Tentu saja
ungkapan diatas bukalah isapan jempol
belaka, tetapi keluar dari lisan Gurutta Prof. AGH Faried Wajedi, MA. Beliau
menegaskan disela-sela obrolan lepasnya di Hotel Hayani Samarinda bahwa ulama
itu sifatnya membina sedangkan politikus adalah menguasai, sambil menjelaskan
sekedarnya perbedaan antara kedua ungkapan tersebut. Ini suatu bukti bahwa
Beliau sangat peka mencermati konsekuensi (efektivitas) bagi DDI jika dipimpin
oleh seorang ulama dan risiko (stagnasi) jika ia dipimpin oleh politikus.
Penulis akan
mencoba menguraikan ungkapan Gurutta ini karena mengandung nilai philosfis yang
dalam, dimana kita dituntut sejenak mengerutkan dahi untuk menemukan
sinkronisasi ungkapan ini dalam organisasi DDI yang kita cintai dan dalam
kehidupan berorganisasi.
ULAMA
PEMBINA
Jelas di
dalam hadis rasulullah SAW tidak ada satupun yang disebut pengganti Nabi
kecuali Ulama. Dan al-qur'an sangat paten mengakui ulama sebagai “الراسخون فى العلم” (mereka yang mempunyai pengetahui
yang pasti). Nah, adakah kita yang menyanksikan ke-ulama-an Anrgurutta?
Siapapun yang melihat karya-karya ilmia Beliau yang berjumlah lebih dari 40
judul kitab, (diantaranya):
القول الصادق في معرفة الخالق
ربي
اجعلني مقيم الصلاة
حلية الشباب
النخبة المرضية
الرسالة البهية
مرشد الطلاب
تمرين الطلاب
إلخ,,,,,,,
Menujukkan
kemampuan Gurutta dalam menguasai ilmu-ilmu agama, sastra, dan bahasa Asing
(Arab), sampai-sampai beliau mampu mengarang kitab Usul firqhi-nya yang
terkenal itu hanya di kamar mandi tanpa bantuan referensi. Belum lagi kesufianya
sehingga beliau nyaris sempurna dalam dirinya sebagai seorang Faqih, Sufi, dan
adabi (budayawan) secara bersama-sama dalam satu waktu. Oleh karena itu , tidak
diragukan lagi bobot ke-ulama-anya sebagai penerus risalah Islam yang disegani
dan dihormati dalam berbagai lapisan masyarakat.
Anregurutta
sebagai ulama tidak pernah belajar teori manajmen organisasi secara formal,
tetapi beliau mempraktekkan manajerial organisasi yang baik dalam pengembangan
DDI di berbagai pelosok di nusantara ini, bahkan beliau sampai kepedalaman
Kutai Barat (Kaltim) di tengah-tengah mayoritas non-Muslim. Tentu ini tidak
lepas dari krakter Beliau sebagai seorang ulama; MEMBINA, MENGAJAR, MENDIDIK,
MENASEHATI, MENGARAHKAN, DAN MENYATUKAN plus LILLAH dengan ungkapan beliau "LAYANI
AGAMAE, NALAYANIKO TU PUANG-E",
sehingga DDI berkembang pesat dimana mana dan dikenal di tengah tengah
masyarakat, bahkan mereka bangga kalau dikatakan orang-orang DDI, meskipun
secara akademis tidak pernah mengecap pendidikan formal DDI.
Ketika ulama
memimpin dalam sebuah organisasi, maka dipastikan bahwa ada pembinaan di
dalamnya. Bagaimana tidak, kalau ulama itu sendiri duduk mengajarkan ilmu,
membina akhlaq santrinya, setiap waktu menjadi imam shalat. Nilai-nilai inilah
yang hilang selama ini di tubuh DDI, jadi wajar kalau berbagai tanggapan miring
muncul dan pengevaluasian tentang kemajuan DDI dan perkembanganya yang hanya
penonton dalam kompetisi kemajuan ilmu pengetahuan dan bisa-bisa menjadi ayam
KEOK (ayam yang menyerah) yang dipimpin PB dan MA dalam menghadapi era
globalisai pendidikan yang kian maju yang didukung teknologi.
POLITIKUS
PENGUASA
Politik
berasal dari bhs Belanda "Politiek". Dan selusinan definisi mengenai
politik, tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa politik adalah harapan yang baik
sesui dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dan menghindari hal-hal
yang baruk sebisa mungkin. Pada dasarnya politk itu baik. Politik yang baik
dalam sebuah negara dan organisasi, jelas negara dan organisasi itu maju dan
berkembang. Tetapi sebaliknya apabila politik itu rusak , maka bencana akan
terjadi: Negara dan organisasi itu hancur dan rusak.
Maka seorang
politikus seharusnya memahami secara mendalam dan komitmen melaksanakan
nilai-nilai yang baik dalam bermasyarkat dan berorganisasi. Itulah politikus
yang ulung dan diharapakan tampil sebagai pengusung nilai-nilai yang baik
sebagai mata kunci kemajuan dan perkembangan organisasi. Namun, kenyataan itu
sulit kita mendapatkan pioner seperti itu, justru mereka menggebu gebu bahkan
menggunakan segala cara untuk berkuasa didalam sebuah organisasi, meski
menggunakan teori-teori yang enak kedengaranya tapi pahit dirasakan.
Ketika Dr.
Muiz Kabri masuk bergabung dalam DDI yang dianggap organisator dan menajer
mampu mengembangkan DDI lebih maju dan berkembang melebihi kemampuan
Anregurutta. Dan harapan itu bertahun-tahun ditunggu, namun DDI mengalami
stagnisasi dan pengeroposan serta abrasi nilai-nilai ke-DDI-an semakin tidak
jelas tujuanya sebagai lembaga sosial, da'wah dan pendidikan. Dan belakangan
terungkap bahwa si Muiz ini ternyata sama sekali tidak ada latar belakang
ke-DDI-anya, tidak pernah belajar di sekolah-sekolah DDI mana-pun, dia hanya
petualang kesiangan yang haus kekuasaan.
Ungkapan
Gurutta Prof. AGH Faried Wajedi, MA bahwa politikus tujuanya menguasai, bukan
membina, maka inilah yang terjadi dalam jantung DDI. Berkuasa melupakan
nilai-nilai moral dan adab, pasti melahirkan egoisme berpikir dan bertindak,
yang ujung-ujungnya memiliki perasaaan yang lebih hebat dari yang lain. type
politik semacam ini memupuk kebencian dan pengelompokan dalam sebuah wadah
organasasi, yang tidak etis dalam wadah DDI yang memiliki tujuan yang luhur
dalam menyebarkan Da'wah dan melahirkan generasi yang diharapkan Anregurutta.
Yang jelas,
politikus tidak bisa berhati ulama dan ulama bisa berjiwa politikus. Oleh
karena itu, harapan kita sebagai generasi DDI akan muncul pemimpim yang berhati
ulama dan berjiwa politik. Semogaaaa.......amin