan dengan wrapping plastik sampai denutup botol fido
    11. Disimpan di dalam rak kultur
    12. Diamati pertambahan tinggi pada eksplan

    Subkultur Dendrobium schulery pada Media Perakaran
    • Pembuatan media perakaran dengan membuat tiga jenis media yang berbeda, yaitu:
    1. Media MS+BAP1mg/l+ air kelapa 150ml/l+Pisang 50 mg/l+ charcoal 2 gl
    2. Media MS+NAA1mg/l+ air kelapa 150ml/l+Pisang 50 mg/l+ charcoal 2 gl
    3. Media MS+IAA1mg/l+ air kelapa 150ml/l+Pisang 50 mg/l+ charcoal 2 gl
    4. Media MS+IBA1mg/l+ air kelapa 150ml/l+Pisang 50 mg/l+ charcoal 2 gl
    • Dilakukan subkultur Dendrobium schulery
    • Diamati akar yang terbentuk setiap satu minggu

    Aklimatisasi
    1. Planlet di dalam botol tanam dimasukkan aquadest dan dikocok sampai planlet lepas dari media
    2. Dimasukan planlet ke dalam bak yang berisi aquadest untuk membersihkan dari sisa agar
    Aklimatisasi dilakukan dengan menggunakan Dendrobium schulery pada tiga media yang berbeda, yaitu:
    1. Akar Pakis Akar pakis sebelum digunakan sebagai media aklimatisasi, dicuci dan direbus dengan air panas.
    2. Serabut Kelapa
    3. Tanah Humus/Pelet
    4. Selanjutnya media dimasukan ke dalam pot kecil
    5. Pot-pot tersebut dimasukan ke dalam wadah yang dapat menyerupai rumah kaca.
    6. Diamati media mana yang dapat menumbuhkan lebih cepat.

