Kerusuhan massa di Kota palopo, yang ditandai dengan pembakaran beberapa aset-aset pemerintahan, seperti kantor walikota, kantor KPU, kantor panwaslu, Kantor camat Wara Timur, kantor dinas perhubungan maupun kantor Golkar dan Kantor Palopo Pos, sontak, membuat kota Palopo, menjadi pusat pembicaraan dan perhatian, tidak hanya skala lokal, tetapi juga menjadi isu nasional. Presiden Yudhoyono, bahkan harus melakukan rapat kabinet terbatas untuk membahas kerusuhan tersebut (Kompas,1 April 2013)
Unsur politis, sangat kuat menjadi penyebab amuk massa di kota Palopo. Sebab, peristiwa tersebut terjadi tepat pasca rapat pleno KPU Kota Palopo yang menetapkan pasangan Judas Amir-Ahmad Syaifuddin menjadi pemenang pemilukada Kota Palopo periode 2013-2018. Ketidakpuasan massa pasangan yang kalah dalam penghitungan suara putaran kedua, membuat mereka kalap dan melampiaskan ke sasaran yang dituding berafiliasi dengan kubu pemenang.
Jika dicermati, konstelasi politik di kota Palopo, sudah sangat menguat sejak putaran pertama, tercatat sembilan pasangan balon walikota dan wakil walikota mengajukan diri dalam pemilihan kepala daerah (pemilukada) Palopo. Dari sembilan pasangan tersebut, putaran kedua meloloskan pasangan Judas Amir- Ahmad Syaifuddin (JA) , dan pasangan Haidir Basir-Tamrin. Sebagai dua peraih suara terbanyak. Konstelasi politik mulai semakin panas ketika isu penggelembungan suara kerap santer terdengar.di tengah masyarakat, namun tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa proses politik akan berakhir tragis menjadi amuk massa anarkis seperti ini.
Kerusuhan Palopo yang terjadi memang sangat mengejutkan dan menyesakkan, mungkin inilah anti klimaks kepemimpinan walikota Palopo, H.A. Tenriadjeng. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, dibawah kepemimpinannya berhasil mengubah wajah kota palopo yang sebelumnya kerap dengan aksi tawuran, premanisme, pemalakan, dan kekerasan lainnya menjadi kota yang aman, tertib dan damai. Kejadian kekerasan massa di ranah publik nyaris tidak muncul ke permukaan. Dengan kondisi tersebut, Kota Palopo tumbuh sebagai kota niaga yang berkembang. Selain peningkatan infrastruktur, pusat perbelanjaan modern (Mal) dan pusat perdagangan tradisional mulai banyak muncul. selaras dengan itu pertumbuhan ekonomi Kota Palopo dari tahun 2006 hingga 2010 yang menunjukkan peningkatan dari 6.32 persen menjadi 7.29 persen (Sulsel Dalam Angka, 2012). Hal ini tidak terlepas dari visi Kota Palopo sebagai salah satu kota pelayanan jasa terkemuka di Kawasan Timur Indonesia. Sebagai kota jasa, tentu keamanan sebagai prasyarat utama.
Dari peristiwa kekerasan dan amuk massa kemarin, pertumbuhan kota yang progresif seperti itu, tentu akan terancam keberlangsungannya. Warga kota Palopo seakan kembali diingatkan akan wajah kelam kekerasan yang dulu pernah hadir. Dalam konteks tersebut, kekerasan seakan menunjukkan sifat latennya. Hal ini sekaligus mengafirmasi bahwa dalam tatananan sosial apapun, kekerasan dapat tumbuh, menjalar dan meledak sewaktu-waktu. Pemicunya pun beragam, namun kondisi ini akan menjadi kuat dalam tataran politik. Sebab kesadaran berpolitik dan berdemokrasi selama ini menjadi monopoli kaum elite, itupun masih bersifat parsial, sedangkan distribusinya pada tataran akar rumput,(grass root) nol besar. Politik akar rumput, tidak lebih soal alat mencapai kuasa. Soal menang –kalah menjadi harga mutlak. Dari perspektif ini, prasangka terhadap yang lain tumbuh subur. Kita lihat, kedua kubu yang bersitegang menunjukkan proyeksi atau sikap saling menyalahkan sebagai mekanisme pertahanan diri. Mulai dari isu penggelembungan suara hingga keraguan independensi KPU Palopo. Dalam konteks ini, Politik sebagai ruang kompetisi yang lumrah dan wajar, berkembang menjadi dasar kebencian dan dasar emosi. Dengan landasan prasangka, Masyarakat membagi dunia sosial mereka menjadi “kelompok kita” (in group) dan “ kelompok mereka” (out group). Keadaan ini tentu saja, sangat mengancam keberlangsungan demokratisasi di negeri ini. Sebab, alih-alih memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, politik yang dilandasi dengan prasangka justru hanya akan dinikmati oleh komunitas yang sempit, yang akan memicu segregasi, sektarianisme dan komunalisme di dalam masyarakat . Jika dibiarkan berlarut-larut, Kondisi ini akan memicu terjadinya instabilitas politik baik di tingkat elit hingga akar rumput dalam bentuk “ hate crimes”, sebuah istilah O’ brien (1987), menggambarkan tindak kejahatan yang dimotivasi oleh bias terhadap anggota kelompok sosial tertentu. Kenyataan ini terlihat dari begitu mudahnya eskalasi kompetisi di tingkat elit, dengan mudah merembes menjadi pertarungan kekerasan di tingkat akar rumput, dengan melibatkan massa pendukung sebagaimana yang terjadi pada amuk massa di Palopo baru-baru ini.
