Wednesday, July 31, 2013

AKUILAH WALAU SEDIKIT

Malam itu seperti biasa, waktunya makan malam dan semua berkumpul bersama di ruang makan. Suasana kebahagian sebagai suatu keluarga terpancar dari keakraban di meja makan. Biasanya setelah selesai santap malam bersama tak lantas bubar melanjutkan kembali kegiatan masing-masing, namun masih terlibat obrolan-obrolan santai seputar aktifitas selama satu hari. Termasuk malam itu yang diawali obrolan singkat mengenai mengapa akhir-akhir ini PLN sering memadamkan lampu? Pompa air yang sedikit rusak sehingga lebih sering mengandalkan PDAM untuk mensuplai kebutuhan air keluarga, hingga berbagai obrolan mengenai aktifitas di sekolah tempat bunda mengajar, ada beberapa harga kebutuhan pokok yang mulai naik, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan pilpres, sampai memprediksi capres dan cawapres mana yang akan berhasil menuju istana Negara.

Namun sedikit aneh memang, obrolan malam itu berubah menjadi perdebatan alot dan sedikit bersitegang. Temanya tentu saja bukan seputar politik yang sedang memanas menjelang pilpres 2009. Tetapi seputar politik di mana aku tinggal, buntut dari dilengserkannya pejabat public yang katanya didesak dan dijatuhkan warga dengan berbagai intrik akibat kesombongan dan kesewenang-wenangannya pada amanah yang diberikan warga kepadanya.

Berbagai fakta dilapangan mulai dibeberkan ayah dan bundaku dengan sangat lugas, bak jaksa penuntut umum yang sedang meyakinkan hakim yang terhormat untuk menuntut terdakwah dengan hukuman penjara seumur hidup. Berbagai bukti ditunjukkan, diperkuat beberapa statemen para saksi ahli tentang ketidak beresan terdakwah selama menjalankan amanahnya. Ekspresi muka dibuat sedemikian meyakinkan sehingga sulit membedakan antara seperti jaksa penuntut atau artis terkenal sekelas Luna Maya atau bahkan Dian Sastro. Aku diam seribu bahasa mendengarkan berbagai penjelasan, hati seakan mau berontak, namun masih bisa tertahankan. Namun ternyata hasrat ingin berpendapat tak mampu terpendam lagi, apalagi aroma fitnah mulai menyebar seantero ruangan makan sederhana ini. Dengan khitmat aku mulai bersuara.

“Bolehlah kalau ayah dengan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, menjalankan sunnah Rasul untuk membetulkan saudara seiman dan seagama, masihlah aku terima. Namun jika sudah ada gelagat ghibah, namimah atau bahkan fitnah, tampaknya aku yang mesti membetulkan perkataan ayah.” Sindirku dengan kata halus dan sangat pelan.

“Bukan maksud ayah dan bunda untuk ghibah, tapi itulah fakta dilapangan. Hidup ini bermasyarakat, oleh karena itu ikutlah aturan masyarakat.” Ayahku berkelit membela diri.

“Iya kak, tidak ada maksud Ayah untuk memfitnah. Semua itukan memang benar.” Tambah bundaku sambil membereskan meja makan.

“Nah itu, menjelek-jelekkan saudara, melebih-lebihkan kejadian sebenarnya, pake mengutip perkataan seseorang, yang kita tahu belum tentu benar, apakah bukan fitnah namanya. Kata Rasul aja engga boleh menceritakan aib seseorang biarpun itu benar apalagi yang belum tentu benar. Makan bangkai saudara kata Rasul itu yah.”

“Jadi kau bilang ayahmu ini makan bangkai saudara?” Tanya ayahku dengan sedikit emosi.

“Bukan begitu yah, itukan kata Rasul.”

“Inikan fakta dilapangan?” kelit ayahku

“Iya aku tau ini sebuah fakta yah, tapi kita juga harus obyektif memandang sesuatu, seolah kita hanya membicarakan keburukannya tanpa sedikitpun memandang kebaikan dan kebenaran yang pernah dilakukannya.”

