Suku Kaili merupakan penduduk terbesar di Sulawesi Tengah, namun bahasa ibu mereka kian jarang terdengar dalam pergaulan sehari-hari.
Ucapan salam "Nuapa kareba?", yang berarti "Apa kabar?", dan biasanya dijawab dengan "Kareba nabelo" atau "Kabar baik" jarang terdengar bukan hanya di ibukota provinsi itu, Palu, tapi juga di banyak wilayah lain.
Ada kecenderungan, orang Kaili mengenyampingkan bahasa ibu mereka dan memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Bahasa Kaili pun hanya menjadi sisipan di dalam Bahasa Indonesia yang mereka praktikkan, bukan sebaliknya.
Itu juga kerap didapati pada keluarga bersuku Kaili yang tinggal pinggiran Kota Palu.
"Sejak kecil, orang tua saya selalu menggunakan Bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya atau dengan anggota keluarga lainnya," ungkap Adam (28), pemuda asli Kaili yang mengaku sangat sedikit memahami bahasa sukunya.
"Bagaimana bisa berbahasa Kaili, jika setiap hari terus bertemu dengan orang yang selalu berbahasa Indonesia. Saya hanya memahami Bahasa Kaili secara pasif," katanya.
Warga yang keturunan suku Kaili di propinsi itu mencapai 40 persen dari total penduduk yang sebanyak 2,6 juta jiwa.
Menurut anthropolog Prof. Sulaiman Mamar, Bahasa Kaili kini memang terancam punah karena peminggiran struktural yang terjadi dalam masyarakat Sulteng.
Generasi muda Kaili secara perlahan, tapi pasti mulai melepaskan penggunaan bahasa ibunya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, peminggiran bahasa tersebut juga terjadi lewat diskriminasi pengambilan kebijakan pemerintah, di samping tidak adanya kemauan dari berbagai pihak untuk melahirkan kesepakatan dalam membentuk pembakuan ketatabahasaan Kaili.
Dia mengemukakan, ketiadaan media massa berbahasa Kaili merupakan salah satu penyebab mulai sirnanya bahasa itu.
"Media massa berbahasa daerah kini menghadapi banyak kendala serius, baik yang bersifat internal maupun eksternal," ujarnya.
Kendala internal antara lain manajemen yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional, serta belum adanya wadah bersama yang menghimpun segenap potensi kedaerahan.
Sedangkan, ia menilai, kendala eksternalnya berupa semakin berkurangnya jumlah warga yang benar-benar mampu memahami bahasa asli daerahnya, terutama bahasa tulisan, yang tergolong bahasa baku, yang sebagian kosa katanya tidak dipergunakan lagi dalam pergaulan sehari-hari.
Hal itu, terutama sangat dirasakan atau dialami kaum muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota relatif besar seperti Palu, kata Mamar.
Menurut dia, kendala lainnya adalah sangat langkanya pengusaha yang berinvestasi dalam dunia pers berbahasa daerah.
"Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah, terutama Pemda Provinsi dan Kota/Kabupaten terhadap media massa berbahasa daerah, di samping kurangnya dukungan serius masyarakat yang berlatar belakang kultur Kaili, baik yang masih berdomisili di dalam maupun di luar Sulteng," ujarnya menambahkan.
Sementara itu, praktisi pendidikan dari Universitas Tadulako (Untad) di Palu, Dra Nurhayati Ponulele, mengatakan bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk mempertahankan keberadaan Bahasa Kaili adalah dengan pengajaran dan pembinaan bahasa dan sastra Kaili di sekolah-sekolah melalui muatan lokal.
Sebagai langkah awal, ia mengusulkan, program yang akan dijalankan pada tahun 2007 ini hanya akan diberlakukan pada sekolah dasar, mulai kelas empat hingga kelas enam.
