Sudah menjadi santapan berita jika pendidikan di negeri ini masih karut-marut seperti halnya pelaksanaan UN SMA beberapa waktu lalu. Kelulusan masih berkutat pada deretan angka yang tertera di atas kertas. Siswa selalu dinilai berdasarkan hasil ujiannya. Hal ini berlanjut hingga melamar kerja. Ketika menyodorkan surat lamaran kerja, si pelamar kerja ditanyakan ijazahnya bukan keahliannya.
Siswa dihadapkan pada banyaknya mata pelajaran yang tidak semua disukainya tetapi diharuskan mencapai nilai standar untuk lulus. Meski pada tingkat perguruan tinggi sudah lebih spesifik pada jurusan tertentu namun masih saja banyak mata kuliah yang sebenarnya tidak relevan. Parahnya siswa berprestasi masih selalu disandingkan dengan nilai seperti nilai rapor atau IPK. Nilai rapor atau IPK kemudian dijadikan indikator ketika hendak mendaftar atau melamar kerja pada berbagai institusi. Tak heran siswa atau mahasiswa berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi dengan cara apapun.
Salah satu bentuk kecurangan dan seolah telah menjadi budaya akademis adalah mencontek.Menurut Purwadarminta dalam Gicara mengartikan mencontek (atau juga sering disebut menyontek) adalah suatu kegiatan mencontoh/meniru/mengutip tulisan pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Wikipedia menambahkan cheating atau menyontek adalah suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan.
Berbagai bentuk mencontek dalam konteks saat ujian berlangsung cukup beraneka ragam. Mulai dari paling klasik hingga menggunakan teknologi mutakhir. Cara klasik seperti mencatat materi pada kertas yang ditulis sedemikian kecil lalu dilipat dan jika dihamparkan bisa mencapai lebih dari 30 sentimeter. Cara lain adalah melirik pekerjaan teman, mencatat pada apapun termasuk anggota tubuh, mendapatkan jawaban dari luar, meminta orang lain mengerjakannya dan cara-cara klasik lainnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, cara-cara mencontek juga mengalami perkembangan meski cara-cara klasik masih tetap eksis. Gadget-gadget seperti hp dan sekarang ada ipad dengan ukuran layar lebih lebar memungkinkan siswa memanfaatkannya. Materi terutama dalam bentuk softfile dipindahkan ke ipad dan tak perlu belajar hingga semalaman suntuk. Cara ini paling sering dilakukan oleh siswa dan terutama mahasiswa yang tidak dilarang menggunakan hp atau gadget semacamnya dalam kelas.
Sebagai contoh, kecurangan dengan fitur teknologi canggih terjadi saat ujian saringan masuk (USM) STAN tahun 2010, peserta USM memakai kaos dalam berwarna putih yang memiliki tempat khusus untuk menyimpan alat elektronik berupa : HP yang sudah dihilangkan keypad nya dan alat pendengar khusus di bahu sebelah kanan. Canggih bukan main!
Untuk beberapa alasan, beberapa praktik mencontek mungkin masih dapat ditolerir . Namun jika fenomena tersebut terus menjadi kebiasaan akan membentuk karakter pencontek. Karakter ini dapat menjadi ancaman bagi perkembangan kualitas pendidikan di negeri ini.
Karakter mencontek dapat merusak kreativitas berpikir. Siswa hanya akan memindai kata-kata dari yang diconteknya. Siswa tidak mampu mengolah kata dengan pikirannya sendiri. Disamping itu karakter mencontek dapat menyebabkan kemalasan akut. Siswa mengambil jalan pintas dengan membluetooth atau mengambil foto materi. Bahkan ada yang lebih ekstrim dengan terang-terangan membuka buku paket ketika sementara ujian. Tak perlu belajar dan nilai akan tetap tinggi adalah kepercayaan bagi penganut prinsip ini
Psikologis
Pencontek yang tetap mendapatkan nilai bagus secara langsung mempengaruhi mental belajar kawan-kawan lainnya. Beberapa di antara mereka belajar susah payah namun mereka mendapat nilai lebih rendah dibandingkan pencontek. Semangat belajar mereka akan down. Ada kecemburuan yang rasional dalam kasus ini. Tentu tidaklah adil siswa yang ogah-ogahan belajar mendapat nilai tinggi daripada mereka yang rajin belajar.