    Pembahasan
    • Pada praktikum kali ini dilakukan subkultur anggrek, yang dilakukan dengan memperbanyak Dendrobium lylipride, memperbanyak pada media perakaran pada tumbuhan Dendrobium schulery, dan aklimatisasi. Dimana subkultur adalah proses penanaman ulang dengan atau tidak adanya proses perbanyakan eksplan ke dalam media yang baru.
    • Dari hasil penanaman subkultur Dendrobium lylipride, terdapat 3 tanaman yang terkontaminasi. Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi karena adanya infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan kontaminasi eksternal dilakukan dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman. Infeksi internal tidak dapat dihilangkan dengan sterilisasi permukaan.
    • Selain itu, faktor sterilitas ruangan juga sangat menentukan terhadap kontaminasi. Ruangan yang sudah steril dapat saja berubah menjadi tidak steril pada saat musim hujan, sehingga dapat membawa masuknya bakteri dan jamur dari luar, serta dapat meningkatkan kelembaban yang akan mempercepat perkembangan mikroorganisme. Pengambilan meristem sebagai eksplan harus dilakukan dalam ruang steril (aseptik) agar tidak terkontaminasi (Sunarjono, 2002).
    • Kontaminasi disebabkan oleh jamur, bakteri dan cendawan. Kontaminasi oleh jamur terlihat jelas pada media, media dan eksplan diselimuti oleh spora berbentuk kapas berwarna putih, sedangkan kontaminasi oleh bakteri, pada eksplan terlihat lendir berwarna kuning sebagian lagi melekat pada media membentuk gumpalan yang basah. Jamur yang mengkontaminasi media dan eksplan adalah jamur yang biasa ada di laboratorium seperti Aspergillus sp, Monilla sp dan Penicillium sp (Setiyoko, 1995). Bakteri menurut Setiyoko (1995), yang mungkin berasal dari laboratorium adalah bakteri gram positif.
    • Pada Media Perakaran dari Dendrobium schulery, didapatkan tidak tidak terkontaminasi. Hal ini dimungkinkan karena proses kesterilan dapat lebih dijaga sehingga kontaminasi dapat diminimalisir. N amun belum terdapat dari subkultur yang membentuk akar, karena mungkin waktu yang kurang, walaupun telah diberikan zat pengatur tumbuh. Pembentukan akar merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembiakan mikro. Proses pembentukan akar belum sepenuhnya dimengerti. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan akar pada stek telah diketahui mempunyai pengaruh yang hampir sama pada stek mikro, diantaranya pengaruh genetik, umur ontogenik, dan ZPT terutama auksin(Yusnita,2003)
    • Penambahan auksin dan sitokinin tidak selalu dibutuhkan, terutama sitokinin. Diduga bahwa sitokinin sudah diproduksi oleh akar dan penambahan sitokinin eksogen tidak perlu(Gunawan,1992).
    • Praktikum yang ketiga adalah aklimatisasi pada tanaman Dendrobium schulery. Dimana aklimatisasi adalah pengkoordinasian palanlet atau tunas mikro( jika pengakaran dilakukan dalam ex vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah sehingga planlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang. Media yang digunakan pada aklimatisasi adalah pakis, serabut kelapa dan tanah humus.
    • Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembapan nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembapannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan (Yusnita,2003).
    • Pakis merupakan pohon jenis palm, pohon pakis mempunyai batang yang berserat kasar. Batang pakis yang telah ditebang dan diproses maka akan dihasilkan potongan-potongan serat yang sangat cocok untuk pertumbuhan Anthurium.
    • Sifat media pakis ini adalah ringan, sangat porous dan mampu menahan air dengan baik. Bila disiram air, kondisi media pakis akan mampu mempertahankan kelembaban tetapi tidak jenuh air. Disamping itu, porousitas yang baik akan mampu memberikan susunan udara (aerasi) yang baik. Aerasi sangat dipengaruhi oleh susunan pori makro pada media. Media pakis, karena tersusun dari serat-serat kayu yang kasar maka susunan pori makronya sangat baik(www.duniaflora.com)
    • Sebelum akar pakis digunakan sebagai media, akar pakis disterilisasi dengan cara dicuci dengan air keran dan selanjutnya pakis direbut selama kurang lebih setengah jam. Hal ini dikarenakan media tersebut disukai oleh senut dan hewan kecil lainnya atau bahkan organisme
    • Media Aklimatisasi yang kedua yang digunakan adalah serabut kelapa. Media sabut kelapa kini semakin banyak digunakan sebagai media tumbuh anggrek. Sabut kelapa memiliki keunggulan yaitu mudah mengikat dan menyimpan air dengan baik, mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, serta mudah diperoleh dalam jumlah besar.
    • Sayangnya media ini mudah lapuk dan terlalu kuat menyimpan air, sehingga dapat menjadi sumber penyakit busuk akar dan busuk tunas anakan. Oleh karena itu, media sabut kelapa lebih cocok digunakan didaerah panas. Didaerah yang sering turun hujan, perlu menghindari penggunaan media ini. Bila terpaksa, kombinasikan dengan media yang tidak menyerap air, seperti arang kayu bakar atau sejenisnya.
    • Sabut kelapa mengandung beberapa unsur dan senyawa antara lain, K, P, Ca, Mg dan N. Selain itu, kaya bahan organik, abu, pektin, hemiselulosa, selulosa, pentosa dan lignin. Pektin berfungsi sebagai penguat lapisan tengah dinding sel. Hemiselulosa dan selulosa penyusun utama dinding sel yang berfungsi untuk memperkuat sel-sel kayu. Lignin berfungsi untuk mengeraskan dinding sel. Calsium selain berfungsi menguatkan dinding sel, juga mengaktifkan pembelahan sel-sel meristem. Magnesium sangat penting dalam pembentukan chlorofil(www.vincanursery.com)
    • Media yang ketiga adalah pelet atau tanah humus. Media ini menurut daunbagus.com memiliki daya serap yang tinggi yaitu 80-90% dari bobot tubuhnya. Dengan degitu media tetap lembab. Ciri media lembap terasa basah jika tangan dimasukkan, tapi air tidak sampai menggenang.
    • Hasil dari aklimatisasi ini menunjukan tidak adanya tanaman yang dapat tumbuh pada media apapun. Hal ini dimungkinkan karena tanaman tersebut tidak dapat menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru yang jauh lebih ekstrim. Menurut Nina dan Dedi(2007),tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur.
    Menurut Livy (2007), masa aklimatisasi merupakan masa yang sangat kritis, karena pucuk/planlet in vitro menunjukan beberapa sifat yang tidak menguntungkan seperti:
    1. Lapisan lilin / kutikula tidak berkembang dengan baik
    2. Lignifikasi batang kurang
    3. Sel-sel palisade daun sedikit
    4. Jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang
    5. Stomata sering tidak berfungsi(tidak menutup pada penguapan tinggi)
    Keadaan ini menyebabkan pucuk in vitro sangat peka terhadap:
    1. Evapotranspirasi
    2. Serangan cendawan dan bakteri tanah
    3. Cahaya dengan intensitas tinggi
    • Oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro memerlukan penanganan khusus.
    • Dalam operasi skala besar, aklimatisasi dilakukan di dalam rumah kaca/plastic yang RH-nya 100%.
    • Pengaturan RH dilakukan dengan mesin pembuat kabut (fog machine) yang menyemburkan butiran-butiran air yang sangat halus, sehingga air yang disemburkan hanya berupa kabut tipis.

    Kesimpulan
    • Media MS dapat digunakan dalam perbanyakan Dendrobium lilypride
    • ZPT sering ditambahkan dalam media perakaran
    • Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis
    • Media pakis akan mampu mempertahankan kelembaban tetapi tidak jenuh air
    • Sabut kelapa memiliki keunggulan yaitu mudah mengikat dan menyimpan air dengan baik, mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, serta mudah diperoleh dalam jumlah besar
    • Pelet mempunyai serap yang tinggi yaitu 80-90% dari bobot tubuhnya

    PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

    IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...