Wednesday, July 31, 2013

Jangan Lihat Seseorang dari Luarnya

Cerita ini berawal kira-kira lima tahun yang lalu. Seperti biasa, hari itu jadwal mengajar mata kuliah Metode Pembelajaran Sains. Waktu perkuliahan dimulai tepat pukul 08.00 WIB. Lima belas menit sebelum perkuliahan dimulai, biasanya aku telah hadir di kampus. Ini adalah komitmen yang harus tetap dijaga agar menjadi media pembelajaran bagi Mahasiswa agar tidak telat dalam aktifitas perkuliahannya. Dan itu harus dimulai dari diri dosennya terlebih dahulu.

Memasuki ruangan dosen, meletakkan tas di atas meja, sembari menunggu waktu tepat pukul 08.00 aku mengambil gelas dan mulai menuangkan teh hangat yang memang telah disiapkan. Ada beberapa makanan ringan yang juga aku ambil, lumayan sekedar mengganjal perut untuk dua jam kedepan.

Seperti biasa ruang dosen sepi, hanya ada satu atau dua dosen yang berada di dalam ruangan. Tampaknya mereka punya jadwal perkuliahan pagi. Sambil tersenyum mereka menyapaku dan dalam waktu yang singkat mereka kembali sibuk dalam aktifitas masing-masing. Membaca Koran, atau sibuk menyiapkan materi perkuliahan.

Waktu menunjukkan pukul 07.55 menit. Ini artinya sebentar lagi aku harus sudah berada di kelas. Namun sebelum menuju ke kelas untuk mengajar, ada satu kebiasaan yang selalu aku lakukan. Masuk ke toilet, merapihkan pakaian, dan melihat tatanan rambut di cermin besar yang disediakan di dalamnya. Ini perlu, karena aku menganggap penampilan akan mempengaruhi minat Mahasiswa dalam belajar. Bayangkan jika penampilan dosennya acak-acakan maka jelas mereka pun akan malas untuk memperhatikan atau bahkan fokus mendengarkan penjelasan yang akan disampaikan.

Sambil melangkah pelan menuju toilet yang letaknya berada di ruangan belakang, aku terhenti sejenak karena aku melihat ada OB yang sedang membersihkan toilet. Merasa tak ingin mengganggu pekerjaannya aku menunggu sejenak hingga ia selesai membersihkan baru aku masuk. Dan aku pikir hanya akan memakan waktu beberapa menit saja.

Sambil tersenyum aku memandang kearahnya, ia acuh tak acuh menatapku. Aku kenal semua OB yang biasanya membersihkan ruangan dosen, ruangan kelas maupun toilet. Tapi kali ini wajahnya terasa sangat asing bagiku dan aku yakin belum pernah melihatnya. Mungkin ini adalah hari pertamanya untuk kerja. Dari pembawaannya, aku bisa menebak umurnya tak lebih dari 25 tahunan. 

Aku kembali tersenyum memberikan isyarat bahwa aku ingin masuk ke dalam toilet. Namun tetap saja ia acuh tak acuh dan kali ini menatapku dengan sinis. Karena waktu terus berjalan, dan sesaat lagi jadwal untuk mengajar akan dimulai. Aku tak ingin komitmen untuk mengajar tepat waktu terhambat gara-gara kebiasaanku ini. 

Aku menyapanya, “Permisi Mas saya mau ke toilet sebentar?” aku tegur ia dengan sopan, namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.

“Permisi Mas, saya mau ke toilet.” Sambil menunjukkan raut muka yang mengiba, aku ulangi lagi keinginanku. 

Namun betapa kagetnya aku ketika keluar sebuah jawaban kasar darinya.

“Eh kamu lihat ga’? ada orang disini lagi ngebersihin toilet. Dari tadi aku diemin ternyata masih ga’ ngerti juga ya? Kamu tau ga’ toilet Mahasiswa tuh di luar. Itu tuh di bawah tangga. Ini toilet khusus dosen. Bisa baca tulisan diatas ga’. KHUSUS DOSEN. Udah sana gangguin orang kerja aja.”

Aku kaget bukan kepalang, namun aku masih bisa tersenyum. Belum lepas rasa kaget itu aku kembali di kejutkan sebuah teriakan kasar.

“Eh ko malah masih berdiri disini?? ga’ ngerti bahasa manusia ya?? toilet Mahasiswa itu di luar.”

Wajahku merah menahan malu akibat dicaci maki, karena kebetulan disaat bersamaan seorang Mahasiswi menemuiku untuk mengingatkan bahwa waktu perkuliahan sudah bisa dimulai.

“Permisi Pak, perkuliahan sudah bisa dimulai, Mahasiswanya sudah hadir semua.”
“Iya sebentar lagi saya masuk ke kelas, tolong disiapkan aja dulu LCDnya. Nanti saya segera menyusul.”

Mungkin karena sang OB kaget ada Mahasiswi yang menegurku tepat di depannya kemudian mengingatkan bahwa perkuliahan telah bisa dimulai. Dia kaget, dan tampak wajahnya lebih merah dariku karena malu. Tampaknya ia tak bisa berkata-kata lagi.