Ponulele mengemukakan, saat ini sedang berusaha meluruskan konflik permasalahan Bahasa Kaili, seperti penentuan dialek Kaili yang akan digunakan dalam pengajaran.
Penentuan dialek itu akan menjadi persoalan rumit, karena setidaknya, saat ini, terdapat sebanyak 13 dialek, bahkan ada yang menyebut terdapat 36 dialek.
Menurut Nurhayati, pemilihan Bahasa Kaili yang digunakan sebaiknya mengacu pada tempat tinggal atau jenis Bahasa Kaili yang digunakan di daerah tertentu.
Tidak hanya itu, guru yang harus memperdalam bahasa Kaili hendaknya lulusan S1 Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. "Karena, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat," katanya.
Yang pasti, kata Nurhayati, Bahasa Kaili akan segera punah, jika tidak ada upaya-upaya serius untuk mempertahankannya.
Upaya mempertahankan Bahasa Kaili di tanah asalnya juga harus menghadapi kenyataan beragamnya suku yang kini bermukim di Sulawesi Tengah.
Setidak-tidaknya, menurut dia, kini terdapat sekitar 22 suku yang memiliki bahasa saling berbeda tinggal di Sulteng, sehingga mereka memerlukan bahasa yang mudah digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Itu tidak lain Bahasa Indonesia.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni transmigran asal Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia yang sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur.
Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.600.000 jiwa, mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu, dan Budha
Ada banyak versi cerita mengenai asal usul nama Kaili. Salah satunya adalah berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh subur di daerah ini, terutama di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Menurut cerita daerah itu, di kampung Bangga ada sebuah pohon Kaili yang tumbuh menjulang tinggi yang banyak digunakan pelaut sebagai panduan dalam menentukan arah ke pelabuhan Banggai. Suku Kaili memiliki wilayah yang cukup luas, bahkan terbesar di Sulawesi Tengah. Dalam sejarah, suku ini dulunya adalah sekelompok orang yang turun dari dataran tinggi Sulawesi Tengah ke lembah-lembah sampai pesisir hingga membentuk komunitas yang besar. Jangkauan peradaban suku ini sangat luas, yang meliputi wilayah kabupaten Donggala, kabupaten Sigi, dan kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, Kulawi, dan gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo-Una Una, dan kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di teluk Tomini, yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo, dan Una Una. Sedangkan di kabupaten Poso, mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli, dan pesisir pantai Poso.
Kepercayaan Suku Kaili
Suku Kaili merupakan salah satu suku tertua yang ada di Indonesia. Sebagaimana suku tertua, mayoritas masyarakat dalam suku ini menganut animisme yang percaya kepada benda-benda seperti batu, pohon besar, dsb.. Mereka juga percaya kepada dewa-dewa. Sebagian suku Kaili ada yang percaya kepada tuhan (Dewa) yang disebut Tomamuru (sang pencipta), Buriro (penyubur tanah), dan Tampilangi (penyembuhan). Namun, sejak agama Islam masuk dan tersebar di antara suku ini, perlahan mereka meninggalkan kepercayaan animisme dan beralih ke ajaran Islam. Salah satu orang yang berperan besar dalam mengajar dan menyebarkan ajaran Islam adalah keturunan raja Minangkabau, yaitu Abdul Raqi. Perkembangan Islam di suku Kaili sangat cepat sehingga dipastikan mayoritas suku Kaili menganut ajaran Islam.
Kehidupan Masyarakat
Pada zaman dahulu, lapisan sosial masyarakat suku Kaili terbagi menjadi beberapa golongan. Di antaranya golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), dan golongan budak (batua). Selain itu, mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua), dan usia (tetua). Di dalam masyarakat ini terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni Ngapa (pola pemukiman mengelompok padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Upacara-upacara adat merupakan kekhasan yang dimiliki suku Kaili. Mata pencaharian utama suku Kaili adalah bercocok tanam di sawah maupun di ladang. Sementara itu, bagi mereka yang tinggal di pesisir, mata pencarian mereka adalah nelayan dan berdagang.
