Perilaku seks bebas remaja di Sulut mengkhawatirkan. Data diperoleh dari salah satu organisasi peneliti masalah remaja menyebutkan, empat tahun terakhir remaja yang mengalami hamil di luar nikah meningkat terus. “Ini sebagai akibat dari perilaku seks bebas di kalangan remaja,” ujar Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulut Drs Temazaro Zega MKes.
Data itu menyebutkan, 2009 lalu remaja yang melaporkan hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) hanya sebanyak 55 orang. Setahun kemudian melonjak hingga 254 orang atau naik 361 persen, 2011 naik lagi jadi 454 orang atau 78 persen.
Dan tahun lalu bertengger di angka 521 orang atau naik 14,75 persen. “Walaupun hanya naik sedikit prosentasenya, tapi jumlahnya cukup besar. Ini tanda awas bagi orang tua yang memiliki anak gadis,” kata salah satu peneliti di organisasi yang intens meneliti remaja itu.
Aborsi menjadi fenomena biasa di kalangan remaja karena terjebak dalam KTD sebagai akibat dari seks bebas. Simak penuturan Bunga, sebut saja demikian, (18). Dia mengaku memilih aborsi dari pada harus diketahui oleh orang tua.
“Kita kwa saki hati mama deng papa so pisah, jadi kita bagini noh (saya sakit hati dengan mama dan papa yang pisah, jadi saya begini, red),” kata Bunga dengan nada sedih. Menurutnya, aborsi dia lakukan atas persetujuan pasangannya, dan tidak dilakukan di rumah sakit. Dia mengkonsumsi obat yang bebas dijual apotek (nama obat itu akrab dengan remaja yang pernah lakukan aborsi).
Hendra (nama disamarkan) salah seorang sopir mikrolet mengaku, tak hanya pil aborsi itu yang dikonsumsi anak muda. Sekarang banyak yang mencoba minuman yang dicampur dengan obat anti alergi hingga minuman beralkohol. “Pil itu banyak di apotik, tapi hanya diberikan untuk orang yang dianggap dewasa,” jelas Hendra. “Kalau kelihatan masih kuliah atau sekolah, biasanya tidak diberikan,” tambahnya.
Mawar (15), adik Bunga, juga mengaku ditawari seorang bidan untuk aborsi dengan menggunakan obat. Tapi karena tidak berhasil, dan sekarang dia sudah punya anak. Tapi masalahnya, baik dia maupun suaminya yang juga masih belia itu tak punya kerja untuk menghidupi keluarga. “Masih bergantung sama orang tua,” kata Mawar.
Hasil survei surveilans perilaku beresiko tertular HIV/AIDS pada kalangan remaja di Manado yang dilaksanakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Manado, 3 September hingga 2 Oktober 2011 lalu, menunjukkan hasil mengejutkan.
Bagaimana tidak, dari 822 siswa di 19 SMA/SMK/MA di Manado yang jadi responden di survei tersebut, 112 siswa mengaku pernah berhubungan seks. 69 di antaranya siswa laki-laki dan 43 adalah perempuan.
Remaja ini pun mengaku telah mengenal kondom. 43 siswa dan 11 siswi mengaku pernah menggunakan kondom. Sedangkan 26 laki-laki dan 32 perempuan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks terakhir kali. “Alasan mereka tidak gunakan kondom bervariasi, seperti malu membeli, karena cinta, dan memang tidak suka pakai kondom,” kata Plt. Kepala Seksi Surveilans Epidemologi Josef Morong SST.
KELUARGA KUNCI PENTING
Temazaro Zega menegaskan, kunci utama untuk mencegah perilaku seks bebas di kalangan remaja adalah keluarga. “Kita tidak boleh menyalahkan teknologi informasi, tapi sebagai orang tua yang punya akan remaja dituntut bijak menyikapi perkembangan zaman untuk mengawal perkembangan anak remaja,” kata Zega.
BKKBN, katanya, melakukan intervensi dengan beberapa cara untuk mengurangi remaja yang terjerumus ke perilaku seks bebas. Yakni Generasi Berencana (GenRe) untuk SMA dan mahasiswa, serta Bina Keluarga Remaja (BKR).
Program GenRe bertujuan meningkatkan pengetahuan remaja tentang permasalahan seputar dunia remaja, semisal penyimpangan perilaku seksual (seks bebas), obat terlarang (NAPZA), dan HIV/AIDS. Sedangkan BKR lebih pada pendekatan kepada orang tua yang mempunyai anak remaja.
