Perumahan tempatku tinggal ditelan sunyi. Mungkin orang-orang telah
tertidur pulas; melepas lelah sehabis seharian sibuk dengan urusannya
masing-masing. Atau, mungkin sedang menikmati kesegaran air wudlu, menggelar
sajadah, dan asyik menghadap-Nya. Entahlah, yang jelas malam ini kesepian amat
mencekam. Bulan yang belum genap purnama, sejak sore menyembunyikan diri.
Seakan dengan diam-diam mengajak seluruh penghuni bumi untuk bersuara atau
menyanyi saja dalam hati.
Sedang
aku, ingin mengalirkan air mata. Bukan karena duka. Tapi, syukur yang bergelora
dalam dada ini biarlah menjadi sungai yang lurus menuju muara-Nya. Tidak cukup
dengan ungkapan puja dan doa. Limpahan rahmah-Nya pada keluargaku, yang bagiku
tiada tara, sungguh menenggelamkan jiwaku untuk tidak sekadar berkata: terima
kasih, ya Allah!
Bahagia.
Paling tidak itu yang aku rasakan beberapa bulan terakhir ini. Sebagaimana dulu
tahun pertama aku menikah, segala sudut ruang dan waktu seakan turut tertawa
dan bergembira. Kebahagiaan seperti ini, rasanya ingin tetap terajut sampai
kapan pun.
Selepas
shalat tahajut, kulihat istriku belum juga berhenti memutar biji tasbih.
Berdzikir di belakangku. Dada ini, semakin bergemuruh mendeburkan gelombang
syukur kehadirat-Nya. Segera kuberanjak berdiri.
“Nda,
aku menengok Anis dulu, ya,” ucapku lirih. Semenjak menikah, aku memanggil
istriku dengan “Anno”.
“Sebentar
lagi aku juga menyusul,” jawab istriku sambil mendongakkan kepala. Lalu, ia
kembali larut dalam khusuknya.
Anis,
tepatnya Muhammad Anis Saputra, adalah anak pertama perkawinan kami. Usianya
baru empat bulan. Kelahirannya laksana permata mulia sebagai buah hati kami.
Betapa tidak, setelah empat tahun kami menunggu anugerah sekaligus amanah itu,
akhirnya Allah mengabulkan doa kami. Perjalanan keluarga kami berubah kian
rapat dalam ikatan cinta kasih. Apalagi Anis semakin ganten dan menggemaskan.
Dulu,
menginjak tahun kedua, kehidupan keluargaku terancam badai. Istriku sering
marah bila kondisi keuangan seret.
“Mana
tanggung jawab Mas sebagai seorang suami!” kata-kata ini yang selalu disodokkan
padaku saat kebutuhan sehari-hari sulit terpenuhi.
Kadang
dengan bersengau panjang dia mengeluh, “Mengapa dulu aku menolak insinyur teman
pamanku, tentu hidupku tidak seperti ini jadinya. Mas, hidup tidak cukup hanya
dengan cinta.”
Hatiku
tercabik-cabik mendengar kata-katanya. Sebagai suami, seakan mukaku tertampar
keras. Merah dan berdarah. Meski sebenarnya aku ingin berontak mendengar
keluhan istriku yang sekenanya itu. Bukankah usaha dengan kerja keras sudah
kulakukan. Namun, apa daya bila hanya sedikit yang didapat. Dan, bukankah
sebelum menikah tidak ada intervensi dariku terhadapnya.
“Kamu
masih punya kebebasan untuk memilih siapa calon pendampingmu. Sebab, aku tak
ingin bila ada yang lebih baik dariku datang padamu, kamu pakewuh menerimanya
sebab ada aku.”
Entah,
keputusan yang kubuat ini terkesan tak bertanggung jawab setelah aku datang
menanyakannya kepada kedua orangtuanya atau tidak. Bagiku tidak masalah. Yang
penting ini adalah keputusan terbaik bagiku dan untuk dirinya. Toh, akhirnya ia
tetap memilih aku.
Dan aku
masih ingat, cinta macam apa yang pernah ia ungkap lewat suratnya yang
bergambar bunga dan berbau wangi.
