Terkuaknya kegiatan terorisme di wilayah Nusa Tenggara
Barat (NTB) mengundang respons warga di sana. Mereka membentuk tim pencari
fakta dan rehabilitasi (TPFR) yang terdiri atas gabungan berbagai organisasi
masyarakat. Tim itu bekerja mengumpulkan fakta terkait tindak terorisme selama
lima hari ke depan.
"Target
kami akan mengungkap kebenaran dari lapangan. Ini sudah ada data-data yang
valid dari masyarakat," ujar ketua TPFR Hadi Santosa kemarin (11/1). Saat
dihubungi, Hadi sedang memimpin rapat di Bima.
Hadi
menjelaskan, akurasi data itu akan diuji dulu secara internal oleh TPFR. Baru
setelah itu akan dibeber ke publik. "Kami akan bawa ini ke Presiden dan
Komnas HAM," kata aktivis asal Bima tersebut.
Jika hasil
investigasi menunjukkan fakta yang jelas-jelas melanggar HAM, bukan tidak
mungkin kasus ini dibawa mahkamah internasional yang berkantor di Den Haag,
Belanda. "Prinsipnya itu sangat mungkin. Namun, kami akan menunggu dulu
setelah hasil investigasi lengkap dan akurasinya teruji," ujar Hadi.
Densus telah
beroperasi selama sepekan ini di NTB. Lima orang tewas dalam penangkapan pekan
lalu. Densus juga mengklaim menemukan ratusan bom yang akan digunakan untuk
menyerang beragam target.
Sebelum tim
pencari fakta terbentuk, keluarga terduga teroris yang ditembak Densus meminta
perlindungan ke MUI setempat. Mereka merasa anggota keluarganya taat beragama
dan tidak pernah melakukan kejahatan. Bachtiar, misalnya, dikenal sebagai ustad
penghafal Al Quran dan pedagang kue.
Secara terpisah,
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Haris
Azhar menilai tindakan yang dilakukan Densus 88 Polri bisa dibawa ke Mahkamah
Internasional HAM. "Asalkan faktor-faktor prasyaratnya terpenuhi. Karena
Densus ini representasi aparat negara, maka kejahatan terhadap rakyatnya
sendiri bisa diselidiki," katanya.
Alumni S-2 Essex
University, Inggris, tersebut menambahkan, jika laporan dugaan pelanggaran
Densus dibawa ke PBB, maka akan ada penyelidikan secara independen. "Tim
itu akan melakukan verifikasinya sebelum memutuskan apakah kejahatan HAM itu
sistematis oleh negara atau orang per orang," katanya.
Haris menegaskan
penembakan terhadap terduga teroris yang belum diketahui derajat kesalahannya
bisa masuk dalam kaidah ekstra judicial killing. "Jika pembunuhan atau
penembakan itu direncanakan, maka ada pertanggungjawaban komando,"
katanya.
Tadi malam
keluarga terduga teroris dari Makassar dan NTB tiba di Jakarta. Mereka transit
di suatu tempat di selatan Jakarta. "Hari Senin keluarga akan roadshow ke
Komnas HAM dan DPR RI untuk meminta keadilan," ujar Ikhwan, salah satu tim
pendamping.
Sementara itu,
Polri ri menanggapi tenang upaya pencarian fakta oleh masyarakat.
"Silahkan saja, itu hak warga," ujar Kabiropenmas Mabes Polri Brigjen
Boy Rafli Amar. Yang pasti, Boy menegaskan bahwa secara internal penembakan itu
sudah klir. "Dari sisi kami, anggota sudah menjalankan tugas dengan baik.
Penembakan dilakukan karena terpaksa dan membahayakan keselamatan jiwa
anggota," ujarnya.