Kasus perdagangan anak dan perempuan asal Sulawesi Selatan (Sulsel) masih kerap terjadi. Para korban itu di antaranya berasal dari Kabupaten Bone, Pinrang, Palopo, Sinjai, Tana Toraja, Soppeng, Wajo, Enrekang, Bulukumba, Gowa dan Sidrap.
Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Parepare menjadi pintu utama perdagangan orang (human trafficking) di Sulsel.
Hal tersebut mengemuka pada dialog yang digelar di Warkop Cappo, Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar, Sabtu (31/12/2016).
Membahas tema Meminimalisir Angka Kejahatan Human Trafficking di Sulsel dengan Peningkatan Pencegahan dan Pengawasan.
Menghadirkan Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPA) Sulsel Fadiah Mahmud dan Andi Sudirman dari Dinas Sosial Provinsi Sulsel sebagai pembicara.
Narasumber lainnya, AKP Juliman dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polrestabes Makassar dan Wahidin Kamase dari Laskar Merah Putih (LMP) Sulsel.
Dilaksanakan Poros Pemuda Indonesia (PPI) Sulsel bekerja sama Serikat Mahasiswa Pegiat Konstitusi dan Hukum (Simposium).
Menurut Fadiah yang dimaksud human trafficking itu adalah mulai dari tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman atau pemindahan disertai dengan tekanan atau ancaman dan kekerasan terhadap seseorang.
Modus para pelaku human trafficking itu di antaranya menawarkan pekerjaan menarik dengan upah yang menggiurkan kepada para calo korbannya.
Kenyataannya, para sebagian korban dipaksa bekerja sebagai pemuas nafsu para hidung belang di tempat-tempat karaoke, panti pijat, hotel, hingga tempat-tempat hiburan malam.
Beberapa faktor yang melatarbekakangi kasus human trafficking di antaranya meningkatnya angka pengangguran dan dorongan para pencari kerja semakin meningkat.
Di sisi lain tuntutan ekonomi keluarga yang meningkat sehingga sebagian para korban itu melakukan pekerjaan apapun untuk memenuhi kebutuhannya.
“Sementara keterampilan yang dimiliki para pencari kerja tersebut sangat minim,” papar Fadiah.
Andi Sudirman menguatkan paparan Fadiah. Menurutnya, human traficking terjadi turut disebabkan karena adanya kesenjangan sosial dan kesejahteraan sosial.
Masalah ini, katanya, sebagian besar lebih berkait dengan dimensi structural yakni beban kemiskinan dan keterbatasan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, pilihan lapangan kerja dan minimnya tingkat ekonomi .
“Penyebab lain, ketidakadilan dan ketidakmerataan akses public. Di sisi lain, pesatnya modernisasi yang telah memperluas derajat konsumerisme atau gaya hidup ‘royal’ kian pada sebagian masyarakat kita,” paparnya.
Sementara Wahidin Kamase menyesalkan sikap pemerintah dan aparat penegakan hukum yang belum serius menangani kasus human trafficking.
Pemerintah dan aparat penegak hukum, katanya, lebih disibukkan dengan isu-isu yang lebih populer seperti kasus korupsi dan terorisme.
"Padahal kasus human trafficking juga butuh perhatian serius dari para pihak,” kata mantan aktivis HMI ini
Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Parepare menjadi pintu utama perdagangan orang (human trafficking) di Sulsel.
Hal tersebut mengemuka pada dialog yang digelar di Warkop Cappo, Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar, Sabtu (31/12/2016).
Membahas tema Meminimalisir Angka Kejahatan Human Trafficking di Sulsel dengan Peningkatan Pencegahan dan Pengawasan.
Menghadirkan Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPA) Sulsel Fadiah Mahmud dan Andi Sudirman dari Dinas Sosial Provinsi Sulsel sebagai pembicara.
Narasumber lainnya, AKP Juliman dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polrestabes Makassar dan Wahidin Kamase dari Laskar Merah Putih (LMP) Sulsel.
Dilaksanakan Poros Pemuda Indonesia (PPI) Sulsel bekerja sama Serikat Mahasiswa Pegiat Konstitusi dan Hukum (Simposium).
Menurut Fadiah yang dimaksud human trafficking itu adalah mulai dari tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman atau pemindahan disertai dengan tekanan atau ancaman dan kekerasan terhadap seseorang.
Modus para pelaku human trafficking itu di antaranya menawarkan pekerjaan menarik dengan upah yang menggiurkan kepada para calo korbannya.
Kenyataannya, para sebagian korban dipaksa bekerja sebagai pemuas nafsu para hidung belang di tempat-tempat karaoke, panti pijat, hotel, hingga tempat-tempat hiburan malam.
Beberapa faktor yang melatarbekakangi kasus human trafficking di antaranya meningkatnya angka pengangguran dan dorongan para pencari kerja semakin meningkat.
Di sisi lain tuntutan ekonomi keluarga yang meningkat sehingga sebagian para korban itu melakukan pekerjaan apapun untuk memenuhi kebutuhannya.
“Sementara keterampilan yang dimiliki para pencari kerja tersebut sangat minim,” papar Fadiah.
Andi Sudirman menguatkan paparan Fadiah. Menurutnya, human traficking terjadi turut disebabkan karena adanya kesenjangan sosial dan kesejahteraan sosial.
Masalah ini, katanya, sebagian besar lebih berkait dengan dimensi structural yakni beban kemiskinan dan keterbatasan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, pilihan lapangan kerja dan minimnya tingkat ekonomi .
“Penyebab lain, ketidakadilan dan ketidakmerataan akses public. Di sisi lain, pesatnya modernisasi yang telah memperluas derajat konsumerisme atau gaya hidup ‘royal’ kian pada sebagian masyarakat kita,” paparnya.
Sementara Wahidin Kamase menyesalkan sikap pemerintah dan aparat penegakan hukum yang belum serius menangani kasus human trafficking.
Pemerintah dan aparat penegak hukum, katanya, lebih disibukkan dengan isu-isu yang lebih populer seperti kasus korupsi dan terorisme.
"Padahal kasus human trafficking juga butuh perhatian serius dari para pihak,” kata mantan aktivis HMI ini