MENGAMUK, membakar, menghancurkan, meluluhlantakkan
sepertinya sudah menjadi hal yang biasa terjadi di negeri ini. Sudah
beberapa kali media massa melansir peristiwa yang mengenaskan berisi
amukan massa.
Akhir Maret lalu, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, mencekam. Massa mengamuk dan membakar sejumlah gedung. Dari kantor bupati, kantor partai, hingga kantor media massa. Mereka tidak terima dengan hasil pemilukada.
Tak hanya warga sipil, puluhan tentara berseragam juga mengamuk di Oku, Sumatera Selatan. Mereka membakar kantor Polres, bahkan Kapolres dan beberapa anggota polisi juga menjadi korbannya. Mereka tak terima penembakan polisi terhadap rekan mereka.
Yang terbaru adalah Selasa 30 April kemarin. Massa Musi Rawas mengamuk setelah empat orang demonstran meninggal ditembak polisi Senin 29 April. Massa pun memblokir jalan lintas Sumatera dan kantor Polsek Karang Dapo pun hangus dibakar massa.
Tiga catatan di atas hanyalah sekelumit kejadian kekerasan dari kejadian-kejadian kekerasan di daerah lainnya. Yang sangat disayangkan adalah banyak sekali yang dikorbankan dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Menukil pernyataan Imam Prasodjo, kekerasan terjadi disebabkan beberapa faktor. Pertama, banyak orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis berkepanjangan. Kedua, kekerasan juga bisa dipicu atas lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakan hukum. Hal ini menciptakan pesan kepada pelaku kejahatan bahwa “boleh” melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga, saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan. Aparat yang harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak pelanggaran. Masyarakat pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat yang sama masyarakat belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari aparat keamanan sendiri untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.
Dari ketiga faktor di atas, sorotan tajam dilakukan terhadap penegak hukum. Di satu sisi tidak tegas dalam menegakkan hukum alias tebang pilih, dan kedua aparat penegak hukum tidak bisa menjadi suri tauladan kepada masyarakat. Banyak aparat penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum. Hal itu lah yang wibawa hukum di mata masyarakat sudah tidak ada harganya lagi.
Lihat saja perwira tinggi polisi, Djoko Susilo yang kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi. Belum lama ini, polisi lalu lintas Bali terjebak kamera meminta “uang damai” kepada turis di Denpasar, Bali. Walau bagaimana pun hal itu tidak bisa menjadi tolak ukur seluruh aparat kepolisian.
Bagaimana pun Indonesia bukanlah “Negeri Amuk”, amukan massa dengan alasan apapun yang menjurus kepada destruktif harusnya bisa dihindari. Aparat penegak hukum bertanggung jawab untuk mengembalikan wibawa hukum, agar tidak ada lagi sekelompok masyarakat bisa melakukan pembakaran, pengerusakan yang pada akhirnya merugikan semua orang.
Selama wibawa hukum masih dianggap rendah oleh masyarakat, selama itu juga potensi kekerasan yang dilakukan massa akan terus terjadi. Mari kembalikan wibawa hukum, agar terhindari dari kekerasan-kekerasan massa di tempat lainnya.
Akhir Maret lalu, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, mencekam. Massa mengamuk dan membakar sejumlah gedung. Dari kantor bupati, kantor partai, hingga kantor media massa. Mereka tidak terima dengan hasil pemilukada.
Tak hanya warga sipil, puluhan tentara berseragam juga mengamuk di Oku, Sumatera Selatan. Mereka membakar kantor Polres, bahkan Kapolres dan beberapa anggota polisi juga menjadi korbannya. Mereka tak terima penembakan polisi terhadap rekan mereka.
Yang terbaru adalah Selasa 30 April kemarin. Massa Musi Rawas mengamuk setelah empat orang demonstran meninggal ditembak polisi Senin 29 April. Massa pun memblokir jalan lintas Sumatera dan kantor Polsek Karang Dapo pun hangus dibakar massa.
Tiga catatan di atas hanyalah sekelumit kejadian kekerasan dari kejadian-kejadian kekerasan di daerah lainnya. Yang sangat disayangkan adalah banyak sekali yang dikorbankan dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Menukil pernyataan Imam Prasodjo, kekerasan terjadi disebabkan beberapa faktor. Pertama, banyak orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis berkepanjangan. Kedua, kekerasan juga bisa dipicu atas lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakan hukum. Hal ini menciptakan pesan kepada pelaku kejahatan bahwa “boleh” melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga, saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan. Aparat yang harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak pelanggaran. Masyarakat pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat yang sama masyarakat belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari aparat keamanan sendiri untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.
Dari ketiga faktor di atas, sorotan tajam dilakukan terhadap penegak hukum. Di satu sisi tidak tegas dalam menegakkan hukum alias tebang pilih, dan kedua aparat penegak hukum tidak bisa menjadi suri tauladan kepada masyarakat. Banyak aparat penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum. Hal itu lah yang wibawa hukum di mata masyarakat sudah tidak ada harganya lagi.
Lihat saja perwira tinggi polisi, Djoko Susilo yang kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi. Belum lama ini, polisi lalu lintas Bali terjebak kamera meminta “uang damai” kepada turis di Denpasar, Bali. Walau bagaimana pun hal itu tidak bisa menjadi tolak ukur seluruh aparat kepolisian.
Bagaimana pun Indonesia bukanlah “Negeri Amuk”, amukan massa dengan alasan apapun yang menjurus kepada destruktif harusnya bisa dihindari. Aparat penegak hukum bertanggung jawab untuk mengembalikan wibawa hukum, agar tidak ada lagi sekelompok masyarakat bisa melakukan pembakaran, pengerusakan yang pada akhirnya merugikan semua orang.
Selama wibawa hukum masih dianggap rendah oleh masyarakat, selama itu juga potensi kekerasan yang dilakukan massa akan terus terjadi. Mari kembalikan wibawa hukum, agar terhindari dari kekerasan-kekerasan massa di tempat lainnya.