Skip to main content

AKU TERLALU CANTIK



Mata sendu memperlihatkan senyuman gadis itu. Senyuman mengembang dan kelembutan pun terpancar. Cukup lama sudah kesenduan itu terpancar, padahal selama ini entah menghilang ke mana. Tidak ada yang bisa menemukannya. Gadis itu adalah Hera. Tak ingin hatinya yang lembut terlamun kembali, ia pun beranjak dari kursi rotan dan selipan surat cinta yang permukaannya sudah banyak sentuhan sidik jari itu, terjatuh dari pangkuannya.
Lamunannya pun terkuak kembali. Seharusnya, tiga tahun yang lalu surat itu sudah dicelupkan dalam segelas susu agar tidak bisa terbaca kembali dan musnah dengan sendirinya. Selama itu pula, hatinya penuh dengan dilema karena tanpa surat itu, ia tidak akan menjadi Hera yang seperti sekarang.
Hera yang ketika masih terhitung dalam usia yang belia itu tidak bisa menemukan siapakah ia yang sebenarnya. Banyak menutup diri, kaku, tidak bisa bersosialisasi dan masih banyak lagi julukan yang merupakan momok bagi gadis yang tidak dianggap ada di mana pun. Secara fisik, siapa pun bisa menerka bahwa ia hanyalah seorang gadis yang buruk rupa. Dengan rambut yang panjangnya menanggung, hitam legam dan kaku bak tidak pernah disentuh conditioner dan perawatan rambut lainnya. Paling-paling hanya shampo murah saja yang pernah melesat mulus di rambutnya. Alis mata yang bertumbuh jarang-jarang dan tipis, bulu mata pendek dan tidak ada setitik pun kata kelentikan, mata sipit tanpa kelopak mata yang menghiasi. Memang sudah menjadi takdir karena ia hanyalah seorang gadis keturunan Tiong Hua. Ia menerima takdirnya itu, namun tidak semua gadis keturunan seperti dirinya semuanya jelek. Ia merasa, ia yang terburuk rupa bak seekor itik di cerita dongeng. Ia tidak bisa menerima kerusakan matanya yang begitu parah dengan minus mencapai angka 6. Padahal, itu semua akibat dari perbuatannya sendiri yang terlalu banyak menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan membaca buku pelajaran hingga larut malam. Soal prestasi, ia memang memukau dan tidak jarang ia masuk dalam urutan 3 besar, tetapi baginya itu semua hanyalah sampah. Banyak belajar, tidak bisa membuat penampilan fisiknya berubah. Ia tidak mengerti tentang mode dan hanya berharap kepada kacamata bulat hitam yang begitu tebal.
“Her, lo kapan mau berubah? Kalau kayak begini terus, mana ada cowok yang mau deketin?” gumam Friska kepada sahabatnya itu.
“Kayaknya nggak akan, Fris. Aku udah hancur dari sananya. Mama aku aja bilang aku udah jelek sejak lahir. Nggak akan ada yang bisa merubah diriku. Termasuk cinta sekalipun karena aku nggak pantes dapetin siapa pun. Tidak layak untuk dicintai dan dikejar.” Hera menundukkan kepalanya seraya menahan air matanya yang hampir jatuh menetes. Ia tidak melanjutkan lagi ucapannya karena rasa takut akan adanya banjir tangisan konyol di siang bolong.
Friska hanya bisa terdiam pasrah. Kepalanya sudah kebal dengan pendirian sahabatnya yang tidak pernah mau berubah. Cibirannya terpancar walaupun hanya senila. Di balik semuanya itu, ia tidak pernah peka akan perasaan Hera. Ia tidak pernah tahu kalau Hera selalu berusaha menahan kesedihan di hatinya, berpura-pura ceria di depannya dan selalu menampakkan mimik wajah tegar laksana tembok yang menjadi penghalang saat musuh menyerang di tengah peperangan. Ia juga tidak tahu kalau setiap malam, Hera selalu menunggu sprei bantalnya kering karena perbuatannya sendiri yang begitu nyaman saat menangis di atasnya. Bagi Hera, perkara kecil seperti itu sama saja dengan mengurusi perkara besar, yaitu menunggu semburan borok yang memerah dan menghitam di hatinya itu mengering.
