Skip to main content

LORONG WAKTU


Tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah kota tua, dengan tanah berpasir dan pohon-pohon kurmanya. Pagi yang cerah. Mentari mulai tersenyum ceria. Langit biru tanpa awan sepotong pun. Udara terasa sejuk dan segar. Dan aktivitas manusia mulai terlihat. Tapi tunggu! Aku berada di mana? Kulihat orang-orang berpakaian khas Arab. Di negeri Arabkah aku kini? Tapi kota apa ini? Tampak masih primitif sekali. Orang-orang yang berlalu lalang hanya menoleh ke arahku sekilas, seakan-akan tidak tertarik sama sekali dengan kehadiranku. Aneh sekali. Padahal dengan tampang berbeda dengan mereka dan pakaian modern begini seharusnya membuat mereka keheranan. Tapi tampaknya mereka benar-benar tidak memedulikanku.
“Aminah melahirkan! Aminah melahirkan!” tiba-tiba seorang laki-laki berteriak-teriak. “Bayinya laki-laki!”
Orang-orang tampak bergegas menuju sebuah rumah dengan raut muka menunjukkan kegembiraan.
Aminah? Siapa dia? Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu. Diakah?
Aku pun kemudian beranjak mendekati rumah itu. Dan anehnya orang-orang sengaja memberiku jalan sehingga aku bisa melangkah sampai ke dekat tempat yang menjadi pusat perhatian. Di sana kulihat seorang wanita muda sedang berbaring sambil tersenyum di samping seorang bayi. Dan bayi itu… alangkah eloknya! Wajahnya tampan dan bersinar. Aku merasa takjub sekali. Kurasa orang-orang yang mengitarinya juga merasa takjub. Lebih-lebih seorang lelaki tua yang tampak paling berwibawa yang memandang bayi itu dengan mata berbinar dan senyum yang selalu mengembang.
“Tsuwaibah, beri kabar Abu Jahal bahwa Aminah sudah melahirkan bayi laki-laki!” kata laki-laki tua itu kemudian kepada seorang perempuan.
Perempuan itu tersenyum dan bergegas keluar tanpa membantah.
Laki-laki tua itu kemudian meraih bayi itu dan mengangkatnya. “Bayi ini kuberi nama Muhammad!”
Aku kian takjub.