“Terus
terang, Mas, cintaku bukan sebagaimana tembang cinta. Merdu hanya untuk
diungkap dan dinyanyikan. Membayangkan jalan di masa depan pasti lurus tanpa
kelokan. Mulus tanpa batu lonjakan. Tapi, cintaku adalah cinta yang bermata.
Bahwa gelombang mesti ada, dan itu artinya akan kita atasi bersama….”
Kehidupan
rumah tangga yang kami bina cukup sederhana. Rumah kontrakan tipe 21 di sebuah
perumahan yang jauh dari kota. Penghasilan pas-pasan dan bila lebih sedikit
ditabung. Keseharian berjalan dengan kebahagiaan penuh candaria. Tugasku
sebagai seorang guru swasta di sebuah
SMK Swasta dan sebagai pembina teater di beberapa sanggar anak muda yang mulai
merebak saat itu, berjalan lancar. Namun, tiba-tiba gelombang datang tak bisa
ditolak. Kebahagiaan rumah tangga kiranya hanya setahun. Selebihnya, hari-hari
nyaris selalu dalam perdebatan. Mungkin kami sama-sama muda, sehingga mudah
terjebak emosi. Gelombang kian hari kian membesar. Dan pada puncaknya, istriku
pulang ke rumah orangtuanya.
Hampir
aku putus asa. Namun, akhirnya mampu juga aku untuk lebih bersabar. Saban
malam, sepulang dari mengajar, aku usahakan shalat hajat dan berdoa sekhusuk
mungkin. Agar kami tetap dikaruniai iman dan kekuatan menghadapi segala cobaan.
Mohon kekuatan agar mampu melawan gelombang yang mengancam keutuhan rumah
tangga. Tepat hari ketiga sepeninggal istriku dari rumah, kususul sekaligus
berkunjung mertua.
“Ada apa
ini, dengan masalah begitu saja kok sudah rapuh kedewasaan kalian,” bapaknya
angkat bicara, ketika aku, istriku, dan ibu duduk di balai tengah.
Aku
hanya diam dan sedikit menundukkan kepala mendengarnya.
“Sebenarnya
bapak malu memberi nasihat kalian. Bukankah kalian adalah orang-orang yang
telah mengenyam pendidikan tinggi, mantan mahasiswa, sedangkan bapak hanya
lulusan sekolah rakyat pada zaman Belanda. Tapi, bapak mungkin yang lebih tua
dari kalian, lebih berpengalaman bersama ibu, hanya bisa menyarankan. Dalam
kehidupan rumah tangga, tentu ada pahit dan manisnya. Ibarat mengarungi
samudra, tentu sesekali ada gelombang. Untuk menguatkan bahtera cinta kalian,
maka kalian harus melawan gelombang itu berdua…,” lancar sekali bapak bertutur.
Kupandangi
istriku. Ada yang menggenang di pelupuk matanya. Dan akhirnya, laksana dam yang
dijebol, air bening itu mengalir deras di pipinya. Dan belum juga mulutku
terbuka, istriku tiba-tiba menubrukku. Menangis terisak-isak di pangkuanku.
“Maafkan
aku, Mas…,” katanya terbata-bata.
Jiwaku
tersentak. Dan hampir hanyut dalam emosi syahdu.
“Tidak,
Adinda! Tidak ada yang salah dalam hal ini, yang penting, setelah ini pulang
ya…!”
Dia
mengangguk. Kubelai kepalanya.
Mulai
saat itu, perjalanan rumah tangga kami kembali mengalir dengan kukuh. Apabila
ada persoalan segera dimusyawarahkan secara terbuka. Dipecahkan bersama.
Kebahagiaan kembali menghiasi setiap ayunan langkah. Seperti segarnya
bunga-bunga di depan rumah, selalu disiram dan terawat rapi. Apalagi dengan
lahirnya Anis. Jeritan tangis yang manja dan gelak tawanya, menambah riangnya
suasana.
“Lho, Mas…, itu kening Anis digigit nyamuk. Sedang melamun, ya?!” Istriku
ternyata sudah selesai dari dzikir malamnya dan tiba-tiba muncul membuyarkan
keterpanaanku.