“Permisi Mas, ini toilet khusus Dosen kan? Maaf ya, boleh saya mau masuk sebentar? Karena sebentar lagi saya ada jadwal mengajar.” Tegurku dengan sopan.

Tanpa bisa berkata-kata lagi ia mempersilahkan aku masuk. Sambil melangkah masuk ke dalam toilet aku berkata dalam hati “Apa aku belum pantas ya jadi dosen? Apa umur 23 masih aneh jadi dosen ? Apa masih terlihat kayak mahasiswa? Kalo’ mahasiswa pasca sih emang iya hehehe. Apa wajahku masih terlihat sangat muda?

Ah, ternyata memang ga’ baik memandang seseorang dari luarnya aja.” 

                                                                           --oOo--

Coba kita simak dengan iman sebuah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12). Sebuah peringatan jelas dari Allah untuk orang-orang yang beriman agar menjauhi prasangka. Karena tabiatnya prasangka akan menjurus pada keburukan, memandang rendah orang lain, dan yang paling parah mengarah pada fitnah.

Berapa banyak diantara kita yang memelihara prasangka di dalam hatinya. Dan berapa banyak juga diantara kita yang akibat memelihara prasangka, mereka terjerumus di jurang kehinaan akibat kesalahan mereka sendiri. Mereka menuduh, mencaci maki dan akhirnya menyebar fitnah.

Ironis memang jika kita lebih suka memandang seseorang dari tampak luarnya saja. Karena terkadang apa yang tampak di luar belum tentu bisa mengapresiasikan yang ada di dalam hati. 

Ada pepatah asing yang mengatakan don't judge a book by its cover. Ini menegaskan bahwa apa yang tampak dari tampilan luar tak selamanya mampu seimbang dengan apa yang ada di dalam isi. Terkadang kita lebih suka memunculkan dugaan sinisme bagi orang yang secara penampilan tidak menarik. Padahal dalam sejarah, tinta-tinta emas kehidupan lebih sering diwarnai oleh kisah-kisah heroic orang-orang yang bukan berasal dari kasta kesatria.

Islam pun telah banyak mencatat sejarahnya sendiri. Sejarah orang-orang dengan derajat mulia namun dengan penampilan tak seberapa. Masih ingatkah kita dengan sahabat Nabi yang ketika ayat-ayat Al-Qur’an mengalun indah dari bibirnya, seketika itu juga membuat Nabi terisak-isak hanyut dalam kesedihan. 

Dialah Ibnu Mas’ud. Sahabat keenam dari enam orang pertama yang menyatakan dirinya masuk Islam dan yang luar biasanya ia dijanjikan Rasulullah dengan syurga. Ia juga yang mendapat pujian dari Rasulullah dalam haditsnya “Bacalah Al-Qur’an dari empat orang :…..dari Ibn Ummi ‘Abd(yaitu Ibn Mas’ud)” (HR. Muslim). 

Dibalik prestasi luar biasa itu ia memiliki fisik yang tak seperti bangsa Arab kebanyakan. Ia tidak kekar, atau bahkan tampan dan mempesona karena ia seorang yang kurus ceking dan pendek, jika berdiri hanya setinggi orang yang duduk.

Suatu ketika Ibnu Mas’ud sedang memanjat sebuah pohon untuk mengambilkan jenis ranting yang biasa dipakai Rasulullah untuk bersiwak. Seketika itu para sahabat tak kuasa menahan tawa saat melihat kaki Ibnu Mas’ud yang begitu kurus dan kecil. Namun apa kata Rasulullah, “kaki itu lebih berat dari Gunung Uhud” (Shahih Ibn Hibban).

Kisah yang sangat menggetarkan, bagaimana ketidak sempurnaan punya caranya sendiri untuk bisa bangkit dan berbalik menjadi sebuah kemuliaan. Sekaligus mematahkan teori orang-orang yang sering menjadikan penampilan luar sebagai acuan dalam menilai sesuatu.

Penampilan seringkali hanyalah sebagai tameng untuk menampilkan ketidak sempurnaan seseorang. Ketidak sempurnaan yang dibalut dengan kemewahan yang sejatinya sering menipu. Penampilan tak ubahnya seperti kulit, yang lama kelamaan akan memunculkan sifat keasliannya berupa kekusaman, keriput atau bahkan membusuk. Oleh karena itu jangan pernah menjadikan penampilan sebagai penilaian valid terhadap sesuatu.

Kesederhanaan adalah cerminan dari kemuliaan. Kebijaksanaan merupakan nafas dari hati yang terjaga dan keangkuhan seringkali muncul dari rasa bangga akan penampilannya. Hanya orang yang sederhana dan bijaksanalah yang mampu menilai seseorang dari apa yang orang lain lakukan dan katakan tanpa memandang siapa yang berbicara. Karena orang sederhana dan bijaksana hanya mengambil hikmah dan manfaat dari sesuatu dan membuang keburukan dan kesia-siaan dari sesuatu. Wallahu a'lam.

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...