Saturday, February 16, 2013

BAHTERA CINTAKU




Perumahan tempatku tinggal ditelan sunyi. Mungkin orang-orang telah tertidur pulas; melepas lelah sehabis seharian sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau, mungkin sedang menikmati kesegaran air wudlu, menggelar sajadah, dan asyik menghadap-Nya. Entahlah, yang jelas malam ini kesepian amat mencekam. Bulan yang belum genap purnama, sejak sore menyembunyikan diri. Seakan dengan diam-diam mengajak seluruh penghuni bumi untuk bersuara atau menyanyi saja dalam hati.
Sedang aku, ingin mengalirkan air mata. Bukan karena duka. Tapi, syukur yang bergelora dalam dada ini biarlah menjadi sungai yang lurus menuju muara-Nya. Tidak cukup dengan ungkapan puja dan doa. Limpahan rahmah-Nya pada keluargaku, yang bagiku tiada tara, sungguh menenggelamkan jiwaku untuk tidak sekadar berkata: terima kasih, ya Allah!
Bahagia. Paling tidak itu yang aku rasakan beberapa bulan terakhir ini. Sebagaimana dulu tahun pertama aku menikah, segala sudut ruang dan waktu seakan turut tertawa dan bergembira. Kebahagiaan seperti ini, rasanya ingin tetap terajut sampai kapan pun.
Selepas shalat tahajut, kulihat istriku belum juga berhenti memutar biji tasbih. Berdzikir di belakangku. Dada ini, semakin bergemuruh mendeburkan gelombang syukur kehadirat-Nya. Segera kuberanjak berdiri.
“Nda, aku menengok Anis dulu, ya,” ucapku lirih. Semenjak menikah, aku memanggil istriku dengan “Anno”.
“Sebentar lagi aku juga menyusul,” jawab istriku sambil mendongakkan kepala. Lalu, ia kembali larut dalam khusuknya.
Anis, tepatnya Muhammad Anis Saputra, adalah anak pertama perkawinan kami. Usianya baru empat bulan. Kelahirannya laksana permata mulia sebagai buah hati kami. Betapa tidak, setelah empat tahun kami menunggu anugerah sekaligus amanah itu, akhirnya Allah mengabulkan doa kami. Perjalanan keluarga kami berubah kian rapat dalam ikatan cinta kasih. Apalagi Anis semakin ganten dan menggemaskan.
Dulu, menginjak tahun kedua, kehidupan keluargaku terancam badai. Istriku sering marah bila kondisi keuangan seret.
“Mana tanggung jawab Mas sebagai seorang suami!” kata-kata ini yang selalu disodokkan padaku saat kebutuhan sehari-hari sulit terpenuhi.
Kadang dengan bersengau panjang dia mengeluh, “Mengapa dulu aku menolak insinyur teman pamanku, tentu hidupku tidak seperti ini jadinya. Mas, hidup tidak cukup hanya dengan cinta.”
Hatiku tercabik-cabik mendengar kata-katanya. Sebagai suami, seakan mukaku tertampar keras. Merah dan berdarah. Meski sebenarnya aku ingin berontak mendengar keluhan istriku yang sekenanya itu. Bukankah usaha dengan kerja keras sudah kulakukan. Namun, apa daya bila hanya sedikit yang didapat. Dan, bukankah sebelum menikah tidak ada intervensi dariku terhadapnya.
“Kamu masih punya kebebasan untuk memilih siapa calon pendampingmu. Sebab, aku tak ingin bila ada yang lebih baik dariku datang padamu, kamu pakewuh menerimanya sebab ada aku.”
Entah, keputusan yang kubuat ini terkesan tak bertanggung jawab setelah aku datang menanyakannya kepada kedua orangtuanya atau tidak. Bagiku tidak masalah. Yang penting ini adalah keputusan terbaik bagiku dan untuk dirinya. Toh, akhirnya ia tetap memilih aku.
Dan aku masih ingat, cinta macam apa yang pernah ia ungkap lewat suratnya yang bergambar bunga dan berbau wangi.