***
Namun, semua itu perlahan berubah hanya karena sehelai surat cinta. Surat cinta yang terselip di antara kertas-kertas buku cetak Kimia. Dibacanya berulang-ulang kata demi kata, kalimat demi kalimat di surat itu. Kecermatannya pun timbul seakan tak percaya kalau yang mengirimkan surat itu adalah seorang lelaki meskipun paras dari tulisan yang digoreskan itu mirip sentuhan karya tulis seorang lelaki pada umumnya. Berbagai macam ungkapan kagum dan sayang semuanya lengkap tertulis di sana. Membuat dadanya semakin berdegup kencang dan mengisi bahasa kasih berupa kata-kata yang selama ini hampir tidak pernah terisikan. Penulis surat itu pun tidak misterius karena ia menunjukkan identitas aslinya! Surat itu dari Reza! Di angkatan itu, hanya ada satu murid yang bernama Reza dan Hera mengenal sosok itu, meskipun tidak terlalu dekat. Reza adalah anak kelas sebelah.
Reza suka kepadaku? Aku tidak mempercayainya. Hati Hera berbicara sendiri seakan sedang dalam keadaan tak sadarkan diri dan masih mengumpulkan nyawa. Reza memang bukanlah sosok seorang cowok tampan, pintar, mempunyai orang tua yang kaya raya dan digilai para gadis. Ia hanya seorang murid biasa di mana semua orang yang ada di sekolah itu mengenal dirinya. Tampangnya biasa saja dengan perawakan standar, meskipun begitu ia bukanlah cowok buruk rupa yang culun. Maka tidak heran, jika Hera menganggap disukai cowok seperti Reza saja adalah sebuah anugrah yang sangat indah.
Sepanjang pelajaran Bahasa Indonesia, Hera tak mampu berkonsentrasi. Pikiran gadis itu entah melayang ke mana. Tidak ada pada kalimat efektif dan penggunaan tanda baca yang sedang diajarkan oleh Ibu Ponimin. Ia malah memfokuskan diri kepada obyek yang bernama Reza. Entah sedang apa cowok itu? Dan sedang menghadapi pelajaran apa? Kalau tidak salah, pelajaran Geografi. Begitu pikirnya.
“Teng... Tong...!” lamunan itu terhenti sejenak karena bel pulang sekolah pun berbunyi.
***
Hera berjalan begitu cepat turun ke lantai bawah berlawanan arah tanpa melewati kelas Reza.
“Her, kok buru-buru amat? Gue mau ngomong sama lo!” sahut Reza.
“Ehmm.... ada apaan Rez?” tanya Hera seakan-akan tak mengerti.
“Lo udah baca surat gue?”
“Surat? Ehm... udah sih. Mungkin kamu salah alamat kali. Atau lagi bercanda tulis begituan?” tanyanya dengan nada perlahan.
“Itu serius. Itu buat lo Her!”
“Enggak mungkin!” tangkis Hera. “Tapi, maksud kamu itu cuma buat pertemanan kita aja kan?”
“Pertemanan? Gue berharap bisa kenal lo lebih jauh. Kayaknya gue mulai suka sama lo.” mata itu mulai menatap Hera dengan begitu tajam.
“Nggak mungkin. Lagi-lagi kamu becanda, ya? Mana ada yang bisa suka sama cewek kayak aku. Aku cuma cewek yang nggak gaul dan buruk rupa.”
“Her, gue nggak pernah liat lo dari fisik. Gue juga punya banyak kekurangan. Gue bukan cowok populer kayak Hans. Tapi, gue liat lo utuh dari hati lo. Lo itu cewek baek dan pintar yang pernah gue kenal. Gue masih inget bener waktu gue nggak sengaja liat lo nolong anak kecil kelaperan di jalan, bantuin Mira belajar Fisika. Lo selalu ada buat Friska, bahkan di saat dia sedih walaupun dia nggak pernah ngerti perasaan lo.”
