Skip to main content

BERJUANG DI TENGGAH KAPITALISASI PENDIDIKAN




Dalam sebuah kesempatan Seminar Nasional Tentang Pendidikan yang di selengarakan oleh DPMI (Dewan Pembebasan Mahasiswa IAIN) Surabaya dengan tema “.“RUU BHMN-BHP: Solusi Atau Masalah Baru Di Dunia Pendidikan”. Pada tanggal 31 Mei 2007. Salah satu peserta seminar berkomentar dengan nada yang cukup serius “…Jika RUU BHP disahkan maka jangan berharap banyak, anak-anak kaum miskin akan menikmati bisa memperoleh hak pendidikanya, karena dengan UU BHP maka secara legal rezim Boneka Imperialis (SBY-JK) membuat dunia pendidikan semakin tidak terjangkau oleh kaum miskin (alias tidak adil dan tidak Demokratis) ”. Dari situlah diskusi mulai seru diantara para peserta. 

Setidaknya sepengal argument yang berkembang pada forum itu tepat untuk mengambarkan atas beberapa fakta kongkrit dilapangan tentang “pelarangan oleh Negara” kepada orang miskin untuk menikmati hak sekolahnya. Fenomena itu tentu saja mengelitik perasaan kita sebagai manusia yang masih peduli dengan kemanusian (sense of humanism). Lantas pertanyaan yang layak di ajukan ialah, bagaimana mungkin orang miskin bisa tingkat pendidikan yang berkualitas dan ilmiah sampai jenjang perguruan tinggi kalau biaya pendidikan yang setiap tahun semakin terus melanggit alias MAHAL???, sementara untuk kebutuhan makan saja mereka harus bekerja keras ditenggah semakin sempitnya lapangan pekerjaan akhir-akhir ini. Tentu saja kita tidak bisa menutup atas fakta yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan dan penganguran mencapai lebih kurang 40 Juta Jiwa 


Kapitalisme dengan Pasar Bebas Sebagai “Ilhamnya” 

Istilah globasisasi yang berkembang sekarang, nampaknya adalah sebuah topik yang tak pernah mati dan sangat menarik dalam bahasan dikalangan pemikir ekonomi, politisi dan negarawan, pelaku bisnis, sampai dikalangan kampus atau dunia pendidikan. tentu saja titik pembahasan itu berkembang secara multi tafsir, namun dasar argumentasi “ilmiahnya” didapat dari tatanan nilai dan praktek atas sistem kapitalisme. Apabila diamati secara mendalam dan kritis atas praktek yang berkembang pada iklim globalisasi, sesungguhnya telah menciptakan sebuah kebutuhan yang berkelanjutan bagi kapitalisme dalam menata, memperluas dan akhirnya menguasai struktur pasar Internasional sehingga menyebabkan kaum borjuis/pemodal Internasional dengan leluasa membangun karakter kosmopolitan atas produksi barang dagangan dan jasanya (komoditas) di dunia ini. 

Di Globalisasi dengan segala nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamya, yakni semangat liberalisasi pasar adalah sebuah kenyataan sejarah dari tingkat perkembangan masyarakat di dunia yang mungkin saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat lari dari terkamannya. Sekarang kita menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat dunia terkena epidemi pendewaan pasar yang penuh dengan persaingan tidak sehat alias monopolistik yang mengakibatkan keuntungan yang melimpah ruah kekantong kepada pemilik modal Internasional. 

Fenomena Globalisasi, sebenarnya jauh-jauh hari pada awal abad 20 sudah dilihat V.I Lenin yang mengistilahkanya dengan Imperialisme atau perkembangan tertinggi dari Imperialisme. Yakni sebuah ciri dari perkembangan ekonomi Internasional yang ditandai dengan penyatuan capital Industri dan capital Bank dalam kapital finans, pembagian wilayah pasar dunia antar kapitalis, monopoli dan penguasaan atas pasar. 

Senada dengan yang dianalisis Lenin dalam memandang Globalisasi, menurut Stiglitz (2003), merupakan hubungan yang tidak setara antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, hubungan antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Disadari maupun tidak, sistem ekonomi kapitalisme sudah berkembang dan merayap pada semua aspek kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, telah menjadi factor dasar material pembentuk hampir seluruh orientasi kebijakan Negara di bidang sosial, ekonomi, politik, tanpa terkecuali bidang pendidikan. 

