Setiap siswa yang bersekolah sebenarnya sudah terbiasa dengan ujian. Baik ujian tengah semester maupun ujian akhir semester. Jadi evaluasi hasil belajar bukanlah sesuatu yang asing lagi.
Tetapi mengapa setiap kali ada ujian nasional, selalu terjadi kehebohan?
Ya, karena lewat ujian nasionallah kelulusan seorang siswa ditentukan. Hasil belajar selama bertahun-tahun akan dipertaruhkan pada ujian yang berlangsung beberapa hari. Tak heran bila selalu ada kesibukan tambahan gara-gara UN. Banyak tempat bimbingan belajar menawarkan berbagai trik jitu menjawab soal. Sekolah-sekolah bikin jam tambahan dan berharap semua siswa lulus (angka kelulusan 100 persen).
Yang lebih dahsyat, persiapan menghadapi ujian nasional juga merambah ke segi spiritual. Kita sudah sering dengar murid dan guru berkumpul, berdoa bersama, atau bahkan mengunjungi makam orang-orang yang dianggap sakti. Banyak pula orangtua mengontak dukun agar mendapatkan “bala bantuan” supaya anaknya lulus UN.
Di kota Magelang, misalnya, ada Eyang Wibowo. Dia adalah salah seorang paranormal yang kerap dimintai bantuan menjelang UN. Banyak orangtua membawa putra/putri mereka, meminta air dari Eyang Wibowo untuk diminum sebelum mengerjakan soal. Harapannya, begitu air diminum, pencerahan dalam mengatasi soal-soal pun datang.
UN sebagai alat berjualan
Kehebohan dan ketakutan menghadapi UN sebenarnya menandakan besarnya perhatian berbagai pihak — baik pelaku, panitia, maupun pengamat. Lagi-lagi, ini semua karena UN menentukan kelulusan siswa. Maklum, persoalan lulus atau tidak lulus adalah hal besar, layaknya pergulatan hidup dan mati.
Divonis tidak lulus jelas menjadi catatan buram bagi seorang siswa dan keluarga. Sementara bagi sekolah, buruk buat reputasi. Banyaknya siswa yang tidak lulus UN di suatu sekolah tentu bukan hal yang bagus untuk “dijual” di tahun ajaran baru.
Persentase kelulusan dan rataan nilai yang baik tentu akan menjadi hal menarik untuk dipampang di spanduk maupun reklame saat pendaftaran siswa baru. Orangtua tentu lebih memilih mengirimkan anak mereka ke sekolah yang semua siswanya lulus, alias 100 persen.
Di sinilah UN punya fungsi ganda: evaluasi belajar plus penentu kelulusan bagi siswa, serta alat berjualan bagi sekolah. Bagi dunia pendidikan ini jelas tidak sehat.
Pendidikan perlu dikembalikan pada khitahnya, yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa, tanpa perlu jadi menakutkan bagi pendidik dan pelajar. Sungguh sayang bila keberadaan UN justru memberi tekanan bagi generasi muda bangsa ini sehingga tidak bisa berkembang secara maksimal.
Tetapi mengapa setiap kali ada ujian nasional, selalu terjadi kehebohan?
Ya, karena lewat ujian nasionallah kelulusan seorang siswa ditentukan. Hasil belajar selama bertahun-tahun akan dipertaruhkan pada ujian yang berlangsung beberapa hari. Tak heran bila selalu ada kesibukan tambahan gara-gara UN. Banyak tempat bimbingan belajar menawarkan berbagai trik jitu menjawab soal. Sekolah-sekolah bikin jam tambahan dan berharap semua siswa lulus (angka kelulusan 100 persen).
Yang lebih dahsyat, persiapan menghadapi ujian nasional juga merambah ke segi spiritual. Kita sudah sering dengar murid dan guru berkumpul, berdoa bersama, atau bahkan mengunjungi makam orang-orang yang dianggap sakti. Banyak pula orangtua mengontak dukun agar mendapatkan “bala bantuan” supaya anaknya lulus UN.
Di kota Magelang, misalnya, ada Eyang Wibowo. Dia adalah salah seorang paranormal yang kerap dimintai bantuan menjelang UN. Banyak orangtua membawa putra/putri mereka, meminta air dari Eyang Wibowo untuk diminum sebelum mengerjakan soal. Harapannya, begitu air diminum, pencerahan dalam mengatasi soal-soal pun datang.
UN sebagai alat berjualan
Kehebohan dan ketakutan menghadapi UN sebenarnya menandakan besarnya perhatian berbagai pihak — baik pelaku, panitia, maupun pengamat. Lagi-lagi, ini semua karena UN menentukan kelulusan siswa. Maklum, persoalan lulus atau tidak lulus adalah hal besar, layaknya pergulatan hidup dan mati.
Divonis tidak lulus jelas menjadi catatan buram bagi seorang siswa dan keluarga. Sementara bagi sekolah, buruk buat reputasi. Banyaknya siswa yang tidak lulus UN di suatu sekolah tentu bukan hal yang bagus untuk “dijual” di tahun ajaran baru.
Persentase kelulusan dan rataan nilai yang baik tentu akan menjadi hal menarik untuk dipampang di spanduk maupun reklame saat pendaftaran siswa baru. Orangtua tentu lebih memilih mengirimkan anak mereka ke sekolah yang semua siswanya lulus, alias 100 persen.
Di sinilah UN punya fungsi ganda: evaluasi belajar plus penentu kelulusan bagi siswa, serta alat berjualan bagi sekolah. Bagi dunia pendidikan ini jelas tidak sehat.
Pendidikan perlu dikembalikan pada khitahnya, yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa, tanpa perlu jadi menakutkan bagi pendidik dan pelajar. Sungguh sayang bila keberadaan UN justru memberi tekanan bagi generasi muda bangsa ini sehingga tidak bisa berkembang secara maksimal.