“Kok kamu tau semuanya?”
“Itu karena gue udah lama kagum sama lo. Lo itu cantik, Hera! Satu hal yang perlu lo tahu, yang menutupi kecantikan adalah tali penolakan diri yang mengikat hati seorang wanita. Ia tidak pernah sadar kalau dirinya cantik, kecuali ada seseorang yang memberikannya pisau pemotong untuk memotong belenggu itu. Saat itulah kecantikan yang sesungguhnya bisa terpancar.”
Pandangan mata Hera seakan menatap mata Reza dengan tidak percaya. Ada yang mengatakan kalau ia cantik. Orang yang melahirkannya saja tidak pernah mengucapkan satu kata itu. Dengan cepat, dialihkan pandangan itu ke bawah lantai.
“Oia, kayaknya aku mesti buru-buru pulang. Mama udah nungguin aku di rumah.” bunyi langkah gadis itu semakin cepat.
“Hera.. Hera!” panggil Reza, tetapi tidak ada jawaban.
***
Ada yang bilang aku cantik... ada yang bilang aku ini cantik juga rupanya. Kalimat itu selalu terngiang-ngiang dalam benaknya hampir setiap detik. Saat ia bercermin di kaca pun, ia tampak heran di mana letak kecantikannya. Tidak ada yang luar biasa pada dirinya. Tidak ada nyali sedikit pun untuk bertanya kepada cermin, apakah ia benar-benar cantik.
“Fris, kamu mau temenin aku liat-liat contact lense?” tanya Hera berbisik saat pelajaran Kimia berlangsung.
Friska terkaget sejenak bagai mendengar sebuah berita penurunan harga BBM. “Lo mau pake contact lense?” tanya Friska dengan raut muka yang enggan untuk percaya.
“Mungkin.” Hera mengangguk tersenyum.
Sejak hari itu, penampilan Hera berangsur-angsur berubah. Dari contact lense berwarna bening, potongan rambut panjang yang lebih bermodel zaman sekarang, alis dicukur dan dibentuk rapi, juga tempelan scoot mata yang membuat kelopak matanya semakin tampak. Hera menatap wajahnya di cermin kamarnya. Ia baru sadar, toh ia juga tidak jelek-jelek amat. Kulitnya putih dan mulus, hidungnya pun juga mancung dengan tulang pipi yang sedikit menonjol. Itu sangat menunjang kecantikannya sebagai seorang gadis oriental. Senyumannya pun juga manis apalagi dengan susunan gigi yang rapih dan putih. Ia pun semakin lama, semakin mahir dalam berdandan layaknya remaja seusianya. Hera juga gadis yang baik, pintar dan suka menolong. Itu semua menunjukkan kalau ia mempunyai kecantikan yang terpancar dari dalam ke luar.
“Her, lo cantik banget hari ini! Lo beda banget sama yang dulu!” puji Reza ketika duduk berhadapan dengan Hera di meja kantin.
“Ah, nggak biasa aja.” pujian itu membuat muka Hera memerah.
“Her, lo belom jawab pertanyaan gue 2 hari yang lalu. Lo mau nggak jadi cewek gue?”
“Ohokk... ohokkk!” orange juice yang sedang diminum Hera tiba-tiba tersedak tersangku di kerongkongan.
“Her, tar malem ada acara? Gue mau ajak lo nonton. Bisa?” ajak Hans tiba-tiba.
“Ehmmm... ehmm.... malam ini kayaknya... aku nggak bisa. Mau belajar Mat soalnya.” tolak Hera secara halus mengingat kini ada dua cowok yang enggan dikecewakan olehnya.
“Oh, gitu. Ya udah, kalau lo lagi nggak sibuk, gue pasti ajak lo lagi. Oke.” Hans langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
“Napa lo nggak mau pergi sama dia?” tanya Reza.
“Kan aku udah bilang nggak bisa.”
“Kalau begitu, lo mau terima gue?”