Aku berjalan di bawah terik. Panas sekali. Tubuhku sudah basah oleh keringat. Aku gembira ketika melihat sebuah pohon berduri di depan sebuah bangunan besar. Aku mempercepat langkah dengan berlari dan menemukan keteduhan di sana.
Seorang laki-laki tua tampak keluar dari bangunan besar itu. Ia tampak seperti seorang yang shaleh. Barangkali dia seorang rahib atau pendeta. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang. Berkali-kali pandangannya tertuju ke arah jalan di tengah-tengah padang pasir.
“Sedang menunggu seseorang, Pak?” sapaku ramah.
Laki-laki tua itu menoleh ke arahku. Hanya sebentar. “Ya,” jawabnya pendek seraya kembali mengalihkan pandangannya ke arah jalan.
“Siapa yang Bapak tunggu, kalau saya boleh tahu?” kataku lagi.
“Dia yang dijanjikan.”
“Siapa yang menjanjikan?”
Tanyaku tak dijawabnya karena ia melihat kafilah di kejauhan. Ia melihat ke langit dan lalu tersenyum ketika melihat sepotong awan putih di birunya langit. Aku tak mengerti dengan sikapnya. Barangkali orang yang ditunggunya sudah datang.
Kafilah itu berhenti di bawah pepohonan tidak jauh dari tempatku berdiri. Dan seseorang dari mereka melangkah ke arah kami. Laki-laki tua di sampingku menyambut orang itu dengan ramah.
“Tuan pimpinan kafilah itu?” tanya si Tuan Rumah.
“Ya,” sahut orang itu sambil tersenyum.
“Atas nama Allah, saya mengundang Tuan dan rombongan Tuan untuk sekedar beristirahat sejenak di biara saya. Ada sedikit makanan dan minuman yang saya rasa cukup untuk melepaskan dahaga,” tawar si Tuan Rumah.
Orang itu kembali ke rombongannya dengan gembira. Dan tak berapa lama kemudian ia kembali lagi dengan beberapa laki-laki. Laki-laki tua di sampingku menjabat tangan mereka satu per satu sambil meneliti wajah mereka dan mempersilahkan masuk. Aku hanya berdiri memandang karena mereka hanya memandangku sekilas dan tampaknya tidak peduli dengan keberadaanku. Sampai giliran terakhir sepertinya siTuan Rumah tampak kecewa.
“Tuan, masih adakah orang dalam rombongan Tuan yang tidak ikut kemari?” tanya laki-laki tua itu kepada laki-laki terakhir yang menjadi ketua rombongan.
“Oh, ada. Masih ada seorang anak yang kami tugaskan untuk menjaga barang-barang kami,” sahut orang itu keheranan.
“Atas nama Allah, ajaklah ia kemari, Tuan!” laki-laki tua itu memohon.
Orang itu semakin heran dengan kata-kata si Tuan Rumah. Tapi tak urung ia pun menyanggupinya. “Baiklah,” katanya sambil melangkah menuju ke tempatnya semula.
Beberapa saat kemudian ia kembali lagi bersama seorang remaja tanggung. Laki-laki tua di sampingku tampak berseri-seri wajahnya melihat tamu remaja itu. Dan… aku pun begitu takjub ketika melihat wajah remaja itu dari dekat. Alangkah elok dan tampannya remaja itu. Ditambah lagi dengan sinar yang memancar dari wajahnya. Belum pernah aku melihat manusia seelok itu. Dan anehnya anak itu tidak kepanasan di bawah terik mentari, sedangkan orang di sampingnya tetap tertimpa panas matahari. Aku mendongak ke langit dan kutemukan sepotong awan putih yang bayangannya tepat mengenai anak itu. Dan tampaknya awan itu sengaja melindungi anak itu dari sengatan sinar matahari, sehingga ia selalu bergerak mengikuti keberadaan anak itu. Dan aku baru menyadarinya. Anak itu… diakah?
Si Tuan Rumah tampak gembira sekali. Ia tidak cukup hanya menjabat tangan anak itu, tapi juga memeluknya dengan hangat. Setelah itu ia meneliti wajah dan tubuh anak itu dengan cermat. Tutup kepala yang dipakai anak itu dilepasnya pula. Sedangkan anak itu hanya terbengong diperlakukan seperti itu.
“Silakan masuk, Nak,” kata si Tuan Rumah lembut beberapa saat kemudian. Rupanya laki-laki tua itu sudah menemukan apa yang dicarinya.
Remaja itu melangkah masuk dengan penuh tanda tanya.
“Tuan, siapa anak itu?” tanya si Tuan Rumah kepada laki-laki yang menyertainya.
“Dia keponakan saya. Ia yatim piatu.”
“Siapa namanya?”
“Muhammad.”
Mata laki-laki tua itu semakin berbinar. “Tuan, dengarlah kata-kata saya. Lekaslah Tuan selesaikan urusan di sini. Lalu bawalah keponakan Tuan pulang ke negerinya dan jagalah dia dengan sebaik-baiknya dari orang-orang Yahudi. Karena, demi Allah, jika mereka melihatnya dan menemukan tentang dia apa yang saya ketahui, mereka akan berbuat jahat terhadapnya. Masa depan besar terletak di depan keponakanmu itu.”

