Gempa yang melanda Kota Palu dan Donggala pada Jumat (28/9), pertama kali terjadi pada pukul 13:59:56 WIB dengan kekuatan 6 pada skala Richter (SR) dan gempa berikutnya kembali terjadi pada pukul 17.02.45 WIB dengan berkekuatan 7,4 SR di kedalaman gempa 10 km pada 0.18 LS 119.85 BT.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dengan parameter yang dimiliki, menyatakan bahwa gempa bumi ini berpotensi menimbulkan tsunami dengan level tertinggi SIAGA di Donggala Barat dengan estimasi ketinggian gelombang tsunami 0,58 m dan estimasi waktu tiba 17.22.43 WIB sehingga BMKG mengeluarkan Peringatan Dini Tsunami (PDT).
Kemudian setelah dilakukan observasi, BMKG menyakan bahwa telah terlewatinya perkiraan waktu kedatangan tsunami, maka Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri pada pukul 17.36.12 WIB.
Beberapa menit menit setelah Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri, gelombang tsunami menerjang dengan ketinggian 1,5 meter. Hal ini dikonfirmasi kebenarannya oleh BMKG.
Di sinilah polemik terjadi, bahwa peringatan dini yang di ibaratkan sebagai sirine keselamatan itu telah berakhir dan kemudian banyak yang berandai-andai bahwa jika peringatan dini tidak diakhiri dan peringatan dini diberitahukan dengan meluas ke lokasi yang rawan bencana, dampak bencana dapat diminimalisir.
Namun, harapan ini pupus karena bencana telah terjadi dan korban telah berjatuhan.
Peringatan dini
Peringatan dini dalam UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007 berbunyi "serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang". Lembaga yang berwenang di sini adalah BMKG.
BMKG sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan menjalankan fungsinya.
Salah satu fungsinya adalah penyampaian informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat berkenaan dengan bencana karena faktor meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
Tugas tersebut tentu saja harus selaras dengan apa yang tertuang dalam UU Penanggulangan Bencana, di mana peringatan dini dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat dan dilakukan dengan:
- pengamatan gejala bencana;
- analisis hasil pengamatan gejala bencana;
- pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
- penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana;
- pengambilan tindakan oleh masyarakat.
Peringatan dini, oleh karenanya mengandung unsur cepat, tepat dan mengurangi risiko.
Bicara risiko tentu saja adalah risiko komunitas atau masyarakat yang terdampak dari bencana. Karenanya peringatan dini tersebut harus tersosialisasi dengan cepat dan direspons dengan cepat dengan tindakan masyarakat.
Dengan bekal peringatan dini tersebut, maka pemerintah dan masyarakat mengambil keputusan cepat untuk melakukan atau tidak melakukan evakuasi agar bisa mengurangi resiko yang kemungkinan bakal terjadi.
Belajar dari Aceh
Belajar dari tsunami yang terjadi di Aceh, pada tahun 2009 telah lahir Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) pada 2008 dan juga IO-TEWS, Indian Ocean Tsunami Early Warning System.
Sistem ini berusaha menerapkan end to end dalam peringatan dini, artinya sebuah peringatan dini yang berfungsi dari hulu hingga hilir yang berarti mulai adanya penyedia berita peringatan dini tsunami saran untuk tindak lanjut di daerah yang terancam tsunami kepada pihak lain dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami, operasionalisasi peringatan dini, hingga berita peringatan dini tsunami akan disebarluaskan melalui sistem diseminasi.
Peringatan dini hanya akan berhasil dengan struktur dan kultur. Struktur terkait dengan modal birokrasi dan teknokrasi yang menghasilkan kebijakan dan kultur terkait dengan segala hal yang terkait dengan suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang.
Keberhasilan satu sisi tidak akan berdampak apapun buat mengurangi risiko. Oleh karena itu informasi dan deseminasi kepada komunitas secara meluas adalah mutlak dilakukan.
Setiap kejadian adalah pembelajaran. Peringatan (diakhiri terlalu) dini juga adalah pelajaran agar ke depan baik struktur, teknologi dan kultur harus di garap dengan serius agar risiko dan korban bisa diminimalisir.
Pemerintah nasional harus terus mendorong pemerintah daerah agar menempatkan urusan pengurangan risiko bukan hanya setelah bencana namun justru sebelum terjadi bencana.
Peta ancaman harus dipahami dan disebarluaskan kepada masyarakat luas, sehingga warga masyarakat mampu mewujudkan masyarakat yang tangguh pada bencana.