Ucapan salam "Nuapa kareba?", yang berarti "Apa kabar?", dan biasanya dijawab dengan "Kareba nabelo" atau "Kabar baik" jarang terdengar bukan hanya di ibukota provinsi itu, Palu, tapi juga di banyak wilayah lain.
Ada kecenderungan, orang Kaili mengenyampingkan bahasa ibu mereka dan memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Bahasa Kaili pun hanya menjadi sisipan di dalam Bahasa Indonesia yang mereka praktikkan, bukan sebaliknya.
Itu juga kerap didapati pada keluarga bersuku Kaili yang tinggal pinggiran Kota Palu.
"Sejak kecil, orang tua saya selalu menggunakan Bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya atau dengan anggota keluarga lainnya," ungkap Adam (28), pemuda asli Kaili yang mengaku sangat sedikit memahami bahasa sukunya.
"Bagaimana bisa berbahasa Kaili, jika setiap hari terus bertemu dengan orang yang selalu berbahasa Indonesia. Saya hanya memahami Bahasa Kaili secara pasif," katanya.
Warga yang keturunan suku Kaili di propinsi itu mencapai 40 persen dari total penduduk yang sebanyak 2,6 juta jiwa.
Menurut anthropolog Prof. Sulaiman Mamar, Bahasa Kaili kini memang terancam punah karena peminggiran struktural yang terjadi dalam masyarakat Sulteng.
Generasi muda Kaili secara perlahan, tapi pasti mulai melepaskan penggunaan bahasa ibunya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, peminggiran bahasa tersebut juga terjadi lewat diskriminasi pengambilan kebijakan pemerintah, di samping tidak adanya kemauan dari berbagai pihak untuk melahirkan kesepakatan dalam membentuk pembakuan ketatabahasaan Kaili.
Dia mengemukakan, ketiadaan media massa berbahasa Kaili merupakan salah satu penyebab mulai sirnanya bahasa itu.
"Media massa berbahasa daerah kini menghadapi banyak kendala serius, baik yang bersifat internal maupun eksternal," ujarnya.
Kendala internal antara lain manajemen yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional, serta belum adanya wadah bersama yang menghimpun segenap potensi kedaerahan.
Sedangkan, ia menilai, kendala eksternalnya berupa semakin berkurangnya jumlah warga yang benar-benar mampu memahami bahasa asli daerahnya, terutama bahasa tulisan, yang tergolong bahasa baku, yang sebagian kosa katanya tidak dipergunakan lagi dalam pergaulan sehari-hari.
Hal itu, terutama sangat dirasakan atau dialami kaum muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota relatif besar seperti Palu, kata Mamar.
Menurut dia, kendala lainnya adalah sangat langkanya pengusaha yang berinvestasi dalam dunia pers berbahasa daerah.
"Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah, terutama Pemda Provinsi dan Kota/Kabupaten terhadap media massa berbahasa daerah, di samping kurangnya dukungan serius masyarakat yang berlatar belakang kultur Kaili, baik yang masih berdomisili di dalam maupun di luar Sulteng," ujarnya menambahkan.
Sementara itu, praktisi pendidikan dari Universitas Tadulako (Untad) di Palu, Dra Nurhayati Ponulele, mengatakan bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk mempertahankan keberadaan Bahasa Kaili adalah dengan pengajaran dan pembinaan bahasa dan sastra Kaili di sekolah-sekolah melalui muatan lokal.
Sebagai langkah awal, ia mengusulkan, program yang akan dijalankan pada tahun 2007 ini hanya akan diberlakukan pada sekolah dasar, mulai kelas empat hingga kelas enam.
Ponulele mengemukakan, saat ini sedang berusaha meluruskan konflik permasalahan Bahasa Kaili, seperti penentuan dialek Kaili yang akan digunakan dalam pengajaran.