“Ayah tahu itu, tapi bagaimana kalau kejadiannya memang begitu?”

“Sudah-sudah, ini kok malah ayah dan anak yang jadi bertengkar.” Potong bundaku sambil mengedipkan mata kearahku untuk mengalah dan segera menjauh dari meja makan.

                                                                          --oOo--

Terkadang inilah yang terjadi, kita lebih banyak memandang keburukan orang lain tanpa menghiraukkan kebaikan seseorang walaupun itu sedikit. Kita lebih senang membicarakan aib orang lain daripada dengan kebesaran hati memandang kebenaran walau kadarnya sedikit. Tak mengherankan jika Rasullah menjadikan para penggunjing dan pengghibah seperti memakan bangkai saudara sendiri walaupun aib yang dibeberkan itu adalah benar. Bukan kebenaran ucapan yang dipermasalahkan Rasulullah sebenarnya, tetapi pembunuhan karakter seseorang yang lebih ditakutkan Rasulullah. 

Dampak sesungguhnya yang terjadi adalah tersingkirnya orang yang digunjingkan dari aktifitas sosial, yang tentu saja akan memudarkan semangatnya untuk bermasyarakat, yang lebih parah adalah menurunnya ghirah seseorang untuk beribadah karena rasa malu yang tak tertahankan akibat perlakuan masyarakat.

Jika hal itu sudah terjadi, maka akan ada banyak peristiwa penggunjingan dimasyarakat, bayangkan jika itu membudaya, akan ada berapa banyak orang yang tersingkir dalam masyarakat, jika jumlahnya telah menjamur, lalu membentuk komunitas “orang-orang terbuang”, dan akhirnya merealisasikan dendam pada masyarakat, maka sudah dapat dipastikan akan lahirnya aktifitas-aktifitas “sampah masyarakat” yang berakibat fatal bagi stabilitas keamanan sosial masyarakat itu sendiri.

Memang butuh perenungan dan pemikiran yang mendalam tentang suatu hal, termasuk dalam kaitannya persaudaraan. Bukan tanpa alasan ketika Rasulullah mengikat persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar. Jelas untuk menghindari “konflik status” antara kaum muslim agar tetap dalam ukhuwah Islamiyah, karena Rasulullah menyadari di tengah-tengah mereka ada “kaum sampah” yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay yang memimpin kaum munafik dan bersekutu dengan “bangsa kera” dari suku Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang ada di Madinah untuk meporak-porandakan kesatuan ummat.

Maka simaklah apa yang disabdakan Rasulullah: “tidaklah beriman seseorang, sebelum ia mencintai saudaranya sebelum ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari Muslim). Dalam konteks ini jelas, seseorang tidak akan mungkin menghina atau bahkan mencaci maki dirinya, karena tabiatnya manusia mencintai dirinya sendiri. Sehingga Rasulullah menjelaskan dalam hadits ini bahwa mencintai saudara lebih utama dari mencintai diri sendiri. Karena dengan mencintai orang lain sangat erat dalam kaitannya membangun peradaban Islam atas dasar persaudaraan. Dan persaudaraan merupakan landasan keimanan, sebab banyak ritual ibadah wajib dilakukan secara bersama-sama.

Akhirnya, mampu mengakui kebaikan dan kebenaran seseorang walau sedikit memang tidaklah mudah. Butuh perenungan yang benar dan cerminan yang nyata dalam merealisasikannya. Namun, sangat mudah bagi orang-orang yang yakin bahwa dalam dirinya pun masih terdapat banyak kekurangan. Karena sejatinya bagi orang-orang yang tahu kekurangan dirinya, ia akan senantiasa sibuk memperbaiki diri tanpa ada waktu untuk mencari-cari kesalahan orang lain.

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...