Semestinya eksekusi mati begundal narkoba menjadi sinyal ketegasan hukum Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tengah keloyoan menghadapi isu antikorupsi. Media-media telanjur membeber ”saat-saat terakhir” para terpidana mati. Tetapi, penundaan demi penundaan menjadikan harapan ketegasan berubah jadi gelagat keraguan. Jokowi mau tak mau bisa dipersepsikan membungkuk pada tekanan asing, terutama Australia.
Ketidakpastian itu tak sebanding dengan kesibukan ”pertunjukan” yang telah digelar. Ada protes-protes sengit dari luar negeri. Terpidana diterbangkan ke Nusakambangan. Ada kawalan pesawat tempur segala. Tak heran, pelaksanaan hukuman mati yang semestinya bisa lebih efisien ternyata menjadi semacam ”karnaval”. Diarak-arak dengan berbagai pernik dan aksesori prosedur yang membuat pesan kengerian hukuman mati tereduksi.
Terlebih, pemerintahan Jokowi seperti kebingungan menghadapi kerewelan Australia. Setelah aneka komplain dari negara yang warganya masuk daftar tembak mati itu bermunculan, Jokowi seperti tak semenggebu-gebu dulu. Tidak secepat saat proses eksekusi tembak mati terpidana narkoba gelombang pertama. Padahal, tak ada penentangan berarti di dalam negeri atas eksekusi itu. Semua menyadari, krisis narkoba harus dihadapi dengan kebijakan tegas.
Penundaan eksekusi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi. Ini hanya akan makin menunjukkan kelembekan Jokowi. Selain itu, karnavalisasi tak sepatutnya dilakukan. Tak perlu terpidana mati dibopong-bopong ke Nusakambangan untuk didor. Tak mungkin tak ada tempat pelaksanaan hukuman mati yang cukup lapang di wilayah penjara tempat para tervonis mati.
Dengan dieksekusi di dekat penjaranya, tidak perlu ada persoalan teknis yang rumit, yang memakan ongkos. Tidak perlu ongkos sampai Rp 200 juta untuk mencabut satu nyawa gembong narkoba. Bandingkan dengan cara aparat menewaskan begal atau penjahat jalanan. Hanya perlu memastikan tidak salah sasaran, tinggal dor saja!
Tak perlu ada karnavalisasi saat-saat terakhir terpidana mati akibat pemindahan ke sana-sini. Bagaimanapun, ini sebuah tragedi. Tragedi manusia yang takluk oleh godaan setan narkoba dan membawa kematian buat dirinya. Mereka telah membuat otak kopong, sekarat, bahkan mati entah berapa banyak pengguna narkoba lainnya.
Tak perlu ada karnavalisasi saat-saat terakhir terpidana mati akibat pemindahan ke sana-sini. Bagaimanapun, ini sebuah tragedi. Tragedi manusia yang takluk oleh godaan setan narkoba dan membawa kematian buat dirinya. Mereka telah membuat otak kopong, sekarat, bahkan mati entah berapa banyak pengguna narkoba lainnya.
Eksekusi mati perlu dikembalikan ke relnya, yakni sebagai pembalasan. Di dalamnya ada pesan: agar para calon pedagang narkoba mengurungkan niat menyebarluaskan racun otak itu. Bila mereka nekat, hukum negara akan ”melenyapkan” mereka. Ketegasan pesan tersebut mesti dijaga sampai terpidana dipancang di tiang eksekusi dan ditembak.