“Ehm... aku nggak bisa jawab sekarang. Masih bingung. Lagian, aku lagi nggak pengen pacaran dulu.” Hera menghela nafas panjang dengan penuh rasa bersalah.
“Oh, ya udah nggak apa-apa. Gue bakal nunggu lo kok. Entah sampai kapan gue bisa sanggup buat nunggu.” janji Reza. Ia menyadari betul jika Hera masih tampak bingung di antara dua pilihan.
***
Di dalam kamar yang rupanya semakin feminin yang sesuai dengan jiwa Hera, Hera hanya bisa berdiam diri. Gadis itu tampak semakin cantik ketika ia beristirahat dan tinggal tenang, walaupun hatinya gusar. Namun, tak ditunjukkan kegusaran itu karena ia memilih untuk tentram. Ia hanya bisa terbaring menyelimuti diri di balik bed cover pink bergambar Cinderella itu. Sedikit menutup mata saja, yang muncul hanyalah wajah Reza dan Hans.
Tuhan, jika salah satu saja yang muncul saat ini ada di hadapanku, aku mau sama dia. Nazarnya begitu asal terlontar keluar lewat hatinya.
“Tok... tok... tok... Her, ada teman kamu yang datang.” sahut mama.
“Siapa, Ma?”
“Hans.”
Mata Hera yang sipit itu langsung terbelalak sehingga membuat matanya tampak lebih besar.
“Hans, kamu ngapain datang kemari?”
“Gue cuman heran aja. Kenapa tiap gue ajak pergi, lo selalu aja nolak. Her, gue suka sama lo. Apa lo nggak nyadar? Lo mau jadi pacar gue?” tembak Hans.
Kedilemaan Hera semakin besar. Ia hanya bisa menggaruk dengan kasar kulit kepalanya dan membuat rambutnya berantakan. Tersentak pula karena ia baru saja mengingat nazarnya yang tadi.
“Gimana? Gue butuh jawaban lo sekarang!”
“Oke, aku mau.” jawabnya singkat dan berharap kali ini doanya tepat.
Tak bisa dibohongi, kalau saat itu hati Hera berbunga-bunga karena pangeran yang begitu tampan baru saja menyatakan cinta kepadanya. Namun, beberapa detik berlalu setelah ia menerima cinta itu, dilihatnya sesosok langkah yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya saat itu.
“Reza, kamu kok datang kemari? Kenapa nggak kasih kabar?” Hera terlihat gusar memegangi dahi dan memberantaki rambutnya yang tebal.
“Gue cuma mau liat lo aja hari ini.” ujar Reza singkat.
Mata Hera langsung terpana melihat kumpulan bunga mawar merah yang digenggam oleh Reza. Rasa bersalah semakin memuncak di dadanya. Ia yakin betul kalau bunga itu ditujukkan untuk dirinya.
“Oh iya, Rez. Gue sama Hera udah jadian lo!” Hans merangkul Hera saat itu juga dan tubuh Hera begitu gemetar dari ujung rambut hingga ujung kaki, tak terbiasa dengan perlakuan itu. Secepat kilat, ia melepas rangkulan itu.
Beberapa kuntum mawar itu, jatuh roboh berantakan seketika meskipun tidak meninggalkan bunyi apa-apa. Reza pun langsung meninggalkan tempat di mana kedua sejoli itu melukai hatinya.
“Reza.... Reza please dengerin aku dulu!” Hera pun spontan mengikuti jejak langkah Reza.
Hans serasa dijatuhkan begitu saja setelah tadi dibuat terbang ke angkasa, “Arrrgghhh!” teriak Hans kesal.
“Selamat ya, Hera. Semoga lo bahagia sama Hans. Dia itu sempurna banget buat lo.” Reza yang jarang menangis, malam itu menitikkan setetes air mata dari pelupuk matanya. Langkahnya semakin cepat.
Jalanan tampak begitu gelap dan lampu jalanan komplek tidak banyak yang menyala seperti biasanya. Hera tidak terbiasa dengan keadaan malam yang begitu gelap gulita. Ia jarang keluar rumah malam-malam begini, tetapi ia tetap kukuh mengejar Reza untuk menjelaskan semuanya.