Langkah penting harus segera diambil. Penegakan hukum terhadap pelaku tidak saja cukup. rekonsiliasi pasca kerusuhan patut pula diambil. Sebab, tanpa adanya dukungan dari pihak lain, pasangan terpilih akan sulit menjalankan program-programnya dengan baik. Jangankan berharap terciptanya kesejahteraan sosial, dalam tataran sosialisasi saja, program yang ditawarkan akan mudah mengalami resistensi yang kuat dalam barisan “sakit hati” dalam masyarakat. Kita harus ingat, bahwa presentase kemenangan pemilukada Palopo sangat tipis, sehingga aspek ini juga harus diperhitungkan.
Sementara untuk menyelesaikan kekerasan dalam masyarakat yang direpresentasikan massa, seperti halnya mata rantai yang saling berkelindan, perlu diurai dengan menghilangkan prasangka sebagai landasan perilaku kekerasan itu sendiri. Untuk itulah setiap massa berbasis apapun baik primordialisme suku, bangsa, agama, dan kelompok sosial harus mengesampingkan klaim kebenaran tunggal (universal truth), sebab setiap entitas memiliki rasionalitas sendiri dalam merefleksikan pandangan-pandangannya. Dalam konteks politik, revitalisasi fungsi parpol sebagai alat peyadaran politik atas keberagaman yang mengandaikan lahirnya sikap toleransi, dialog, kerja sama di antara beragam kelompok dalam masyarakat perlu segera dilakukan.
Dengan demikian tercapai yang dicita-citakan Lyotard,dalam the postmodern condition (1984) “ perlu adanya ruang dialog antara narasi besar dan kecil”. Gambaran dunia tidak serta merta menjadi monopoli narasi besar dan harus melibatkan narasi kecil untuk turut andil. Dari sini, pemahaman keberagaman dan perbedaan pandangan politik seyogyanya dinilai sebagai kekuatan social (social capital) apabila disalurkan melalui politik yang jujur, bersih dan adil. Pandangan konflik realistik bahwa kompetisi sebagai sumber konflik dan perlu dibentur-benturkan,karena menentukan superioritas kelompok yang satu atas yang lain harus segera disingkirkan, sebab kemenangan politik adalah kemenangan rakyat. Sekali lagi, rusuh pemilukada Palopo, mengajarkan kita satu hal, niat untuk mensejahterakan rakyat, tak lagi realistis.
Unsur politis, sangat kuat menjadi penyebab amuk massa di kota Palopo. Sebab, peristiwa tersebut terjadi tepat pasca rapat pleno KPU Kota Palopo yang menetapkan pasangan Judas Amir-Ahmad Syaifuddin menjadi pemenang pemilukada Kota Palopo periode 2013-2018. Ketidakpuasan massa pasangan yang kalah dalam penghitungan suara putaran kedua, membuat mereka kalap dan melampiaskan ke sasaran yang dituding berafiliasi dengan kubu pemenang.
Jika dicermati, konstelasi politik di kota Palopo, sudah sangat menguat sejak putaran pertama, tercatat sembilan pasangan balon walikota dan wakil walikota mengajukan diri dalam pemilihan kepala daerah (pemilukada) Palopo. Dari sembilan pasangan tersebut, putaran kedua meloloskan pasangan Judas Amir- Ahmad Syaifuddin (JA) , dan pasangan Haidir Basir-Tamrin. Sebagai dua peraih suara terbanyak. Konstelasi politik mulai semakin panas ketika isu penggelembungan suara kerap santer terdengar.di tengah masyarakat, namun tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa proses politik akan berakhir tragis menjadi amuk massa anarkis seperti ini.
Kerusuhan Palopo yang terjadi memang sangat mengejutkan dan menyesakkan, mungkin inilah anti klimaks kepemimpinan walikota Palopo, H.A. Tenriadjeng. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, dibawah kepemimpinannya berhasil mengubah wajah kota palopo yang sebelumnya kerap dengan aksi tawuran, premanisme, pemalakan, dan kekerasan lainnya menjadi kota yang aman, tertib dan damai. Kejadian kekerasan massa di ranah publik nyaris tidak muncul ke permukaan. Dengan kondisi tersebut, Kota Palopo tumbuh sebagai kota niaga yang berkembang. Selain peningkatan infrastruktur, pusat perbelanjaan modern (Mal) dan pusat perdagangan tradisional mulai banyak muncul. selaras dengan itu pertumbuhan ekonomi Kota Palopo dari tahun 2006 hingga 2010 yang menunjukkan peningkatan dari 6.32 persen menjadi 7.29 persen (Sulsel Dalam Angka, 2012). Hal ini tidak terlepas dari visi Kota Palopo sebagai salah satu kota pelayanan jasa terkemuka di Kawasan Timur Indonesia. Sebagai kota jasa, tentu keamanan sebagai prasyarat utama.
