Sebagai seorang Mukmin, kita melaksanakan puasa wajib setahun sekali pada bulan Ramadhan. Akan tetapi, tahukah kita mengapa perlu melaksanakan puasa? Sebagian dari kita mungkin akan menjawab, bahwa kita melaksanakan puasa karena sekadar memenuhi kewajiban.
Atau kita berpuasa karena berharap adanya pahala atau sebaliknya karena takut berdosa. Dalam bahasa yang lebih tegas, sebagian dari kita berpuasa karena takut pada ancaman neraka (Shihab, 2008: 53).
Puasa Ramadhan, merupakan kewajiban bagi seorang Mukmin yang mukallaf. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat penjelasan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Puasa Ramadhan adalah bagian dari Rukun Islam yang wajib dilaksanakan.
Namun demikian tidak berarti kita melaksanakan puasa karena landasan kewajiban semata. Pemahaman seperti ini akan membuat kita berpuasa semata-mata menggugurkan kewajiban, walauapun ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jika berkutat hanya pada pemahaman ini membuat kita kurang bisa memaknai ibadah puasa yang kita lakukan.
Kita tidak bisa berhenti dengan pemahaman seperti itu. Karena hal itulah yang membuat puasa kita tidak pernah beranjak naik alias stagnan. Bila pemahaman kita masih seperti ini, maka termasuk yang disindir oleh Al-Quran “Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad : 10-11)
Pemahaman terhadap puasa hanya semata kewajiban membuat puasa yang kita lakukan tidak pernah meningkat. Memang, meningkatkan pemahaman tentang puasa, tidaklah mudah. Dan inilah yang terus-menerus kita lihat dan kita rasakan dari tahun ke tahun. Tapi, oleh Allah kita diberikan dua jalan, yaitu jalan yang datar, tetap berkutat pada pemahaman yang ada saja, atau jalan yang mendaki, berusaha untuk menggali hal ihwal yang berhubungan dengan puasa agar ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya.
Puasa bukanlah semata-mata ibadah wajib. Puasa bukanlah menahan haus dan lapar, serta hubungan seksual. Tetapi lebih dari itu, yakni puasa adalah ibadah yang luar biasa karena cakupannya yang meliputi dimensi individual, sosial, dan vertikal (Hidayat, 2008: 112).
Seorang Muslim melaksanakan puasa adalah wujud keimanan dan ketundukan kita pada Allah Swt “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)
Puasa adalah tanda keimanan seorang muslim. Pakar Tafsir M Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini adalah undangan bagi mereka yang beriman walau seberat apapun. Di mana dengannya orang yang beriman menggapai ketakwaan. Kata diwajibkan dalam ayat ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan.
Hal ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan atas dirinya (Shihab, 2007: 401).
Dan begitulah realitasnya. Kata-kata minqoblikum dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada banyak kelompok umat manusia yang melakukan puasa dengan berbagai cara. Misalnya orang-orang Mesir kuno, sebelum mereka mengenal agama samawi, sudah mengenal puasa. Demikian juga orang-orang Yunani, Romawi, penganut agama Nasrani, Yahudi, Budha, dan lain-lain.
Saat kita berpuasa berarti kita sedang melangkah mendekatkan diri dengan sifat Tuhan. Puasa adalah sebuah metode atau cara yang dilakukan manusia untuk menghayati apa yang dihayati oleh Allah (Zuhri, 2007: 45). Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt :”...padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?...” (QS. Al-An’am : 14).
Allah tidak makan, tapi memberi makan. Jika manusia sudah menghayati keadaan Allah, yang tidak makan, meski tidak seumur hidupnya, maka ia diibaratkan besi yang dimasukkan ke dalam api. Ia akan memiliki sifat api, berubah warnanya menjadi merah, dan jika diletakkan di atas kapas atau kertas akan terbakar karenanya. Demikian pula dengan puasa. Puasa yang benar akan membuat pelakunya mendekat kepada sifat-sifat Tuhan (Zuhri, 2007: 46).
Puasa adalah amalan yang sangat pribadi. Saat seseorang berpuasa, tak seorang pun yang mengetahui, apakah ia benar-benar berpuasa atau sekadar pura-pura. Yang mengetahui seseorang berpuasa hanya dirinya dan Tuhan. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Setiap amalan anak Adam untuknya satu kebaikan dibalas dengan 10 sampai 700 kebaikan. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga kita semua dapat memaknai puasa dengan baik dan benar, sehingga meraih derajat takwa. Wallahua’lam.