Reza menghentikan langkahnya di tengah jalanan, “Udah Her, jangan kejar-kejar gue lagi, kenapa! Kasihan Hans pacar lo itu!” bentak Reza.
Tadinya Hera ingin menjelaskan semuanya, namun bibirnya keras, mengering dan tak sanggung mengucapkan satu patah kata pun. Hanya tangisan kecil yang semakin menjadi-jadi saja yang terlontarkan.
“TIIITTTT.... TIITTTTT!” sebuah sedan merah membunyikan klakson yang menyilaukan pandangan dan memekakkan telinga.
Reza mendorong tubuh Hera sampai tersungkur ke rerumputan dan ia lupa menyelamatkan dirinya sendiri, “ARRGGGHHHH!” hantaman sedan itu begitu keras menjungkirbalikkan tubuh yang tak berdosa itu. Menghancurkan organ tubuh yang tadinya utuh sampai mengeluarkan darah di mana-mana.
***
Semula memang tampak bagaikan mimpi indah, namun mimpi buruk itu belum berakhir. Tangisan Hera tak kunjung padam, bahkan sampai hari berganti dan ia berada di sekolah. Ia menanamkan benih di otaknya, bahwa semua ini adalah dosanya. Ditambah lagi, semua keluarga Reza dan teman-temannya juga mempersalahkan dirinya. Nyawa Reza terancam kritis karena ia mengeluarkan begitu banyak darah dan tak sadarkan diri. Transfusi darah memang telah dilakukan, namun itu hanya membantu sedikit karena kini Reza sedang mengalami mati suri.
Semua ini adalah dosaku. Coba kalau aku tidak merubah diri! Coba kalau aku tetap menunjukkan kejelekkan diriku! Coba kalau aku tidak cantik. Ini semua tidak akan terjadi! Intimidasi itu terus menghantuinya walaupun ia sedang menyendiri duduk di belakang taman sekolah.
“Hera! Lo itu sekarang belagu banget, ya! Gara-gara lo, Hans mutusin gue! Sekarang Reza koma gara-gara kecelakaan. Itu semua gara-gara lo nyakitin dia, kan? Jangan sok kecakepan deh jadi orang! Dasar gatel! Lo mau semua cowok di sini suka sama lo, ya?” bentak Jenny yang konon dikenal sebagai primadona di sekolah SMA Janji Bangsa itu.
“Aku... aku...” Hera tak sanggup lagi membela diri.
“Udah deh, jangan banyak bacot. Dasar cewek gatel! Liat aja, semua orang di sini nggak bakal ada yang percaya lagi sama lo!” Jenny langsung meninggalkan Hera.
Enggak, Her! Ini semua bukan salah kamu! Kamu cantik jadi wajar aja kalau kamu milih Hans karena dia lebih dari segalanya daripada Reza! Otak Hera dari sisi lain membela dirinya sendiri sambil menunjukkan wajah yang begitu sinis. Namun, di sisi lainnya lagi, Her, tapi Reza paling baik. Dia yang membuat kamu berubah! Tanpa dia, kamu nggak akan pernah tahu kalau kamu cantik! Dia yang nunjukkin semuanya! Dia yang menemukan kecantikan kamu! Seharusnya kamu pilih dia, bukan Hans. Hans suka kamu karena kamu cantik, tapi dia belum tentu menerima kamu apa adanya! Rasa penyesalan di hati pun muncul. Hera baru menyadari betul kebaikan Reza. Lagi-lagi ia menyalahkan kecantikannya yang membuatnya merasa angkuh dan pantas mendapatkan segalanya sesuai keinginan dagingnya.
Siang itu, Hera tidak berani pulang ke rumah. Ia tidak sanggup melewati jalan yang bekas ditumpahi darah Reza itu. Apalagi, ditambah kondisi Reza yang sedang kritis dan diujung tanduk itu. Berdoa pun tidak sanggup karena intimidasi dosa itu masih ada dan membuatnya tak sanggup bertemu dengan Tuhan. Tangisan itu masih berlanjut, bahkan ketika ia sudah sampai di rumah Friska.
