Saturday, December 22, 2012

MANA YG LEBIH BAIK MONOGAMI ATAU POLIGAMI




“Ikut Sunnah”: Poligami atau Monogami?
Oleh: Hsaid Benmar

Hiruk-pikuk seputar poligami beberapa waktu lalu membuat saya teringat kasus seorang kerabat dekat yang sempat menimbulkan konflik keluarga. 
Sebut saja namanya ‘Bunga’. Suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Yang luar biasa ialah itu dilakukan atas izin darinya. 
Lebih luar biasa lagi karena kemudian mereka semua (suami, dia beserta anak-anak dan ‘madu’nya) tinggal dalam satu rumah. 
Alasannya tidak mampu (lho?) mengontrak rumah baru untuk istri keduanya itu. Maklumlah, sang suami cuma seorang guru, sedangkan rumah yang ada itupun cuma kontrakan sederhana.
Tak pelak ibunya Bunga pun marah besar. Wajar dong, mana ada orangtua yang merestui anaknya dimadu? Apalagi dikumpulkan dalam satu rumah. Sang ibu lantas menyarankan agar Bunga minta cerai saja dari suaminya itu. 
Entah karena cinta atau pasrah, yang jelas Bunga bertahan dengan pilihannya. Ia lebih memilih bercerai dari orangtuanya daripada bercerai dari suaminya. Masya Allah, banyak orang geleng-geleng kepala (termasuk saya). Gara-gara poligami ia sanggup untuk ‘tidak dianggap' lagi sebagai anak.
Apa sih alasan suaminya kawin lagi dan mengapa pula Bunga sampai mengijinkan suaminya kawin lagi? Saya dengar alasannya sederhana: ikut sunnah dan demi dakwah. Oh, betapa mulia kedengarannya.
Namun, terus terang saya miris mendengarnya. Katakanlah saya belum setingkat dengan muslimah itu. Karena saya yakin, saya tidak akan sanggup menjalani seperti yang dijalaninya. Tingkat keikhlasan saya untuk sekedar mengizinkan suami saya poligami belum sampai ke tahap itu, apalagi sampai hidup seatap beramai-ramai. Duh... sungguh membayangkannya saja saya tidak sanggup. Tapi saya juga bertanya-tanya dalam hati. Betulkah cara seperti itu yang dicontohkan oleh Rasulullah? Apakah demikian cara yang betul memahami ayat poligami dalam al-Qur’an itu?
Menurut saya, surah An-Nisa ayat 2-3 itu jelas sekali berbicara tentang perlindungan terhadap anak-anak yatim dan wanita-wanita yang suaminya gugur di medan perang. Poligami disyariatkan sebagai bentuk ‘social care’. Dan inilah yang dipraktekkan Rasulullah SAW. 
Bukti bahwa perkawinan Nabi sejalan dengan apa yang tertuang dalam ayat tersebut bisa kita baca dalam buku-buku hadis maupun sirah. Kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA, semua wanita-wanita yang diperistri oleh Nabi adalah janda tua.
Justru seharusnya yang menarik untuk dicermati adalah perkawinan monogami baginda Rasulullah dengan Khadijah RA yang berlangsung lebih dari 25 tahun. Selama lebih dari 25 tahun Rasulullah justru membina rumah tangganya yang monogami di tengah masyarakat yang justru mempraktekkan poligami ini. 
Dan itu berlangsung sampai istri beliau, Khadijah, wafat. Beliau baru menikah lagi dua tahun setelah kematian Khadijah. Jika demikian halnya, jelaslah sunnah beliau bukanlah poligami tetapi monogami. Sebab, kalau yang ingin beliau contohkan adalah poligami, niscaya beliau sudah melakukannya selagi Khadijah masih hidup.
Kalau dipikir-pikir, apa sih sebenarnya tujuan pernikahan? Dalam al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 dikatakan bahwa hidup berpasangan sebagai suami istri itu tujuannya untuk memperoleh sakinah, mawaddah, wa rahmah, untuk mendapatkan ketenteraman, cinta dan kasih sayang. 
Dari pernikahan ini suami istri diharapkan menjadi lebih tenang, damai, saling mencintai, dan berkasih sayang. Demikian pula anak-anak yang lahir darinya sebagai anugerah terindah. Juga tak kalah pentingnya untuk mencetak generasi rabbani agar terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (masyarakat yang baik dan diridhai Tuhan).
