“Ikut Sunnah”:
Poligami atau Monogami?
Oleh: Hsaid Benmar
Hiruk-pikuk seputar poligami beberapa waktu lalu membuat saya teringat kasus seorang kerabat dekat yang sempat menimbulkan konflik keluarga.
Sebut saja namanya
‘Bunga’. Suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Yang luar biasa ialah itu
dilakukan atas izin darinya.
Lebih luar biasa
lagi karena kemudian mereka semua (suami, dia beserta anak-anak dan ‘madu’nya)
tinggal dalam satu rumah.
Alasannya tidak
mampu (lho?) mengontrak rumah baru untuk istri keduanya itu. Maklumlah, sang
suami cuma seorang guru, sedangkan rumah yang ada itupun cuma kontrakan
sederhana.
Tak pelak ibunya
Bunga pun marah besar. Wajar dong, mana ada orangtua yang merestui anaknya
dimadu? Apalagi dikumpulkan dalam satu rumah. Sang ibu lantas menyarankan agar
Bunga minta cerai saja dari suaminya itu.
Entah karena cinta
atau pasrah, yang jelas Bunga bertahan dengan pilihannya. Ia lebih memilih
bercerai dari orangtuanya daripada bercerai dari suaminya. Masya Allah, banyak
orang geleng-geleng kepala (termasuk saya). Gara-gara poligami ia sanggup untuk
‘tidak dianggap' lagi sebagai anak.
Apa sih alasan
suaminya kawin lagi dan mengapa pula Bunga sampai mengijinkan suaminya kawin
lagi? Saya dengar alasannya sederhana: ikut sunnah dan demi dakwah. Oh, betapa
mulia kedengarannya.
Namun, terus
terang saya miris mendengarnya. Katakanlah saya belum setingkat dengan muslimah
itu. Karena saya yakin, saya tidak akan sanggup menjalani seperti yang
dijalaninya. Tingkat keikhlasan saya untuk sekedar mengizinkan suami saya
poligami belum sampai ke tahap itu, apalagi sampai hidup seatap beramai-ramai.
Duh... sungguh membayangkannya saja saya tidak sanggup. Tapi saya juga
bertanya-tanya dalam hati. Betulkah cara seperti itu yang dicontohkan oleh
Rasulullah? Apakah demikian cara yang betul memahami ayat poligami dalam
al-Qur’an itu?
Menurut saya,
surah An-Nisa ayat 2-3 itu jelas sekali berbicara tentang perlindungan terhadap
anak-anak yatim dan wanita-wanita yang suaminya gugur di medan perang. Poligami
disyariatkan sebagai bentuk ‘social care’. Dan inilah yang
dipraktekkan Rasulullah SAW.
Bukti bahwa
perkawinan Nabi sejalan dengan apa yang tertuang dalam ayat tersebut bisa kita
baca dalam buku-buku hadis maupun sirah. Kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA,
semua wanita-wanita yang diperistri oleh Nabi adalah janda tua.
Justru seharusnya
yang menarik untuk dicermati adalah perkawinan monogami baginda Rasulullah
dengan Khadijah RA yang berlangsung lebih dari 25 tahun. Selama lebih dari 25
tahun Rasulullah justru membina rumah tangganya yang monogami di tengah
masyarakat yang justru mempraktekkan poligami ini.
Dan itu
berlangsung sampai istri beliau, Khadijah, wafat. Beliau baru menikah lagi dua
tahun setelah kematian Khadijah. Jika demikian halnya, jelaslah sunnah beliau
bukanlah poligami tetapi monogami. Sebab, kalau yang ingin beliau contohkan
adalah poligami, niscaya beliau sudah melakukannya selagi Khadijah masih hidup.
Kalau
dipikir-pikir, apa sih sebenarnya tujuan pernikahan? Dalam al-Qur’an surah
Ar-Rum ayat 21 dikatakan bahwa hidup berpasangan sebagai suami istri itu
tujuannya untuk memperoleh sakinah, mawaddah, wa rahmah, untuk mendapatkan
ketenteraman, cinta dan kasih sayang.
Dari pernikahan
ini suami istri diharapkan menjadi lebih tenang, damai, saling mencintai, dan
berkasih sayang. Demikian pula anak-anak yang lahir darinya sebagai anugerah
terindah. Juga tak kalah pentingnya untuk mencetak generasi rabbani agar
terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (masyarakat yang baik dan
diridhai Tuhan).
Sepanjang
pegamatan saya (tanpa menolak mentah-mentah) poligami yang banyak dipraktekkan
sekarang ini lebih banyak dampak negatif ketimbang positifnya. Poligami membuat
sakit hati istri pertama. Pada banyak kasus istri pertama dibuat terpaksa
menerima keadaan, terpaksa ikhlas atau terpaksa belajar untuk ikhlas. Sungguh
suatu perjuangan yang tidak ringan. Dalam kondisi seperti ini, mungkinkah
sebuah rumah tangga yang tenang, damai, saling mencintai dan berkasih sayang
bisa tercapai? Ah, saya ragu !