“Her, jangan nangis terus dong, please! Dengan nangis kayak gini, nggak akan merubah keadaan apa pun! Apa dengan lo menyalahkan diri, Reza bakal cepet sadar? Enggak, kan? Kita cuma bisa pasrah dan berdoa, Her.” bujuk Friska duduk di sebelah Hera.
“Tapi, kalau bukan gara-gara aku, Reza nggak mungkin kayak gini. Coba kalau aku nggak nolak dia dari pertama. Coba kalau aja aku nggak repot-repot minta bantuan kamu buat merubah semua penampilan aku, ini nggak akan terjadi.” tangisan itu masih membanjiri wajahnya yang cantik.
“Ini semua bukan salah lo, Her. Reza udah suka sama lo, sebelum lo merubah penampilan kan. Lo bisa cantik karena Reza udah suka sama lo. Makanya lo bisa berubah. Soal Hans yang suka sama lo, itu wajar kan. Lo cantik, jadi wajar aja kalau tiba-tiba banyak yang suka sama lo. Wajar juga kalau lo bingung mau pilih yang mana. Bukan salah lo kalau lo itu cantik, Hera.” Friska memeluk sahabat karibnya itu dan ikut larut dalam kesedihan. Baru kali ini, Hera merasakan bahwa sahabatnya itu benar-benar mengerti akan perasaannya itu. Sedikit kebahagiaan itu mulai bisa menyentuh hatinya yang tadinya begitu pedih.
***
Kembali Hera memandang cermin bisu di kamarnya. Seharusnya, dengan penuh percaya diri ia berani bertanya kepada cermin, apakah ia cantik? Namun, keberanian itu pudar seketika. Yang kini ada di atas meja rias yang kini penuh dengan alat riasan dan make up itu, muncul pula sebilah pisau dapur yang baru saja ia ambil di dapur tadi. Digenggamnya pisau itu, Tuhan kalau Kau mau ambil kecantikan aku, aku mau menyerahkannya sekarang! Hatinnya berbicara tanpa berpikir panjang dan ia mendekatkan pisau itu kepada permukaan pipinya yang mulus itu. Berharap agar pisau itu mampu meninggalkan bekas luka yang tidak akan kunjung padam.
Letak pisau itu hampir diujung tanduk. Baru saja ingin digoreskan dengan kasar benda tajam itu, namun batinnya tidak rela. Ia menangis lagi, “ARRRGGGHH!” teriaknya histeris lalu dilemparkannya pisau itu ke lantai. Bukan karena rasa takut yang menghadang niatnya, melainkan karena ia tidak rela kalau kecantikannya itu hilang. Walaupun merasa berdosa, ia tidak sanggup pula kalau harus menjadi gadis yang lebih buruk rupa daripada sebelumnya.
Tekanan demi tekanan dihadapi oleh Hera hampir setiap hari. Padahal, perlahan orang-orang sudah mulai tidak lagi menyalahkan dirinya. Hubungannya dengan Hans pun sudah tidak dilanjutkan kembali karena ia merasa sudah salah memilih orang yang seharusnya bisa mengisi hatinya. Meskipun ia yang memutuskan hubungan, rasa sakit hati tetap ada dan jika mengingat hal itu, hatinya bagaikan ditusuk jarum pentul yang begitu banyak dan berwarna-warni. Hans pun tidak lepas dari sakit hati. Baru kali ini ia merasa dicampakkan oleh perempuan. Hal itu membuat Hera tak lepas dari rasa bersalah karena ia menyakiti satu orang lagi. Ia mulai menutup diri dari kejaran banyak cowok di sekolahnya. Meskipun, di bagian nuraninya yang lain, ia tidak menampik kalau ia senang ada yang mengejarnya.