Seorang gadis jelita sedang bermain dengan seorang anak kecil. Usia gadis itu sekitar 16 atau 17 tahun. Sedangkan adiknya barangkali sekitar 4 tahun. Mereka tampak asyik sekali. Kehadiranku tidak menganggu sama sekali keasyikan mereka. Aku pun tak ingin mengusik. Aku hanya berdiri memandang.
“Ayo loncat, Ja’far!” seru gadis itu sambil membetulkan letak kerudungnya yang tertiup angin dan menampakkan rambut panjangnya yang hitam lurus.
Anak kecil itu berlari dan melompati kayu yang dipasang kakaknya di antara dua batu besar. Dan tampaknya anak itu tidak berhasil melewatinya. Kaki kirinya tersandung dan ia jatuh terjerembab di atas pasir. Si gadis tertawa terpingkal-pingkal dan si kecil hanya tersenyum sambil berusaha bangkit kembali.
“Muhammad pulang! Muhammad pulang!” teriak anak itu tiba-tiba dengan gembira sambil berlari menyongsong seorang pemuda yang baru datang.
Pemuda itu… masya Allah! Sungguh cakap dia. Wajahnya tampan dan bersinar. Perawakannya gagah namum anggun. Sudah sebesar itukah?
Pemuda itu tersenyum menyambut si kecil Ja’far, sementara si gadis hanya memandang sambil tersenyum.
“Kamu bawa apa, Muhammad?” tanya Ja’far sambil menggelayut di lengan pemuda itu.
Pemuda itu menurunkan tas kainnya dan membukanya. “Aku bawa buah tiin dan zaitun.” Ia memberikan dua bungkusan kain kepada Ja’ar sambil tersenyum.
“Kurmanya mana?” kata si kecil sambil menerima bungkusan itu.
“Kan kemarin belum habis,” ujar pemuda itu. “Tapi aku belikan buat kamu baju dan terompah.”
Laki-laki kecil itu berbinar matanya melihat benda-benda yang diberikan pemuda itu. Ia meraihnya dengan cepat dan mencobanya satu per satu.
“Dan ini buat Fakhita,” kata pemuda itu lagi seraya melangkah mendekati si gadis dan memberikan kain biru yang terlipat dengan rapi.
“Ini apa, Muhammad?” tanya gadis itu takjub sembari menerima pemberian pemuda itu.
“Ini kain dari China. Kubelikan khusus buat kamu, Fakhita.”
“Terima kasih, Muhammad. Kain ini pasti mahal sekali.” Gadis itu membentangkan kain itu. Berwarna biru langit dan berukuran panjang.
“Kamu pasti akan bertambah cantik dengan kain itu.”
Wajah Fakhita yang putih bersih memerah mendengar kata-kata pemuda di depannya. Gadis itu memang cantik jelita. Dan pemuda yang usianya sekitar 20 tahun itu tampaknya sangat menyukai gadis itu. Matanya yang lembut seakan tak pernah lepas dari wajah si gadis. Tatapan penuh rasa sayang dan …cinta.*)
“Paman Abu Thalib ada di rumah?” tanya pemuda itu kemudian.
“Ya. Ayah juga baru saja pulang.”
“Sebentar ya, aku masuk dulu,” kata pemuda itu lagi. Lalu ia mengambil tasnya dan melangkah masuk rumah.
Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Kuikuti langkahnya memasuki rumah. Kulihat seorang laki-laki yang kumis dan jenggotnya tampak mulai memutih sedang duduk di kursi tamu. Ia tersenyum melihat pemuda itu. Dan pemuda itu lalu duduk di depannya dengan sopan. Kehadiranku tampaknya tidak mengganggu suasana.
“Ada yang ingin engkau sampaikan, anakku?” kata laki-laki itu lembut.
“Ya, Paman,” sahut si pemuda. Lalu diam beberapa saat. Tampaknya ia sedang mengumpulkan keberanian. “Begini, Paman… saya sudah merasa cukup dewasa. Teman-teman saya yang seusia dengan saya sudah banyak yang menikah. Dan saya juga ingin menikah seperti teman-teman saya.” Diam lagi.
“Itu bagus, Muhammad. Engkau sudah punya pilihan?” kata laki-laki itu dengan bijak.
“Sudah, Paman.”
“Gadis mana yang akan engkau sunting?” kata laki-laki itu lagi dengan penuh minat.
“Kalau Paman tidak keberatan, saya ingin menikah dengan Fakhita, putri Paman sendiri.” Pemuda itu menundukkan kepalanya. Wajahnya yang bersih tampak memerah.
Laki-laki itu terperangah. Barangkali tidak pernah menyangka jika pemuda itu ternyata mencintai putrinya. Dan untuk beberapa saat ia terdiam. Mungkin bingung apa yang harus dikatakannya.
“Muhammad, anakku. Sungguh engkau tak memiliki cela sedikit pun. Akhlakmu luhur dan mulia. Engkau juga jujur dan terpercaya. Alangkah bahagianya jika engkau benar-benar menjadi menantuku.” Laki-laki itu menatap sendu wajah pemuda di hadapannya sambil menghela nafas. “Tapi maafkan pamanmu, Nak. Tadi pagi seorang pemuda terkenal dari Bani Makhzun telah melamar Fakhita. Namanya Hubayrah. Dan aku telah menerima lamarannya.”
Wajah pemuda itu seketika menjadi pias. Dadanya naik turun menahan gejolak jiwanya. Ia tampak kecewa sekali.
“Maafkan saya, Paman,” kata pemuda itu kemudian dengan agak terbata. “Barangkali memang Fakhita bukan jodoh saya. Maafkan saya telah membuat pikiran Paman terganggu.” Ia bangkit berdiri. “Saya keluar dulu, Paman.”
Laki-laki itu tidak berusaha menahan pemuda itu. Ia tahu pemuda itu sedang dilanda kekecewaan.
Kuikuti langkah pemuda itu. Kasihan sekali dia! Ia pasti kecewa sekali karena cintanya tak kesampaian. Ia melangkah keluar sambil menunduk. Wajahnya murung. Tak ada senyum sedikit pun.
“Muhammad… mau kemana kau?” seru Fakhita.
Pemuda itu hanya melambaikan tangan kanannya tanpa menjawab. Juga tanpa menoleh. Apalagi tersenyum. Ia tetap berjalan sambil menunduk. Gadis itu merasakan keanehan dengan sikap pemuda itu, karena tidak biasanya ia bersikap begitu. Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang membuat pemuda itu tampak masygul.
“Fakhita… ayo masuk!” seru seseorang dari dalam rumah.
Aku terus mengikuti langkah pemuda itu. Entah ke mana ia kan menuju. Atau barangkali tak ada tujuan pasti ke mana kakinya menapak. Ia berjalan terus sambil menunduk. Sesekali ia menengadah ke langit, melihat dengan keheranan sepotong awan yang selalu mengikutinya. Ia lalu mendaki bukit dan gunung yang penuh batu. Dan akhirnya ia menemukan sebuah gua dan memasukinya. Aku berhenti di depan mulut gua. Tak berani masuk.