Pengawas
Entah pengawas dari luar atau dari pengajar mata pelajaran atau mata kuliah sendiri adalah penentu banyak tidaknya terjadi kecurangan mencontek dalam ujian. Tidak sedikit pengawas dari luar yang hanya duduk dan sibuk sendiri saat ujian berlangsung, apapun jenis ujiannya. Tak sedikit pula pengawas bersikap apatis dengan anggapan yang terpenting honor mereka dibayarkan. Bahkan tak jarang sering terjadi asosiasi balas budi. Kalau bukan karena juga mencontek mereka juga tidak akan mendaapt nilai bagus dan kemudian terangkat menjadi pengawas seperti sekarang.
Bukan Hasil
Ketidakadilan dalam menentukan nilai menjadi salah satu penyebab suburnya praktik mencontek. Masih banyak guru atau dosen yang memberi nilai berdasarkan hasil ujian saat mid atau final semata bukan pada proses pembelajaran. Keterlibatan dan kemampuan siswa yang sebenarnya akan lebih terlihat dalam proses pembelajaran. Memang soal ujian dapat menjadi bahan evaluasi namun dalam penentuan nilai harus mempertimbangkan siswa dalam kesehariannya. Seorang siswa bisa saja mendapat nilai tinggi pada penilaian akhir. Padahal siswa tersebut jarang hadir dan tidak aktif dalam proses pembelajaran. Penilaian harus berbasis proses bukan hasil.
Pendidikan Karakter
Mencontek identik dengan ketidakjujuran demi nilai yang tidak layak menjadi haknya. Ketidakjujuran ini lambat laun akan menjadi karakter. Dalam prakteknya ketidakjujuran ini dapat menjadi korupsi yang merugikan negara. Dekadensi karakter menjadi salah satu alasan praktek korupsi masih meraja lela.
Pendidikan karakter dengan menanamkan nilai-nilai moral perlu dilakukan. Konsep kurikulum pendidikan saat ini menekankan aspek karakter. Bobroknya moral generasi muda saat ini memang sudah semestinya menjadi perhatian lebih bagi para pelaku pendidikan daripada hanya berorientasi nilai di atas kertas belaka. Seperti halnya, pendidikan Australia. Orang tua mereka akan lebih khwatir jika anaknya berbohong daripada anaknya mendapat nilai rendah. Mereka menanamkan nilai kejujuran sejak dini.
Dalam implementasi pendidikan karakter semua elemen harus saling bersinergi dan kontiniu. Pembentukan karakter bukan hanya dilakukan siswa/mahasiswa saja tetapi semua yang terlibat dalam lingkup pendidikan. Mulai dari satpam, staf hingga kepala sekolah atau rektor. Mereka harus member contoh perilaku yang baik. Jika karakter baik, maka dengan sendirinya siswa akan bersikap jujur . Dengan demikian budaya mencontek dapat dikikis sedikit demi sedikit.(
Siswa dihadapkan pada banyaknya mata pelajaran yang tidak semua disukainya tetapi diharuskan mencapai nilai standar untuk lulus. Meski pada tingkat perguruan tinggi sudah lebih spesifik pada jurusan tertentu namun masih saja banyak mata kuliah yang sebenarnya tidak relevan. Parahnya siswa berprestasi masih selalu disandingkan dengan nilai seperti nilai rapor atau IPK. Nilai rapor atau IPK kemudian dijadikan indikator ketika hendak mendaftar atau melamar kerja pada berbagai institusi. Tak heran siswa atau mahasiswa berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi dengan cara apapun.
Salah satu bentuk kecurangan dan seolah telah menjadi budaya akademis adalah mencontek.Menurut Purwadarminta dalam Gicara mengartikan mencontek (atau juga sering disebut menyontek) adalah suatu kegiatan mencontoh/meniru/mengutip tulisan pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Wikipedia menambahkan cheating atau menyontek adalah suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan.
Berbagai bentuk mencontek dalam konteks saat ujian berlangsung cukup beraneka ragam. Mulai dari paling klasik hingga menggunakan teknologi mutakhir. Cara klasik seperti mencatat materi pada kertas yang ditulis sedemikian kecil lalu dilipat dan jika dihamparkan bisa mencapai lebih dari 30 sentimeter. Cara lain adalah melirik pekerjaan teman, mencatat pada apapun termasuk anggota tubuh, mendapatkan jawaban dari luar, meminta orang lain mengerjakannya dan cara-cara klasik lainnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, cara-cara mencontek juga mengalami perkembangan meski cara-cara klasik masih tetap eksis. Gadget-gadget seperti hp dan sekarang ada ipad dengan ukuran layar lebih lebar memungkinkan siswa memanfaatkannya. Materi terutama dalam bentuk softfile dipindahkan ke ipad dan tak perlu belajar hingga semalaman suntuk. Cara ini paling sering dilakukan oleh siswa dan terutama mahasiswa yang tidak dilarang menggunakan hp atau gadget semacamnya dalam kelas.