Atau kita berpuasa karena berharap adanya pahala atau sebaliknya karena takut berdosa. Dalam bahasa yang lebih tegas, sebagian dari kita berpuasa karena takut pada ancaman neraka (Shihab, 2008: 53).
Puasa Ramadhan, merupakan kewajiban bagi seorang Mukmin yang mukallaf. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat penjelasan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Puasa Ramadhan adalah bagian dari Rukun Islam yang wajib dilaksanakan.
Namun demikian tidak berarti kita melaksanakan puasa karena landasan kewajiban semata. Pemahaman seperti ini akan membuat kita berpuasa semata-mata menggugurkan kewajiban, walauapun ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jika berkutat hanya pada pemahaman ini membuat kita kurang bisa memaknai ibadah puasa yang kita lakukan.
Kita tidak bisa berhenti dengan pemahaman seperti itu. Karena hal itulah yang membuat puasa kita tidak pernah beranjak naik alias stagnan. Bila pemahaman kita masih seperti ini, maka termasuk yang disindir oleh Al-Quran “Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad : 10-11)
Pemahaman terhadap puasa hanya semata kewajiban membuat puasa yang kita lakukan tidak pernah meningkat. Memang, meningkatkan pemahaman tentang puasa, tidaklah mudah. Dan inilah yang terus-menerus kita lihat dan kita rasakan dari tahun ke tahun. Tapi, oleh Allah kita diberikan dua jalan, yaitu jalan yang datar, tetap berkutat pada pemahaman yang ada saja, atau jalan yang mendaki, berusaha untuk menggali hal ihwal yang berhubungan dengan puasa agar ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya.
Puasa bukanlah semata-mata ibadah wajib. Puasa bukanlah menahan haus dan lapar, serta hubungan seksual. Tetapi lebih dari itu, yakni puasa adalah ibadah yang luar biasa karena cakupannya yang meliputi dimensi individual, sosial, dan vertikal (Hidayat, 2008: 112).
Seorang Muslim melaksanakan puasa adalah wujud keimanan dan ketundukan kita pada Allah Swt “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)
Puasa adalah tanda keimanan seorang muslim. Pakar Tafsir M Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini adalah undangan bagi mereka yang beriman walau seberat apapun. Di mana dengannya orang yang beriman menggapai ketakwaan. Kata diwajibkan dalam ayat ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan.
Hal ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan atas dirinya (Shihab, 2007: 401).
Dan begitulah realitasnya. Kata-kata minqoblikum dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada banyak kelompok umat manusia yang melakukan puasa dengan berbagai cara. Misalnya orang-orang Mesir kuno, sebelum mereka mengenal agama samawi, sudah mengenal puasa. Demikian juga orang-orang Yunani, Romawi, penganut agama Nasrani, Yahudi, Budha, dan lain-lain.
Saat kita berpuasa berarti kita sedang melangkah mendekatkan diri dengan sifat Tuhan. Puasa adalah sebuah metode atau cara yang dilakukan manusia untuk menghayati apa yang dihayati oleh Allah (Zuhri, 2007: 45). Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt :”...padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?...” (QS. Al-An’am : 14).
Allah tidak makan, tapi memberi makan. Jika manusia sudah menghayati keadaan Allah, yang tidak makan, meski tidak seumur hidupnya, maka ia diibaratkan besi yang dimasukkan ke dalam api. Ia akan memiliki sifat api, berubah warnanya menjadi merah, dan jika diletakkan di atas kapas atau kertas akan terbakar karenanya. Demikian pula dengan puasa. Puasa yang benar akan membuat pelakunya mendekat kepada sifat-sifat Tuhan (Zuhri, 2007: 46).
Puasa adalah amalan yang sangat pribadi. Saat seseorang berpuasa, tak seorang pun yang mengetahui, apakah ia benar-benar berpuasa atau sekadar pura-pura. Yang mengetahui seseorang berpuasa hanya dirinya dan Tuhan. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Setiap amalan anak Adam untuknya satu kebaikan dibalas dengan 10 sampai 700 kebaikan. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga kita semua dapat memaknai puasa dengan baik dan benar, sehingga meraih derajat takwa. Wallahua’lam.