Kulihat orang-orang sedang duduk di bawah sebuah pohon kurma, mengelilingi seorang laki-laki berjubah hijau. Laki-laki itu tampak bersinar wajahnya. Kumis dan jenggotnya kian membuatnya tampak lebih tampan dan anggun. Aku seperti pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana? Kapan?
Tiba-tiba dua orang laki-laki melewatiku. Tampaknya keduanya hendak bergabung dengan orang-orang itu.
“Pak… tunggu!” seruku
Kedua orang itu berhenti dan menoleh ke arahku. “Ada apa?”
“Siapa laki-laki berjubah itu?” tanyaku.
“Apakah engkau belum tahu?” jawab yang berjenggot tebal. “Beliau adalah Rasulullah.”
Rasulullah?
Kedua orang itu kembali melanjutkan langkahnya. Aku bergegas mengikutinya.
“Assalamu’alaikum, ya Rasulallah!” ucap kedua orang itu serempak.
“Wa’alaikum salam,” sahut laki-laki agung itu sambil tersenyum. “Duduklah!”
“Assalamu’alaikum, ya Rasulallah!” ucapku dengan bersemangat.
Namun ternyata salamku tak dijawabnya. Bahkan beliau seakan tidak memedulikan aku. Aku menjadi bingung.
“Ya Rasulallah… saya adalah umatmu,” kataku dengan panik. “Mengapa engkau tak memandangku?”
“Aku hanya memandang orang yang mencintaiku,” sahut lelaki agung itu tanpa memandangku.
“Tapi aku mengagumi dan mengidolakanmu!” aku mencoba membela diri.
“Tidak cukup hanya mengagumi dan membuatku menjadi idola, karena banyak orang yang mengagumiku tetapi tidak pernah mau menerima agama Allah yang hak.”
“Kalau begitu aku mencintaimu.”
“Aku hanya menerima cinta yang tulus.”
“Sungguh aku mencintaimu sepenuh hati!”
“Engkau bohong! Cintamu tak utuh dan terputus-putus. Engkau sedikit sekali bershalawat untukku. Engkau lebih banyak terlelap pada sepertiga malam yang terakhir daripada menemui kekasihku. Engkau meninggalkan jihad yang tak seberapa berat hanya karena mengejar dunia. Engkau juga jarang berlapar-lapar pada siang hari. Lalu bagaimana aku bisa percaya bahwa engkau benar-benar mencintaiku?”
“Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu…”
“Engkau bohong! Bohong!” tiba-tiba orang-orang yang duduk mengelilingi laki-laki agung itu serentak berteriak dan berdiri menghadapku.
“Tidak! Aku tidak bohong!” teriakku.
“Bohong! Bohong!” Mereka melangkah menghampiriku dengan wajah tak bersahabat.
Aku panik. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. “Tidak…! Tidaaa…k!”
Beberapa pasang tangan sudah memegang tubuhku dengan kasar. Selanjutnya beberapa pukulan menimpa wajahku. Hah…! Aku tersentak. Dan kudapati diriku terduduk di atas tempat tidurku. Masya Allah…! Aku bermimpi rupanya. Tapi terasa begitu nyata. Tubuhku benar-benar basah oleh keringat. Bagaimana bisa aku bermimpi tentang manusia agung itu empat malam berturut-turut?
Aku termenung. Kuakui kebenaran kata-kata manusia agung itu. Aku belum pantas menjadi pencinta sejati. Aku tak pernah sholat Tahajjud. Tak pernah berpuasa sunat. Jarang membaca shalawat. Dan masih banyak kebaikan yang belum kulakukan. Ah, alangkah bodohnya aku!
Kulempar selimut dengan keras. Lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang pencinta sejati. Cinta untuk Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam. Jika kelak aku bertemu lagi dengan beliau, aku ingin beliau menerimaku dengan cintanya. Allohumma sholli ‘alaihi.