Sebagai contoh, kecurangan dengan fitur teknologi canggih terjadi saat ujian saringan masuk (USM) STAN tahun 2010, peserta USM memakai kaos dalam berwarna putih yang memiliki tempat khusus untuk menyimpan alat elektronik berupa : HP yang sudah dihilangkan keypad nya dan alat pendengar khusus di bahu sebelah kanan. Canggih bukan main!
Untuk beberapa alasan, beberapa praktik mencontek mungkin masih dapat ditolerir . Namun jika fenomena tersebut terus menjadi kebiasaan akan membentuk karakter pencontek. Karakter ini dapat menjadi ancaman bagi perkembangan kualitas pendidikan di negeri ini.
Karakter mencontek dapat merusak kreativitas berpikir. Siswa hanya akan memindai kata-kata dari yang diconteknya. Siswa tidak mampu mengolah kata dengan pikirannya sendiri. Disamping itu karakter mencontek dapat menyebabkan kemalasan akut. Siswa mengambil jalan pintas dengan membluetooth atau mengambil foto materi. Bahkan ada yang lebih ekstrim dengan terang-terangan membuka buku paket ketika sementara ujian. Tak perlu belajar dan nilai akan tetap tinggi adalah kepercayaan bagi penganut prinsip ini
Psikologis
Pencontek yang tetap mendapatkan nilai bagus secara langsung mempengaruhi mental belajar kawan-kawan lainnya. Beberapa di antara mereka belajar susah payah namun mereka mendapat nilai lebih rendah dibandingkan pencontek. Semangat belajar mereka akan down. Ada kecemburuan yang rasional dalam kasus ini. Tentu tidaklah adil siswa yang ogah-ogahan belajar mendapat nilai tinggi daripada mereka yang rajin belajar.
Pengawas
Entah pengawas dari luar atau dari pengajar mata pelajaran atau mata kuliah sendiri adalah penentu banyak tidaknya terjadi kecurangan mencontek dalam ujian. Tidak sedikit pengawas dari luar yang hanya duduk dan sibuk sendiri saat ujian berlangsung, apapun jenis ujiannya. Tak sedikit pula pengawas bersikap apatis dengan anggapan yang terpenting honor mereka dibayarkan. Bahkan tak jarang sering terjadi asosiasi balas budi. Kalau bukan karena juga mencontek mereka juga tidak akan mendaapt nilai bagus dan kemudian terangkat menjadi pengawas seperti sekarang.
Bukan Hasil
Ketidakadilan dalam menentukan nilai menjadi salah satu penyebab suburnya praktik mencontek. Masih banyak guru atau dosen yang memberi nilai berdasarkan hasil ujian saat mid atau final semata bukan pada proses pembelajaran. Keterlibatan dan kemampuan siswa yang sebenarnya akan lebih terlihat dalam proses pembelajaran. Memang soal ujian dapat menjadi bahan evaluasi namun dalam penentuan nilai harus mempertimbangkan siswa dalam kesehariannya. Seorang siswa bisa saja mendapat nilai tinggi pada penilaian akhir. Padahal siswa tersebut jarang hadir dan tidak aktif dalam proses pembelajaran. Penilaian harus berbasis proses bukan hasil.
Pendidikan Karakter
Mencontek identik dengan ketidakjujuran demi nilai yang tidak layak menjadi haknya. Ketidakjujuran ini lambat laun akan menjadi karakter. Dalam prakteknya ketidakjujuran ini dapat menjadi korupsi yang merugikan negara. Dekadensi karakter menjadi salah satu alasan praktek korupsi masih meraja lela.
Pendidikan karakter dengan menanamkan nilai-nilai moral perlu dilakukan. Konsep kurikulum pendidikan saat ini menekankan aspek karakter. Bobroknya moral generasi muda saat ini memang sudah semestinya menjadi perhatian lebih bagi para pelaku pendidikan daripada hanya berorientasi nilai di atas kertas belaka. Seperti halnya, pendidikan Australia. Orang tua mereka akan lebih khwatir jika anaknya berbohong daripada anaknya mendapat nilai rendah. Mereka menanamkan nilai kejujuran sejak dini.
Dalam implementasi pendidikan karakter semua elemen harus saling bersinergi dan kontiniu. Pembentukan karakter bukan hanya dilakukan siswa/mahasiswa saja tetapi semua yang terlibat dalam lingkup pendidikan. Mulai dari satpam, staf hingga kepala sekolah atau rektor. Mereka harus member contoh perilaku yang baik. Jika karakter baik, maka dengan sendirinya siswa akan bersikap jujur . Dengan demikian budaya mencontek dapat dikikis sedikit demi sedikit.(