Sepanjang pegamatan saya (tanpa menolak mentah-mentah) poligami yang banyak dipraktekkan sekarang ini lebih banyak dampak negatif ketimbang positifnya. Poligami membuat sakit hati istri pertama. Pada banyak kasus istri pertama dibuat terpaksa menerima keadaan, terpaksa ikhlas atau terpaksa belajar untuk ikhlas. Sungguh suatu perjuangan yang tidak ringan. Dalam kondisi seperti ini, mungkinkah sebuah rumah tangga yang tenang, damai, saling mencintai dan berkasih sayang bisa tercapai? Ah, saya ragu !
Lebih-lebih lagi masyarakat kita cenderung menganggap kasus poligami sebagai musibah rumah tangga, sebagai laknat ketimbang rahmat. Bila suami kawin lagi, rumah tangganya dianggap bermasalah. Malangnya, yang dituding sebagai penyebabnya dan harus menanggung kesalahan adalah sang istri. 
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Istri dikatakan tak pandai menjaga diri lah, istri tidak cantik lagi lah, istri tak bisa menjaga hati suami lah, dan seribu satu macam alasan lainnya. Dibandingkannya dengan daun muda, gadis atau janda kembang yang jauh lebih cantik, lincah dan bergaya. It’s really unfair ...! Kalau saya (naudzubillahi min dzalik) terus terang saja lebih baik mengundurkan diri secara terhormat, daripada harus bersaing dengan yang lebih dari segala-galanya dari saya.
Kenyataannya seringkali suami berpoligami karena tidak mampu menjaga pandangan, tidak bisa menjaga hati (jadi ingat lagu “Jagalah hati .. jangan kau nodai”) dan dikalahkan nafsunya. Bukankah ia diperintahkan untuk menjaga pandangan (ghaddul bashar)? 
Bukankah Nabi menyuruh laki-laki jika terbit nafsunya karena melihat wanita lain supaya cepat pulang menemui istrinya? Bukan disuruh menikahinya. Jika poligami berangkat dari landasan ini, karena tidak tahan godaan atau tergoda karena kecantikan lawan jenisnya, lantas tidak ada jalan lain selain menikahi dengan alasan daripada selingkuh atau zina maka berani saya katakan bahwa poligami yang seperti ini sungguh bukan ‘mengikuti sunnah’ tetapi ‘menuruti syaitan’, meski dibungkus dengan alasan meniru Nabi.
Kembali kepada cerita muslimah di atas, katakanlah sang istri ikhlas dipoligami dan suaminya berjanji untuk adil, apakah itu cukup? Bagaimana dengan anak-anaknya ? Bagaimana dengan keluarga besarnya ? Haruskah perasaan mereka dikesampingkan ? Apalagi jika kenyataannya istri pertama tidak bisa menerima, terpaksa ikhlas atau harus belajar ikhlas bahkan harus berkorban perasaan demi merelakan suaminya melaksanakan 'tugas sucinya'.
Padahal disadari atau tidak, tantangan lain menanti dihadapan. Tugas utama orang tua yang diberikan amanah berupa anak tidaklah mudah. Dapatkah seorang ibu yang tengah bergelut dengan dirinya sendiri untuk selalu ikhlas, tidak dengki dan tidak marah dengan madunya menjadi seorang pendidik yang utama bagi anak-anaknya ? Mampukah ia memberikan kasih sayang yang unggul buat anak-anaknya? 
Dalam keluarga yang penuh gejolak seperti itu, bisakah rumah tangga menjadi tempat mendapatkan ketentraman dan ketenangan? Sedangkan dalam zaman sekarang yang dipenuhi banyak masalah ini, seharusnya institusi keluarga lebih diperkuat. Rumah tangga yang solid menjadi dambaan sebagai tempat bernaung yang damai. Kalau itupun tidak didapatkan di rumahnya, kemana anak-anak kita mencari kedamaian? Ke tempat-tempat hiburan atau ke obat-obatan? Naudzubillahi min dzalik.
Apalagi di tengah tantangan zaman, dimana gelombang hedonisme yang menerpa masyarakat nampak kian tak terbendung. Nilai-nilai lama bangsa Timur yang dikenal sopan dan religius yang kini pelan-pelan mulai banyak ditinggalkan. Seperti yang pernah saya keluhkan dalam artikel saya "Sekuntum Bunga Buat Mama".
Karena itu, menurut hemat saya, sebelum melangkah lebih jauh alangkah baiknya jika kita kembali melihat kepada keluarga yang sudah dibina. Mampukah kita mencapai tujuan pernikahan yang saya sebutkan di atas dengan keluarga yang ada ini, di zaman ini? 
Mana yang prioritas, menunaikan kewajiban sebagai orang tua untuk mencetak generasi rabbani atau melaksanakan sunnah berpoligami? Jangan sampai pahala yang disemai, petaka yang dituai. Maksud hati menolong orang lain, keluarga sendiri terabaikan. Wallahu ‘alam.

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...