Setelah musim semi, kini tiba musim gugur. Analogi itulah yang pas menjelaskan fenomena dibalik pilkada Kota Makassar. Seperti Beuty contest (kontes kecantikan) para calon kini sedang memasuki masa nominasi sebelum akhirnya beberapa diantaranya benar-benar lolos ke babak final. Satu persatu nominator berguguran dari panggung menuju kontestasi calon walikota dan wakil walikota Makassar.
Alasan yang muncul bermacam-macam, ada yang karena tidak mendapatkan kendaraan partai politik, kehabisan pembiayaan, atau akhirnya sadar untuk maju menjadi walikota tidaklah mudah. Bukan sekedar dengan memasang baligho maka akan segera mendapatkan pendukung, dilamar oleh parpol, lalu dipilih menjadi walikota. Dalam politik dikenal ‘Genetic Drift’ (hanyut genetik) di mana proses seleksi alamiah pasti berjalan, siapa yang mampu bertahan dialah yang akan menang. Karena politik bukan sekedar pasar malam, tempat berkerumunnya para pembeli dan penjual. Tidak juga sekedar kemampuan menjual diri dan sterategi ilmu pemasaran.
Politik adalah perpaduan kemampuan kalkulatif dan kenekatan yang spekulatif. Kedua aspek tersebut ada dalam arena politik. Rasionalisasi yang bersifat kalkulasi yang penuh dengan pertimbangan rasional mesti diperlukan oleh setiap calon. Tujuannya mengukur kapasitas personal, modal sosial dan kemampuan finansial untuk melakukan sosialisasi politik.
Sedangkan kemampuan spekulatif juga mesti diperlukan untuk berani menebar janji, kontrak politik, kemampuan kreativitas melakukan kampanye politik, keberanian mengeluarkan cost politic bagi sosialisasi personal ataupun program pasangan. Serta berbagai hal lainya yang merupakan konsekuensi corak demokrasi populistik yang kini di praktekkan di Indonesia.
Konsolidasi EliteKini pada masa pertengahan, jelang beberapa bulan waktu pelaksanaan pilkada kota Makassar yang menurut rencananya akan digelar pada September 2013. Konsolidasi elite telah terfokus pada beberapa calon. Mereka yang awalnya maju sendiri kini mulai berpasangan. Kondisi ini semakin menunjukan bahwa konsolidasi politik mulai mengerucut pada beberapa kandidat yang akhirnya lolos untuk berpasangan dan mendapatkan kendaraan politik.
Pada akhirnya, toh elite-lah yang menentukan dan menjadi juri bagi seleksi kandidat yang banyak jumlahnya. Elite yang menguasai partai politik, birokrasi, modal, dan tentu saja pendukung. Karena kita akhirnya disadarkan oleh sebuah ungkapan lama; ‘tidak pernah ada pemerintahan dijalankan secara langsung oleh semua rakyat; dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk semua rakyat ‘(Dahl 1971; Coppedge dan Reinicke 1993).
Dalam praktiknya yang menjalankan pemerintahan bukan rakyat, tapi elite yang jumlahnya jauh lebih sedikit, demikian pula dalam arena kontestasi politik seperti pilkada. Dimana seleksi politik masih ditentukan baik oleh elit-elit parpol yang memiliki akses kekuasaan maupun mereka yang menjadi patron tokoh yang memiliki pengaruh ditengah rakyat. Walau tidak menutup kemungkinan juga tetap mengakomodasi kepentingan politik melalui jalur independen.
Kuasa elit ini, pada umumnya berada pada proses seleksi yang kemudian akan didistribusikan kepada penyelenggara pemilu secara adimistratif, lalu disodorkan kepada rakyat. Jadi mengharapkan pilkada sepenuhnya sebagai otoritas dari kekuasaan rakyat juga tidak selamanya benar. Karena pada dasarnya, paket pasangan yang kemudian berlaga dalam pemilukada juga mesti melalui mekanisme seleksi dari sekelompok elit politik dan pihak penyelenggara pemilu seperti KPU. Namun pada sisi yang lain, dalam era demokrasi langsung seperti saat ini elit juga tetap menjadikan dukungan rakyat sebagai panduan dalam mengambil sikap.
