Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai sistem proporsional terbuka yang digunakan dalam Pemilu 2009 dan juga 2014 harus segera diganti. Sistem itu mengakibatkan para calon anggota legislatif (caleg) di setiap partai politik (parpol) tidak hanya bersaing dengan parpol lain melainkan juga saling menjegal di internal.
Tak hanya itu, praktik politik uang justru semakin subur. Lebih parah, para petugas Pemilu di lapangan tergoda untuk melakukan persekongkolan dengan parpol dan caleg seperti memperjualbelikan suara.
"Kita harus beralih ke sistem setengah terbuka. Daftar nama calon tetap ada dan masyarakat bisa melihat. Tapi pencobolosan ke partai," kata Deputi Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz, di Media Center KPU, Jakarta, Rabu 30 April 2014.
Masykurudin menuturkan sistem tertutup tidak ideal karena yang tampil adalah parpol. Masyarakat mencoblos parpol tanpa tahu mana saja calegnya.
Sedangkan, sistem terbuka yang menampilkan seluruh daftar calon terlihat dan masyarakat dapat memilih mereka meningkatkan praktik politik uang.
"Kalau coblos parpol menghindarkan dari penggiringan suara. Artinya, suara mereka tetap jadi satu ke partai. Masyarakat juga tetap tahu siapa nama-nama calonnya di situ," ujarnya.
Untuk menghindari praktik yang tidak adil dalam penentuan nomor urut, Masykurudin mengusulkan agar parpol menggelar Pemilu di internal mereka.
Di sini, seorang calon harus mampu mendapat dukungan nyata dari anggota partai agar mendapat nomor urut satu.
"Jadi ukuran nomor urut satu bukan siapa yang paling banyak setoran atau mereka yang tengah menjabat di struktur elite partai," katanya.
Masykurudin melanjutkan, sistem setengah terbuka atau bisa juga disebut setengah tertutup itu menjadikan pemilih tidak boleh lagi mencoblos nama caleg. Apabila tetap dilakukan maka suara dianggap tidak sah.
"Begitu setengah tertutup atau terbuka, cara coblosannya satu, coblos di parpol. Masyarakat itu tahu. Kemarin banyak coblosan karena pikiran KPU terlalu negatif atas tingkat pengetahuan masyarakat. Tidak usah banyak varian, coblos satu kali di nama caleg. Sekali itu mempermudah rekapitulasi," urainya.
Cegah Politik Uang
Sementara itu, terkait bagaimana cara mengatasi praktik politik uang, Masykurudin mengusulkan agar penyelenggara Pemilu memperkuat sanksi penanganan pelanggaran yang bersifat administratif. Sebab, sistem setengah terbuka tetap tidak menjamin bersih dari politik uang karena mereka masih dapat bermain di internal partai.
"Kalau terindikasi money politics dibatalkan dari pencalonan. Meskipun kumulasi tidak lengkap. Kalau masuk pidana Pemilu, prosesnya panjang. Dari Bawaslu, kepolisian, sampai ke pengadilan. Sehingga memberi kesempatan mereka bebas dari hukuman. Ini yang membuat mereka berani melakukan money politics," ucapnya.