cINTA di SAKU Celana
Judulnya emang rada ke-FTV-FTV-an, nga perlu skeptis dulu, karena “Cinta di Saku Celana” (CDSC) masih bisa dikatakan layak ditonton di layar lebar, jika film macam “Mister Bean Bohongan Ternyata Nga Pernah Kesurupan Depe di Filmnya”, saja bisa masuk, kenapa film yang “normal” nga. Bioskop kita butuh lebih banyak dijejalkan film-film lokal seperti CDSN ini, walaupun gw secara pribadi sebetulnya tidak terlalu menyukai filmnya, setidaknya film-film “normal” harus lebih banyak, supaya tidak memberikan space lagi buat film-film kacrutsebangsa KKD dan mengotori dinding-dinding bioskop, posternya ditaruh di toilet-pun sebenarnya tak layak. Duh! Mulai lagi gw ngawur kemana-mana, melirik posternya dan judul, sudah jelas apa mau si pembuat film, yakni Fajar Nugros (Queen Bee, 2009), memberikan sebuah tontonan komedi-romantis yang diharapkan bisa menghibur. Bosen ah komedi romantis, yah jangan ngomel dulu, karena CDSC tak disangka mampu menghadirkan konten yang fresh, sebuah romansa berbalut komedi yang kemudian dibungkus dengan beda, eh gw lebih memilih untuk menggunakan kata absurd, biar kerenan dikit.
Kenapa gw katakan absurd, karena CDSC yang diadaptasi dari cerita pendek karya Fajar sendiri ini, memaparkan kisah cinta dengan presentasi yang bisa dibilang “out of the box” (ciee pake bahasa Inggris lagi, biar keren) yang kemudian di-blender jadi satu dengan aksi-aksi romansa yang nga masuk di akal. Nga ada tuh hal-hal basi dan klise kaya cowok ngasih bunga ke cewek, Fajar lebih milih ngasih liat hal unik kaya cewek yang ngasih kejutan buat cowoknya yang ulang tahun di mobil tahanan (ups gw spoiler nih). Keunikan yang hanya ada di CDSC dan tidak film komedi-romantis lainnya itulah yang membuat film ini punya nilai lebih dimata gw, ditambah Fajar dengan nekat menyajikan banyak simbol yang bersembunyi manis dalam kata “C-I-N-T-A”. Asyik memang jika melihat bagaimana Fajar “bermain-main” dengan kisah cinta di film yang ditulis juga oleh Ben Sihombing (Senggol Bacok,2010) ini. Tapi ya sayang, gw hanya “dibiarkan” untuk melihat dari jauh permainan itu—dari tempat duduk paling atas, di depan gw orang pacaran dan disebelah ada cowok yang asyik naekin kakinya ke kursi depannya—tak merasa diajak ikut “main”, karena karakter-karakter yang berseliweran mulai dari Ahmad (Donny Alamsyah) sampai ibu Panti Asuhan (Vita Ramona), hanya asyik sendiri, berakting baik saja tapi gw tak merasa ada emosi dan chemistry yang “asyik” dari mereka. Gw nonton dan keluar. Lupa.
Sudah setahun, Ahmad memendam rasa kepada Bening (Joanna Alexandra), cewek cantik yang sering ia temui di dalam kereta dan stasiun. Sayang, Ahmad hanya bisa berani memandang saja tanpa punya nyali untuk mengutarakan isi hatinya. Emang sih nga semua cowok se-aktif Gifar (Dion Wiyoko), sahabat Ahmad, yang gampang banget dapetin cewek yang dia mau, dengan segala trik konyolnya, misalnya dengan pura-pura kejang-kejang di depan Masayu Anastasia. Tipe cowok kaya Ahmad ini emang susah untuk memulai hubungan, pasif, walaupun sudah diceramahin macam-macam oleh Gifar, ya tetep ujung-ujungnya hanya bisa berani merekam Bening pake kamera video. Untuk mendapatkan cinta-nya Bening, tak segampang men-cap surat-surat dengan palu, oleh karena itu Ahmad meminta bantuan seorang copet, Gubeng (Ramon Y Tungka), untuk “mencopet” cinta untuknya. Mulai-lah “keribetan” CDSC yang awalnya gw sangka hanya film komedi romantis biasa. “Cinta” ditarik-ulur dan dioper kesana-kemari dari satu karakter ke karakter lain. Sekali lagi seru melihat si Ahmad dipermainkan oleh Fajar, aksi-aksi romansa-nya “lucu” dibalik ke-absurd-an yang sempat gw bahas di paragraf awal, simbol-simbol yang terlentang di sepanjang film pun menambah nilai ke-unyuan-nya CDSC.
Seru, lucu dan absurd, disodorkan terus-menerus tanpa ada emosi yang “mengikat”, lama-kelamaan gw mencapai titik kebosanan tahap satu—mulai mengeluarkan hp dan melintasi linimasa—akhirnya berkicau “booooring”. CDSC tampak seperti sketsa yang walau dijajarkan dengan cantik tapi disusun tidak menarik. Ditambah dengan karakter-karakter yang datang dan pergi, tanpa meninggalkan jejak-peran yang gw akuin tidak penting dalam cerita, masih juga dengan emosi datar, termasuk peran Gading Marten sebagai Roy, yang menurut gw paling lemah. Beruntung, saat status “gw tidak peduli pada paruh kedua film”, CDSC masih men-servis penonton dengan humor-humor non slapstik, yang masih dengan “kesederhanaan leluconnya” mampu membuat gw tertawa kecil dan tersenyum, serta berucap “ta* banget si anu”. Semua kelucuan itu—terima kasih kepada Fajar dan Ben—membuat gw setidaknya masih ingin duduk dan menunggu nasib Ahmad selanjutnya, selain karena ada Joanna yang selalu sukses “menghibur” mata, duduk di kereta sambil asyik membaca buku. CDSC memang tampik unik diantara kegaringan film sejenis yang lebih dahulu hadir dan jutaan FTV yang hilir-mudik di televisi, tapi segala keunikan yang berusaha diliatin oleh Fajar sepertinya sia-sia saja, ketika gw tidak peduli dengan karakter-karakter yang berkeliaran. Ke-absurd-an yang memoles kisah cintanya pun tak bertahan lama dalam usahanya memikat, karena gw justru bosan dan memilih menatap layar hp. Secara teknis sih, CDSC dibungkus dengan cantik berserta pernak-pernik visual dan pengambilan gambar asyik. Ditemani juga oleh deretan sontrek ciamik, CDSC tetap adalah sebuah film komedi-romantis yang menghibur, tapi mudah dilupakan