Disinilah dibutuhkan lembaga survey politik yang melakukan pemetaan sikap pemilih menyangkut siapa kandidat dan pasangan calon yang mendapatkan dukungan luas oleh rakyat. Memiliki kemungkinan menjadi pemenang dengan popularitas dan elektabilitas yang cukup. Serta tentu saja memiliki basis konstituen yang jelas. Pertimbangan-pertimbangan riset politik inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh banyak elit politik yang menjadi penentu keputusan politik dalam menentukan dukungan politik. Selain karena faktor kesiapan pembiayaan dari pasangan kandidat itu sendiri.
Pilkada Makassar
Ketika berfungsi secara efektif, partai politik harusnya tidak sekedar sebagai kenderaan politik semata. Menjadi perahu bagi para kandidat untuk berlayar di arena politik. Harusnya partai mampu menjadi wadah aspirasi rakyat, kaderisasi politik, termasuk penyaluran kepentingan politik sebagai wujud ‘kebaikan-kebaikan yang luas’.
Namun dari banyak kasus, selama ini partai justru kalah oleh elit yang mengendalikannya. Instusionalisasi partai sebagai keputusan kolektif kalah bersaing dengan sejumlah elit yang memiliki kuasa memutuskan. Suara partai kemudian berubah menjadi suara elit partai. Hal ini terjadi, karena pada dasarnya proses institusionalisasi politik oleh parpol juga belum berjalan maksimal. Bahkan Partai banyak dikalahkan oleh kuasa jejaring politik.
Proses alienasi terhadap partai politik ini dibanyak kasus pemilukada semakin membesar. Telah tejadi pergesekan yang besar dari state formation (formasi negara) menuju social formation (formasi sosial). Kelompok komunitas, jejaring politik bahkan konsultan politik semakin meminimalisir peran partai politik.
Dalam kasus pemiluka kota Makassar bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa pertarungan sebenarnya bukanlah antara Partai Politik atau Kandidat, pertarungan ini semakin mengarah pada kontestasi dua orang ‘The Big Man’ (orang besar). Sehingga sumber daya jejaring politik yang dimiliki oleh dua orang ‘The Big Man’ tersebut, mengkonsolidasikan diri pada figur-figur yang diarahkan oleh dua orang ‘The Big Man’ tersebut.
Pemilih BingungDengan segala anomi sosial yang terjadi dalam masa jelang pilkada kota Makassar. Pasca puluhan wajah di baligho yang ditebar yang mulai berguguran, seperti pula para calon. Ada sebuah fenomena politik yang cukup menarik. Hasil survey yang dilakukan IDEC (Indonesian Development Engeneering Consultant) pada pertengahan April 2013 telah menunjukan ambiguitas tersebut yakni 62,34 % pemilih tidak tau kapan pilkada digelar?
Lantas siapakah yang bertarung dalam Pilkada kota Makassar. Jawabanya elit dan rakyat yang sedikit. Belum lagi dari data KPU kota Makassar pada pemilihan gubernur yang lalu angka golput kota Makassar hampir mencapai 40%. Jika sudah seperti ini, lantas pemimpin seperti apa yang akan dilahirkan? Jawabannya sederhana, pemimpin yang dilahirkan oleh elit politik, didukung oleh parpol dan rakyat yang minoritas.
Maka jangan berharap pilkada Makassar kali ini akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang luas, mungkin pesta demokrasi warga Makassar hanya akan berakhir pada baligho, nafsu kekuasaan, para follower buta yang kehilangan arah, termasuk pula para konsultan politik yang sedang beradu ilmu.