Setelah pengambilan rapor dan kenaikan kelas ke kelas 3 SMA pun dimulai, Hera memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan semua hal di kota itu. Ia pergi di saat Reza belum terbangun dari tidurnya, padahal perasaan cinta sudah ada dalam hatinya. Tidak ada yang tahu ke kota mana ia pergi, bahkan Friska. Hanya kedua orang tuanya saja yang tahu dan ia meminta agar semuanya itu dirahasiakan. Di suatu kota yang baru, Hera tinggal bersama saudaranya dan memulai semuanya dengan baru. Sampai detik ini, setelah beberapa tahun, ia pun tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Jakarta dan apakah Reza sudah bangun dari kematiannya yang sementara itu. Hatinya masih berharap pula kalau ada sedikit ruang di hati Reza untuk dirinya.

Popular posts from this blog

Ngewe ABG SMU yang Super Seksi

Cerita Seks Ngawek Hot Bangat yang akan kuceritakan di Bergairah.org ini adalah pengalamanku ngentot cewek sma bispak tapi aku akui toketnya gede banget dan amoi banget memeknya. Berawal dari aku yang dapat tender gede, aku dan temanku akhirnya ingin sedikit bersenang-senang dan mencoba fantasi seks baru dengan cewek-cewek abg belia. Akhirnya setelah tanya kesana kemari, ketemu juga dengan yang namanya Novi dan Lisa. 2 cewek ini masih sma kelas 3, tapi mereka sangat liar sekali. Baru kelas 3 sma aja udah jadi lonte perek dan cewek bispak. Apalagi nanti kalo dah gede ya ? memeknya soak kali ye   . Ahh tapi saya ga pernah mikirin itu, yang penting memeknya bisa digoyang saat ini dan bisa muasin kontol saya. Udah itu aja yang penting. Untuk urusan lainnya bukan urusan saya   . Aku segera mengambil HP-ku dan menelpon Andi, temanku itu. “Di.., OK deh gue jemput lu ya besok.. Mumpung cewek gue sedang nggak ada” “Gitu donk.. Bebas ni ye.. Emangnya satpam lu kemana?” “Ke Sura

RPP MULOK PERTANIAN KELAS IX

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang bermuatan lokal (MuLok) untuk menanamkan pengetahuan tentang arti penting kesetimbangan lingkungan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip Pertanian Organik diantaranya Budidaya Tanaman dengan Menggunakan Pupuk Organik. Naskah berikut saya sadur dari presentasi seorang guru SLTP di sebuah web (mohon maaf, karena filenya sudah cukup lama saya tidak sempat menyimpan alamat webnya). "Arti Penting Pertanian Organik", itu dia phrase (rangkaian) kata kuncinya. Berikut merupakan contoh Mulok Bidang Pertanian untuk SLTP. RINCIAN MINGGU EFEKTIF                                                 Mata Pelajaran       : Muatan Lokal Pertanian                                                 Satuan Pendidikan : SMP                                                 Kelas/Semester       : IX/II                                                 Tahun Pelajaran    : 2011/2012  1.        Jumlah Minggu Efektif No Bulan Banyaknya Minggu

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel dengan Timur Imam Nugroho

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel atau yang akrab disapa dengan Annie dengan Timur Imam Nugroho atau Imung, sangatlah panjang. Mereka mengawali perkenalan mereka sejak lima tahun, di Australia. Saat itu keduanya sedang menimba ilmu di Australia. Timur merupakan kakak kelas dari Anni, dari situ keduanya saling mengenal satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran. “Kita awalnya saling berkenalan, lalu memutuskan untuk kenal lebih dekat sudah sejak 5 tahun lalu,” ungkap Annie, saat diwawancarai Gorontalo Post, di rumah adat Dulohupa, Jumat (23/9). Anni mengatakan selama 5 tahun masa perkenalan tentunya mereka sudah banyak mengenal kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga mereka selalu berusaha untuk saling melengkapi. Lima tahun merupakan waktu yang sangat cukup, hingga akhirnya keduanya saling memutuskan untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 17 September 2016, di Kalibata, Jakarta. Annie merupakan lulusan dari RMIT University, Bachelo