RENCANA Pemprov DKI Jakarta merelokasi warga Waduk Pluit, berujung pada polemik berkepanjangan. Bahkan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beberapa kali melontarkan kata-kata emosional dan berujung pada wacana penghapusan uang kerohiman pada warga yang akan di gusur.
Gubernur DKI Jokowi pun mengamini pernyataan wakilnya. Dia menegaskan, ketimbang dibagi-bagikan, lebih baik dana kerohiman dipakai untuk membangun rumah susun. Lantas bagaimana tanggapan para wakil rakyat di Kebon Sirih?
Kepada Okezone di ruang kerjanya, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Igo Ilham mengutarakan pendapatnya atas rencana pencabutan uang kerohiman untuk korban penggusuran.
Terkait hal itu, Igo menegaskan bahwa Jokowi, memiliki hak untuk mengeluarkan kebijakan. Dirinya pun berpendapat, semua orang berhak mengutarakan wacana apapun. Namun belum tentu rencana ini bisa diwujudkan.
Jika wacana penghapusan uang kerohiman itu benar dilakukan, apa pendapat Anda selaku anggota dewan?
Kalau ada isu tentang mau cabut dana kerohiman, apa pertimbangannya? Bukankah itu sisi kemanusiaannya juga? Terus mana kampanyenya tentang isu humanis yang memenangkan di Jakarta kalau itu dicabut?
Permasalahan legalitas hukumnya sendiri bagaimana?
Masalah legal hukum ya kita belum diskusikan, tapi mana sisi humanisnya yang di elu-elukan, bisa menangani pedagang kaki lima (PKL) tanpa konflik? Pastikan itu kalau memang benar adanya, kan pasti ada pendekatan humanis, di antaranya memberi dana kerohiman atau apapun namanya. Itu yang masih ditunggu dari masyarakat. Sebenarnya, kalau dana kerohiman sih salah satu aspek saja.
Sebenarnya, penghapusan dana kerohiman apakah butuh persetujuan DPRD?
Kalau DPRD khusus untuk Perda, sementara Gubernur punya kewenangan untuk menerbitkan Pergub. Kemudian di bawah itu ada SK Kepala Dinas. Ini kasusnya seperti apa?
Menurut Anda, proses relokasi warga di bantaran Waduk Pluit sebaiknya seperti apa?
Pertimbangan utamanya tentu pertimbangan kemanusiaan, karena kan di situ ada orang-orang yang dalam tanda kutip kepalang menetap di situ. Sekarang, apa yang dimaksud pertimbangan kemanusiaan? Ya tentu cara-caranya tidak boleh seperti penjajah terhadap bangsa sendiri. Bukan cara pemukulan dan sebagainya. Cuma, memang perlu cara tegas tetapi solutif. Karena kalau mereka harus dipindahkan dari situ trus ke mana? Langkah itu harus pasti. Kalau masyarakat di situ tidak setuju itu, ya cara lain.
Karena berdasar pengalaman Gubernur saat memimpin di Solo, katanya dengan pendekatan humanis, dia berhasil memindahkan PKL dan sebagainya ke tempat yang dia inginkan sesuai dengan rencana Kota Solo waktu itu tanpa ada konflik sedikit pun, dan waktu itu dia menjanjikan pelaksanaan seperti itu sebagai janji kampanyenya. Sekarang coba itu dilakukan kembali.
Uang kerohiman apa masih perlu dilakukan dalam langkah tersebut?
Kalau itu relatif, bahwa namanya operasional di sana perlu dana, selama itu ada dalam rencana anggaran yang disampaikan Gubernur dalam APBD itu kan bisa.
Awal mula adanya uang kerohiman sendiri itu sejak kapan?
Itu mesti baca sejarahnya, enggak tahu itu kapan. Tapi ini sisi humanis tadi, uang mungkin hanya salah satu dan mungkin orang tidak serta merta menerima dengan uang. Kan bisa saja saat di kasih uang, orang justru merasa terhina, misalnya.
Mungkin di sini Gubernur melakukan apa yang sudah pernah dilakukan, di Solo dia berhasil. Coba, kita orang Jakarta ingin melihat seluruh cerita-cerita dia dimasa lalu yang katanya berhasil. Berdasarkan kejadian beberapa kali sih, kayanya sih belum kelihatan bahwa dia berhasil melakukan pendekatan humanis untuk menyelesaikan persoalan pemukiman yang ada di Jakarta.
Melihat karakter Jokowi-Ahok dalam memimpin Jakarta, bagaimana penilaian Anda?
Memang sih saya melihatnya dampak dari sebuah model kepemimpinan yang baru, dan karakter dari Gubernur ini, karakter yang ingin menikmati pujian-pujian dari masyarakat. Jadi berpikirnya tidak strategis, tapi populis.
Lantas, menurut Anda apa yang di butuhkan masyarakat Jakarta?
Yang ditunggu masyarakat bukan wacana, tapi kinerja. Mengetahui permasalahan yang terjadi di Jakarta dan kemudian timbul gagasan yang dimunculkan di Perda dan Pergub. Membuat rumah-rumah susun untuk mereka, itu kan konkrit dan ada di Perda. Kemudian, menggerakkan mereka, memindahkan mereka ke rumah susun itu kan kinerjanya.
Yang ditunggu masyarakat bukan kayak pengamat, lempar isu, merespons isu segala macam. Mungkin masih baru, masih belum form benar untuk kenentukan kebijakan terbaik, jadi masih ya dalam tanda kutip masih belajar, walapun belajar itu kewajiban semua orang, cuma harus mengubah karakter seperti ini, jangan melempar-lempar isu.