Lebih jauh dalam dunia pendidikan nasional yang berkembang pada era perdagangan bebas saat ini semakin perlu untuk pahami. Karena, semua negara anggota WTO yang sudah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa antara lain: layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan, serta jasa-jasa lainnya akan terus “Ditekan” agar secepatnya melaksanakan kesepakatan yang diambil dalam berbagai macam konferensi dan perundingan tingkat tinggi yang mengatur masalah perdagangan bebas barang dan jasa tersebut. 

Konsekuensi dari komitmen Indonesia dalam WTO, yang juga diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (kesepakatan WTO berkaitan dengan perdagangan barang dan jasa), AFAS (ASEAN Framework on Services) serta Deklarasi Bogor 1994/APEC dan agenda Aksi Osaka. Semua perundingan internasional itu sebagai produk pendukung liberalisasi pasar yang dikembangkan WTO. 

Itu artinya Indonesia juga harus mengikat diri untuk ikut pada putaran-putaran lanjutan yang mendorong Negara peserta untuk membuka pasar domestiknya secara lebih lebar dan lebih cepat supaya mudah diakses pelaku industri dari negara lain, dan pada akhirnya menghapus semua hambatan perdagangan barang dan jasa. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO, secara otomatis semua hasil perjanjian yang berhubungan dengan perdagangan multilateral, diratifikasi menjadi UU No 7/1994 sebagai sebagai prasyaratnya agar lalu lintas perdagangan barang dan jasa dari Indonesia bisa bersaing dan diterima di pasar bebas. 

Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Dari kondisi diatas, kita bisa melihat bersama begitu besarnya kepentingan para pemodal asing terhadap dunia pendidikan nasional baik secara langsung maupun tidak. Langsung, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis sangat yang sangat menjanjikan di kemudian hari. 


Sebagai Perbandingan Yang Latah 

Sejak tahun 1980-an di negara-negara maju, sector perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002). 

Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4% dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70% pada PDB Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut. Sebuah survei yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada 1993. Oleh karena itu, asumsi latah yang kemudian kembangkan sebagai bahan perbandingan oleh para perancang kebijakan pendidikan (baca: Pemerintah) dengan melihat pengalaman AS, Inggris dan Autralia yang mengubah Orientasi pendidikanya menjadi sector Industri jasa yang berhasil menyumbang dana ke kas Negara. Itulah yang ditiru dengan tanpa memperhatikan peri kehidupan ekonomi rakyat yang makin hari kian melarat. 


Pendidikan Nasional Dari Layanan Social Menjadi Industri Jasa. 


Tentu saja liberaliasi dan globalisasi yang kejam ini mau tidak mau, perlulah untuk memahami pertama kali secara kuantitatif terhadap peluang dan kesempatan rakyat dalam memperoleh hak pendidikan untuk bersekolah yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, malah kenyataanya Rezim yang berkuasa SBY-JK terus berlari kencang meninggalkan tanggung jawabnya 

Sekarang anda bisa membayangkan Indonesia yang memiliki 222.781.000 Jiwa (BPS, 2005), dengan angkatan sekolah di seluruh Indonesia sekitar 38,5 juta anak usia SD 6-12 tahun, 25,6 juta dan usia SMP 13-15 tahun, 12,8 juta (Kompas, 26/2/05), dan rata-rata tingkat partisipasi di pendidikan tinggi sekitar 14% dari jumlah penduduk usia 19–24 tahun. Dari data kuantitatif yang sifatnya sekunder itu kita bisa melihat betapa rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia, jika ditotal dari semua penduduk yang menghuni di negeri ini. Sementara itu dilain pihak, hubungan antara Industri pendidikan dengan dunia usaha lain kian mesra saja. 

Produsen-produsen teknologi informasi, piranti lunak komputer dan alat-alat elektronik, Perusahaan-perusahaan media cetak (termasuk buku untuk bahan ajar) turut andil dalam membangun kapling diatas hubungan barang dagangan semata dari bagian integral system pendidikan nasional yang secara kongkrit hakekatnya sudah diskriminatif karena tidak memihak rakyat kecil yang merupakan penghuni mayoritas negeri ini. Denyut nadi dunia pendidikan nasional saat ini semakin tidak stabil dengan niat Rezim boneka Imperialis yang akan mengesahkan UU BHP, karena nilai-nilai yang berkembang dalam prakteknya nanti hanyalah berorientasi penumpukan modal dan pengembangan modal yang akan di pertahankan mati-matian dalam di tengah iklim globalisasi yang berkembang tidak adil karena monopolistik atas kekuasan pasar. Disitulah kita semua pada masa yang akan datang melihat kenyataan kongkrit dengan gamblang bahwa sesungguhnya wajah dunia pendidikan nasional di era globalisasi dengan pasar bebasnya yang meminggirkan nilai kemanusian yang hakiki. Sekali lagi kita tidak bisa menutup mata bahwa atas fakta yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan dan penganguran mencapai lebih kurang 40 Juta Jiwa, sebuah angka yang cukup fenomenal, kondisi itu berpeluang memunculkan kebodohan. Betapa tidak, saat ini biaya pendidikan di Indonesia tidak pernah gratis alias sangat mahal dan otomatis semakin memberatkan beban hidup rakyat Indonesia yang mayoritas berpendapatan rata-rata 800 ribu/bulan atau sekitar 345 U$ Dollar dari total pendapatan perkapita rakyat Indonesia atau lebih tinggi satu tingkat dari Zimbabwe. 