Popular posts from this blog

Ngewe ABG SMU yang Super Seksi

Cerita Seks Ngawek Hot Bangat yang akan kuceritakan di Bergairah.org ini adalah pengalamanku ngentot cewek sma bispak tapi aku akui toketnya gede banget dan amoi banget memeknya. Berawal dari aku yang dapat tender gede, aku dan temanku akhirnya ingin sedikit bersenang-senang dan mencoba fantasi seks baru dengan cewek-cewek abg belia. Akhirnya setelah tanya kesana kemari, ketemu juga dengan yang namanya Novi dan Lisa. 2 cewek ini masih sma kelas 3, tapi mereka sangat liar sekali. Baru kelas 3 sma aja udah jadi lonte perek dan cewek bispak. Apalagi nanti kalo dah gede ya ? memeknya soak kali ye   . Ahh tapi saya ga pernah mikirin itu, yang penting memeknya bisa digoyang saat ini dan bisa muasin kontol saya. Udah itu aja yang penting. Untuk urusan lainnya bukan urusan saya   . Aku segera mengambil HP-ku dan menelpon Andi, temanku itu. “Di.., OK deh gue jemput lu ya besok.. Mumpung cewek gue sedang nggak ada” “Gitu donk.. Bebas ni ye.. Emangnya satpam lu kemana?” “Ke Sura

RPP MULOK PERTANIAN KELAS IX

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang bermuatan lokal (MuLok) untuk menanamkan pengetahuan tentang arti penting kesetimbangan lingkungan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip Pertanian Organik diantaranya Budidaya Tanaman dengan Menggunakan Pupuk Organik. Naskah berikut saya sadur dari presentasi seorang guru SLTP di sebuah web (mohon maaf, karena filenya sudah cukup lama saya tidak sempat menyimpan alamat webnya). "Arti Penting Pertanian Organik", itu dia phrase (rangkaian) kata kuncinya. Berikut merupakan contoh Mulok Bidang Pertanian untuk SLTP. RINCIAN MINGGU EFEKTIF                                                 Mata Pelajaran       : Muatan Lokal Pertanian                                                 Satuan Pendidikan : SMP                                                 Kelas/Semester       : IX/II                                                 Tahun Pelajaran    : 2011/2012  1.        Jumlah Minggu Efektif No Bulan Banyaknya Minggu

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel dengan Timur Imam Nugroho

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel atau yang akrab disapa dengan Annie dengan Timur Imam Nugroho atau Imung, sangatlah panjang. Mereka mengawali perkenalan mereka sejak lima tahun, di Australia. Saat itu keduanya sedang menimba ilmu di Australia. Timur merupakan kakak kelas dari Anni, dari situ keduanya saling mengenal satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran. “Kita awalnya saling berkenalan, lalu memutuskan untuk kenal lebih dekat sudah sejak 5 tahun lalu,” ungkap Annie, saat diwawancarai Gorontalo Post, di rumah adat Dulohupa, Jumat (23/9). Anni mengatakan selama 5 tahun masa perkenalan tentunya mereka sudah banyak mengenal kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga mereka selalu berusaha untuk saling melengkapi. Lima tahun merupakan waktu yang sangat cukup, hingga akhirnya keduanya saling memutuskan untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 17 September 2016, di Kalibata, Jakarta. Annie merupakan lulusan dari RMIT University, Bachelo