Lebih-lebih lagi
masyarakat kita cenderung menganggap kasus poligami sebagai musibah rumah
tangga, sebagai laknat ketimbang rahmat. Bila suami kawin lagi, rumah tangganya
dianggap bermasalah. Malangnya, yang dituding sebagai penyebabnya dan harus
menanggung kesalahan adalah sang istri.
Sudah jatuh,
tertimpa tangga pula. Istri dikatakan tak pandai menjaga diri lah, istri tidak
cantik lagi lah, istri tak bisa menjaga hati suami lah, dan seribu satu macam
alasan lainnya. Dibandingkannya dengan daun muda, gadis atau janda kembang yang
jauh lebih cantik, lincah dan bergaya. It’s really unfair ...! Kalau saya
(naudzubillahi min dzalik) terus terang saja lebih baik mengundurkan diri
secara terhormat, daripada harus bersaing dengan yang lebih dari segala-galanya
dari saya.
Kenyataannya
seringkali suami berpoligami karena tidak mampu menjaga pandangan, tidak bisa
menjaga hati (jadi ingat lagu “Jagalah hati .. jangan kau nodai”) dan
dikalahkan nafsunya. Bukankah ia diperintahkan untuk menjaga pandangan (ghaddul
bashar)?
Bukankah Nabi
menyuruh laki-laki jika terbit nafsunya karena melihat wanita lain supaya cepat
pulang menemui istrinya? Bukan disuruh menikahinya. Jika poligami berangkat
dari landasan ini, karena tidak tahan godaan atau tergoda karena kecantikan
lawan jenisnya, lantas tidak ada jalan lain selain menikahi dengan alasan
daripada selingkuh atau zina maka berani saya katakan bahwa poligami yang
seperti ini sungguh bukan ‘mengikuti sunnah’ tetapi ‘menuruti syaitan’, meski
dibungkus dengan alasan meniru Nabi.
Kembali kepada
cerita muslimah di atas, katakanlah sang istri ikhlas dipoligami dan suaminya
berjanji untuk adil, apakah itu cukup? Bagaimana dengan anak-anaknya ?
Bagaimana dengan keluarga besarnya ? Haruskah perasaan mereka dikesampingkan ?
Apalagi jika kenyataannya istri pertama tidak bisa menerima, terpaksa ikhlas
atau harus belajar ikhlas bahkan harus berkorban perasaan demi merelakan
suaminya melaksanakan 'tugas sucinya'.
Padahal disadari
atau tidak, tantangan lain menanti dihadapan. Tugas utama orang tua yang
diberikan amanah berupa anak tidaklah mudah. Dapatkah seorang ibu yang tengah
bergelut dengan dirinya sendiri untuk selalu ikhlas, tidak dengki dan tidak
marah dengan madunya menjadi seorang pendidik yang utama bagi anak-anaknya ?
Mampukah ia memberikan kasih sayang yang unggul buat anak-anaknya?
Dalam keluarga
yang penuh gejolak seperti itu, bisakah rumah tangga menjadi tempat mendapatkan
ketentraman dan ketenangan? Sedangkan dalam zaman sekarang yang dipenuhi banyak
masalah ini, seharusnya institusi keluarga lebih diperkuat. Rumah tangga yang
solid menjadi dambaan sebagai tempat bernaung yang damai. Kalau itupun tidak
didapatkan di rumahnya, kemana anak-anak kita mencari kedamaian? Ke
tempat-tempat hiburan atau ke obat-obatan? Naudzubillahi min dzalik.
Apalagi di tengah
tantangan zaman, dimana gelombang hedonisme yang menerpa masyarakat nampak kian tak
terbendung. Nilai-nilai lama bangsa Timur yang dikenal sopan dan religius yang
kini pelan-pelan mulai banyak ditinggalkan. Seperti yang
pernah saya keluhkan dalam artikel saya "Sekuntum Bunga Buat Mama".
Karena itu,
menurut hemat saya, sebelum melangkah lebih jauh alangkah baiknya jika kita
kembali melihat kepada keluarga yang sudah dibina. Mampukah kita mencapai
tujuan pernikahan yang saya sebutkan di atas dengan keluarga yang ada ini, di
zaman ini?
Mana yang
prioritas, menunaikan kewajiban sebagai orang tua untuk mencetak generasi
rabbani atau melaksanakan sunnah berpoligami? Jangan sampai pahala yang
disemai, petaka yang dituai. Maksud hati menolong orang lain, keluarga
sendiri terabaikan. Wallahu ‘alam.