Dari peristiwa kekerasan dan amuk massa kemarin, pertumbuhan kota yang progresif seperti itu, tentu akan terancam keberlangsungannya. Warga kota Palopo seakan kembali diingatkan akan wajah kelam kekerasan yang dulu pernah hadir. Dalam konteks tersebut, kekerasan seakan menunjukkan sifat latennya. Hal ini sekaligus mengafirmasi bahwa dalam tatananan sosial apapun, kekerasan dapat tumbuh, menjalar dan meledak sewaktu-waktu. Pemicunya pun beragam, namun kondisi ini akan menjadi kuat dalam tataran politik. Sebab kesadaran berpolitik dan berdemokrasi selama ini menjadi monopoli kaum elite, itupun masih bersifat parsial, sedangkan distribusinya pada tataran akar rumput,(grass root) nol besar. Politik akar rumput, tidak lebih soal alat mencapai kuasa. Soal menang –kalah menjadi harga mutlak. Dari perspektif ini, prasangka terhadap yang lain tumbuh subur. Kita lihat, kedua kubu yang bersitegang menunjukkan proyeksi atau sikap saling menyalahkan sebagai mekanisme pertahanan diri. Mulai dari isu penggelembungan suara hingga keraguan independensi KPU Palopo. Dalam konteks ini, Politik sebagai ruang kompetisi yang lumrah dan wajar, berkembang menjadi dasar kebencian dan dasar emosi. Dengan landasan prasangka, Masyarakat membagi dunia sosial mereka menjadi “kelompok kita” (in group) dan “ kelompok mereka” (out group). Keadaan ini tentu saja, sangat mengancam keberlangsungan demokratisasi di negeri ini. Sebab, alih-alih memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, politik yang dilandasi dengan prasangka justru hanya akan dinikmati oleh komunitas yang sempit, yang akan memicu segregasi, sektarianisme dan komunalisme di dalam masyarakat . Jika dibiarkan berlarut-larut, Kondisi ini akan memicu terjadinya instabilitas politik baik di tingkat elit hingga akar rumput dalam bentuk “ hate crimes”, sebuah istilah O’ brien (1987), menggambarkan tindak kejahatan yang dimotivasi oleh bias terhadap anggota kelompok sosial tertentu. Kenyataan ini terlihat dari begitu mudahnya eskalasi kompetisi di tingkat elit, dengan mudah merembes menjadi pertarungan kekerasan di tingkat akar rumput, dengan melibatkan massa pendukung sebagaimana yang terjadi pada amuk massa di Palopo baru-baru ini.
Langkah penting harus segera diambil. Penegakan hukum terhadap pelaku tidak saja cukup. rekonsiliasi pasca kerusuhan patut pula diambil. Sebab, tanpa adanya dukungan dari pihak lain, pasangan terpilih akan sulit menjalankan program-programnya dengan baik. Jangankan berharap terciptanya kesejahteraan sosial, dalam tataran sosialisasi saja, program yang ditawarkan akan mudah mengalami resistensi yang kuat dalam barisan “sakit hati” dalam masyarakat. Kita harus ingat, bahwa presentase kemenangan pemilukada Palopo sangat tipis, sehingga aspek ini juga harus diperhitungkan.
Sementara untuk menyelesaikan kekerasan dalam masyarakat yang direpresentasikan massa, seperti halnya mata rantai yang saling berkelindan, perlu diurai dengan menghilangkan prasangka sebagai landasan perilaku kekerasan itu sendiri. Untuk itulah setiap massa berbasis apapun baik primordialisme suku, bangsa, agama, dan kelompok sosial harus mengesampingkan klaim kebenaran tunggal (universal truth), sebab setiap entitas memiliki rasionalitas sendiri dalam merefleksikan pandangan-pandangannya. Dalam konteks politik, revitalisasi fungsi parpol sebagai alat peyadaran politik atas keberagaman yang mengandaikan lahirnya sikap toleransi, dialog, kerja sama di antara beragam kelompok dalam masyarakat perlu segera dilakukan.
Dengan demikian tercapai yang dicita-citakan Lyotard,dalam the postmodern condition (1984) “ perlu adanya ruang dialog antara narasi besar dan kecil”. Gambaran dunia tidak serta merta menjadi monopoli narasi besar dan harus melibatkan narasi kecil untuk turut andil. Dari sini, pemahaman keberagaman dan perbedaan pandangan politik seyogyanya dinilai sebagai kekuatan social (social capital) apabila disalurkan melalui politik yang jujur, bersih dan adil. Pandangan konflik realistik bahwa kompetisi sebagai sumber konflik dan perlu dibentur-benturkan,karena menentukan superioritas kelompok yang satu atas yang lain harus segera disingkirkan, sebab kemenangan politik adalah kemenangan rakyat. Sekali lagi, rusuh pemilukada Palopo, mengajarkan kita satu hal, niat untuk mensejahterakan rakyat, tak lagi realistis.