Penentuan dialek itu akan menjadi persoalan rumit, karena setidaknya, saat ini, terdapat sebanyak 13 dialek, bahkan ada yang menyebut terdapat 36 dialek.
Menurut Nurhayati, pemilihan Bahasa Kaili yang digunakan sebaiknya mengacu pada tempat tinggal atau jenis Bahasa Kaili yang digunakan di daerah tertentu.
Tidak hanya itu, guru yang harus memperdalam bahasa Kaili hendaknya lulusan S1 Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. "Karena, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat," katanya.
Yang pasti, kata Nurhayati, Bahasa Kaili akan segera punah, jika tidak ada upaya-upaya serius untuk mempertahankannya.
Upaya mempertahankan Bahasa Kaili di tanah asalnya juga harus menghadapi kenyataan beragamnya suku yang kini bermukim di Sulawesi Tengah.
Setidak-tidaknya, menurut dia, kini terdapat sekitar 22 suku yang memiliki bahasa saling berbeda tinggal di Sulteng, sehingga mereka memerlukan bahasa yang mudah digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Itu tidak lain Bahasa Indonesia.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni transmigran asal Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia yang sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur.
Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.600.000 jiwa, mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu, dan Budha
Ada banyak versi cerita mengenai asal usul nama Kaili. Salah satunya adalah berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh subur di daerah ini, terutama di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Menurut cerita daerah itu, di kampung Bangga ada sebuah pohon Kaili yang tumbuh menjulang tinggi yang banyak digunakan pelaut sebagai panduan dalam menentukan arah ke pelabuhan Banggai. Suku Kaili memiliki wilayah yang cukup luas, bahkan terbesar di Sulawesi Tengah. Dalam sejarah, suku ini dulunya adalah sekelompok orang yang turun dari dataran tinggi Sulawesi Tengah ke lembah-lembah sampai pesisir hingga membentuk komunitas yang besar. Jangkauan peradaban suku ini sangat luas, yang meliputi wilayah kabupaten Donggala, kabupaten Sigi, dan kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, Kulawi, dan gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo-Una Una, dan kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di teluk Tomini, yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo, dan Una Una. Sedangkan di kabupaten Poso, mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli, dan pesisir pantai Poso.
Kepercayaan Suku Kaili
Suku Kaili merupakan salah satu suku tertua yang ada di Indonesia. Sebagaimana suku tertua, mayoritas masyarakat dalam suku ini menganut animisme yang percaya kepada benda-benda seperti batu, pohon besar, dsb.. Mereka juga percaya kepada dewa-dewa. Sebagian suku Kaili ada yang percaya kepada tuhan (Dewa) yang disebut Tomamuru (sang pencipta), Buriro (penyubur tanah), dan Tampilangi (penyembuhan). Namun, sejak agama Islam masuk dan tersebar di antara suku ini, perlahan mereka meninggalkan kepercayaan animisme dan beralih ke ajaran Islam. Salah satu orang yang berperan besar dalam mengajar dan menyebarkan ajaran Islam adalah keturunan raja Minangkabau, yaitu Abdul Raqi. Perkembangan Islam di suku Kaili sangat cepat sehingga dipastikan mayoritas suku Kaili menganut ajaran Islam.
Kehidupan Masyarakat
Pada zaman dahulu, lapisan sosial masyarakat suku Kaili terbagi menjadi beberapa golongan. Di antaranya golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), dan golongan budak (batua). Selain itu, mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua), dan usia (tetua). Di dalam masyarakat ini terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni Ngapa (pola pemukiman mengelompok padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Upacara-upacara adat merupakan kekhasan yang dimiliki suku Kaili. Mata pencaharian utama suku Kaili adalah bercocok tanam di sawah maupun di ladang. Sementara itu, bagi mereka yang tinggal di pesisir, mata pencarian mereka adalah nelayan dan berdagang.