“Terus terang, Mas, cintaku bukan sebagaimana tembang cinta. Merdu hanya untuk diungkap dan dinyanyikan. Membayangkan jalan di masa depan pasti lurus tanpa kelokan. Mulus tanpa batu lonjakan. Tapi, cintaku adalah cinta yang bermata. Bahwa gelombang mesti ada, dan itu artinya akan kita atasi bersama….”
Kehidupan rumah tangga yang kami bina cukup sederhana. Rumah kontrakan tipe 21 di sebuah perumahan yang jauh dari kota. Penghasilan pas-pasan dan bila lebih sedikit ditabung. Keseharian berjalan dengan kebahagiaan penuh candaria. Tugasku sebagai seorang guru  swasta di sebuah SMK Swasta dan sebagai pembina teater di beberapa sanggar anak muda yang mulai merebak saat itu, berjalan lancar. Namun, tiba-tiba gelombang datang tak bisa ditolak. Kebahagiaan rumah tangga kiranya hanya setahun. Selebihnya, hari-hari nyaris selalu dalam perdebatan. Mungkin kami sama-sama muda, sehingga mudah terjebak emosi. Gelombang kian hari kian membesar. Dan pada puncaknya, istriku pulang ke rumah orangtuanya.
Hampir aku putus asa. Namun, akhirnya mampu juga aku untuk lebih bersabar. Saban malam, sepulang dari mengajar, aku usahakan shalat hajat dan berdoa sekhusuk mungkin. Agar kami tetap dikaruniai iman dan kekuatan menghadapi segala cobaan. Mohon kekuatan agar mampu melawan gelombang yang mengancam keutuhan rumah tangga. Tepat hari ketiga sepeninggal istriku dari rumah, kususul sekaligus berkunjung mertua.
“Ada apa ini, dengan masalah begitu saja kok sudah rapuh kedewasaan kalian,” bapaknya angkat bicara, ketika aku, istriku, dan ibu duduk di balai tengah.
Aku hanya diam dan sedikit menundukkan kepala mendengarnya.
“Sebenarnya bapak malu memberi nasihat kalian. Bukankah kalian adalah orang-orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi, mantan mahasiswa, sedangkan bapak hanya lulusan sekolah rakyat pada zaman Belanda. Tapi, bapak mungkin yang lebih tua dari kalian, lebih berpengalaman bersama ibu, hanya bisa menyarankan. Dalam kehidupan rumah tangga, tentu ada pahit dan manisnya. Ibarat mengarungi samudra, tentu sesekali ada gelombang. Untuk menguatkan bahtera cinta kalian, maka kalian harus melawan gelombang itu berdua…,” lancar sekali bapak bertutur.
Kupandangi istriku. Ada yang menggenang di pelupuk matanya. Dan akhirnya, laksana dam yang dijebol, air bening itu mengalir deras di pipinya. Dan belum juga mulutku terbuka, istriku tiba-tiba menubrukku. Menangis terisak-isak di pangkuanku.
“Maafkan aku, Mas…,” katanya terbata-bata.
Jiwaku tersentak. Dan hampir hanyut dalam emosi syahdu.
“Tidak, Adinda! Tidak ada yang salah dalam hal ini, yang penting, setelah ini pulang ya…!”
Dia mengangguk. Kubelai kepalanya.
Mulai saat itu, perjalanan rumah tangga kami kembali mengalir dengan kukuh. Apabila ada persoalan segera dimusyawarahkan secara terbuka. Dipecahkan bersama. Kebahagiaan kembali menghiasi setiap ayunan langkah. Seperti segarnya bunga-bunga di depan rumah, selalu disiram dan terawat rapi. Apalagi dengan lahirnya Anis. Jeritan tangis yang manja dan gelak tawanya, menambah riangnya suasana.
“Lho, Mas…, itu kening Anis  digigit nyamuk. Sedang melamun, ya?!” Istriku ternyata sudah selesai dari dzikir malamnya dan tiba-tiba muncul membuyarkan keterpanaanku.

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...