“Biasanya anak tabu bicara seks kepada orang tuanya. Tapi lewat BKR, kami bimbing orang tua yang punya anak remaja bagaimana mendidik anak tentang seks, termasuk kapan sudah boleh menikah. Jadi orangtua tidak boleh kaku berdiskusi soal seks dengan anak remaja,” kata Zega.
Dia menjelaskan, program GenRe Goes to School (untuk SMA) bertujuan untuk mendewasakan usia kawin dan memberikan kesempatan pada perempuan agar lebih lama di bangku sekolah.
Alasan penting lainnya adalah perempuan menikah apalagi berhubungan seks di bawah usia 20 tahun, sangat rentan mengancam kesehatan reproduksi. Dari sisi ekonomi, sosial, dan mental juga belum siap. "Pada umumnya perempuan yang menikah di usia sekolah, tidak melanjutkan sekolahnya," ujarnya.
Psikolog Erlis Lianawati SPsi MM berpendapat maraknya pornografi, bebasnya pergaulan di kalangan remaja, lemahnya kontrol sosial ikut menyumbang gaya hidup menikah muda yang hamil di luar nikah hingga aborsi. “Saya akui kasus seperti itu mulai marak.
Dampaknya tentu sangat besar, tidak hanya fisiologis tapi juga psikologis,” ungkap Erlis. Pernikahan yang dilakukan karena hamil di luar nikah dan berusia muda, menurutnya, bukan pernikahan sehat. Ketidaksiapan secara sosial, ekonomi sampai psikologis hingga ketidaksiapan mengasuh anak, menjadi masalah.
“Apalagi intervensi keluarga besar hingga masalah penyesuaian kepribadian sebagai suami dan istri,” ungkapnya. Tak hanya itu, kata Erlis, pengaruh lain adalah anak yang dikandung di luar nikah cenderung mengalami penolakan dari sang ibu.
“Tak jarang ibu berusaha menggugurkan kandungan atau melakukan aborsi baik secara sadar maupun di alam bawah sadar. Mulai dari minum obat atau ramuan untuk aborsi sampai cuek dengan kehamilannya,” papar Erlis.
Sementara itu, lanjutnya, anak yang tidak dikehendaki ibunya cenderung lebih sensitif dengan penolakan dan rentan terkena perilaku menyimpang di masa remaja. Namun, dijelaskan Erlis, faktor yang paling konsisten dan menentukan sebenarnya adalah peran orangtua.
Akan tetapi, dipaparkan Erlis, masalah parenting bukan masalah yang mudah, karena banyak orangtua yang kurang memahami bagaimana mendidik anak dengan baik. “Bahkan orang yang tahu bagaimana mendidik anak belum tentu mampu menerapkan cara yang baik dan benar,” tukasnya.
Erlis memberikan solusi. Pertama, orangtua itu menjadi teladan. “Beberapa kasus anak yang melakukan seks bebas mempunyai orangtua yang melakukan kehidupan bebas juga seperti mempunyai WIL atau PIL,” ungkapnya.
Kedua menyatakan kasih pada anak sesuai bahasa kasih anak. “Jika anak merasa dikasihi maka ia akan nyaman dan merasa cukup dengan perhatian orangtuanya,” imbuh Erlis. Ia mengatakan, beberapa anak sangat terikat dengan pacarnya karena kebutuhan akan kasih sayang dari orangtua tidak cukup.
“Solusi ketiga mengembangkan parenting center,” ucapnya. Beberapa lembaga pemerintah terkait mempunyai program yang sangat bagus mencegah perilaku seks bebas di kalangan remaja. Hal ini tentu perlu dukungan semua elemen masyarakat.
Akan tetapi ada program yang belum tergarap dengan baik yaitu bagaimana mengembangkan parenting center. “Seperti sosialisasi dan konseling untuk mencegah seks bebas. Seharusnya program ini tidak hanya untuk anak yang bermasalah saja tapi juga perlu dikembangkan untuk menolong orangtuanya,” pungkas Erlis.(
As the person in charge and the manager of the site, which at the same time as the Webmaster for this site, I have attempted wherever possible to provide factual information about,Celebrity and Profil, IPA, National News, International News even attractive and may be very beneficial for you. However, due to limited manpower, time, cost, and the means to be a factor that is very disturbing efforts to up-date the data, especially the news
PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS
IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...