Salah satu pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan adalah tidak diberikannya cuti haid bagi yang mengalami nyeri tidak tertahankan. Di mata dokter, izin untuk tidak masuk dalam kondisi seperti itu seharusnya tidak dipersulit.
"Saya sih nggak setuju kalau harus dilihat, sampai ada perusahaan yang meng-hire bidan atau dokter yang tugasnya hanya melihat beneran datang bulan atau enggak. Etikanya, itu nggak perlu. Tanpa surat dokter pun, kan memang sudah menjadi hak, 2 hari dalam sebulan untuk cuti," kata Dr Astrid Widajati Sulistomo, SpOk, spesialis okupasi atau kesehatan kerja dari Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, seperti ditulis Rabu (1/5/2013).
Menurut Dr Astrid, pemberian cuti haid cukup dengan melihat catatan absensi bulanan saja sebab dari situ akan bisa dilihat siklusnya. Selama dalam satu bulan tidak bolos dengan alasan nyeri haid lebih dari 2 hari seperti yang diatur dalam Undang-Undang, maka seharusnya tidak perlu menjadi masalah.
Pada dasarnya menurut Dr Astrid, cuti haid diberikan oleh pemerintah untuk memberi kesempatan istirahat bagi buruh perempuan yang memang pada haid merasakan nyeri. Jika tidak merasakan nyeri, maka perlu atau tidaknya hak tersebut dimanfaatkan akan dikembalikan pada buruh yang bersangkutan.
"Ya kalau nggak nyeri ya nggak usah cuti nggak masalah. Seperti yang kerja di kantor kan biasanya tetap kerja," sambung Dr Astrid.
Dikisahkan oleh Kasminah, seorang relawan Biro Pendampingan Buruh Lembaga Daya Dharma (BPB-LDD) hak cuti haid terkadang dimanfaatkan pula untuk mencari tambahan penghasilan. Beberapa perusahaan menyediakan insentif bagi buruh perempuan yang tidak mengambil cuti haid, sehingga ada buruh yang nekat bekerja meski merasa nyeri dengan alasan upahnya kecil dan butuh penghasilan ekstra. Ada juga memang yang melakukannya karena memang terancam tidak dibayar jika memanfaatkan cuti haid.
Terkait pemberian insentif bagi buruh perempuan yang tidak memanfaatkan cuti haid, Dr Astrid tidak menilainya sebagai pelanggaran. Tidak ada larangan bagi perusahaan untuk melakukan hal itu selama tidak ada paksaan bagi buruh yang memang mengalami nyeri haid untuk tetap masuk kerja.
Justru yang tidak diperbolehkan menurut Dr Astrid adalah memanfaatkan hak cuti untuk mencari enaknya sendiri. Misalnya mengaku sakit padahal sebenarnya masih bisa bekerja, atau tidak jujur soal siklus menstruasinya.
"Banyak juga yang menyalahgunakan, bilangnya haidnya hari Jumat biar liburnya Jumat Sabtu Minggu. Ada juga yang begitu," kata Dr Astrid.
Terkait risiko keguguran atau abortus spontaneus pada buruh yang sedang hamil seperti yang dialami beberapa buruh dampingan Kasminah, Dr Astrid menjelaskan ada beberapa hal yang bisa menjadi pemicunya. Secara fisik pemicunya bisa karena berdiri terlalu lama dan mengangkat benda berat, sedangkan secara kimia bisa berupa gas-gas anestesi pada perawat di kamar bedah atau bahan kimia lain di industri sepatu atau pabrik logam.
"Seharusnya ada dokter khusus yang kompeten untuk menilai kondisi pekerja dibandingkan dengan tuntutan pekerjaannya. Kalau memang terlalu berisiko bagi kehamilan ya harus dipindahkan, kalau tidak ya nggak masalah. Atau ada juga kehamilan yang memang berisiko, tanpa ada pajanan tetap berisiko. Itu juga harus diperhatikan," pungkas Dr Astrid.