Belum lagi persoalan kualitas pendidikan nasional khususnya perguruan tinggi baik negeri-swasta yang secara umum amburadul yang memang menjadi persolan tersendiri. Tidak usah jauh-jauh membandingkan antara kualitas pendidikan di Indonesia dengan Negara maju, dengan India, Kuba dan Malaysia jika dibandingkan kualitasnya, pendidikan di Indonesia tertinggal jauh. 

Padahal persolan substansi dalam setiap pendidikan apapun bentuknya adalah untuk memajukan tingkat kebudayaan manusia sehingga bisa membangun sebuah peradaban manusia yang lebih maju. Namun dalam praktek pendidikan nasional yang berkembang di iklim kapitalisme yang monopolistik ternyata membuat masyarakat menterjemahkan Pertama, hanya soal kemampuan ekonomi peserta didik dalam segi pembiayaan saja arti siapa yang sanggup membayar mahal ia yang akan mendapat “pendidikan berkualitas” jelas hal tersebut sangatlah diskriminatif alias tidak demokratis akhirnya situasi itu mendasari kemunculan watak pragmatis (Untung Rugi) perserta didik, disinilah ketidak-ilmiahan sistem pendidikan nasional saat ini. Kedua, bagaimanapun juga kaum kapitalis tidak akan pernah rela untuk melakukan alih tekhnologi kepada negeri-negeri yang menjadi sasaran pasarnya, sehingga banyak kasus terjadi hegemoni dan dominasi mereka bisa bertahan tak “tergoyahkan”, ia akan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Atas hal tersebut kita bisa melakukan riset lebih mendalam atas kualitas para sarjana di Indonesia yang bisa menghasilkan penemuan-penemuan di bidang sains dan tekhnologi yang betul-betul berguna bagi massa rakyat di Indonesia. 

Paradigma pendidikan nasional yang kapitalistik ini akan mendapat legitimasinya, saat UU-BHP di syahkan 2007. Penataan pilot proyek liberalisasi Indonesia alias penataan industrialisasi Perguruan Tinggi pasca reformasi sudah disiapkan secara sistematis melalui payung PP No/60/1999 Tentang Perguruan tinggi, PP No/61/1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No/151/2000, PP No/152/2000, PP No/153/2000, PP No/154/2000 dan PP No/06/2004. Itulah kelengkapan legal untuk menata empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia, yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB, yang kemudian diikuti oleh USU, UPI dan terakhir UNAIR, menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Keempat perguruan tinggi pertama tersebut dijadikan percontohan penerapan otonomi perguruan tinggi. Ciri khas suatu PT-BHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Pemerintah tidak lebih hanya bertindak sebagai fasilitator asing alias kaki tanganya saja. 

Di samping itu, pemerintah tidak berwenang untuk menunjuk rektor karena peran tersebut sudah diambil oleh Majelis Wali Amanat (WMA). Dalam RUU BHP juga disebutkan bahwa BHP dapat melakukan Investasi yang mengasilkan pendapatan tetap dibawah kontrol MWA. Dari situ sangat jelas bahwa kewenangan MWA dapat berperan sebagaimana layaknya Dewan komisaris dan Dewan Direksi, sebagai pemegang kontrol tertinggi atas kehidupan BHP-nya. Karena secara prisnsip MWA hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara umum. 

Bekerjanya MWA yang Profit oriented itu, memang tidak bisa dilepaskan dengan komposisi isi dari MWA itu sendiri, yang 2/3-nya bukan dari perwakilan satuan pendidikan namun dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene memiliki kepentingan besar dalam mengembangankan investasi-nya dalam bisnis di bidang jasa pendidikan. Selain itu dalam pasal 28 ayat 1 juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan penggabungan atau merger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran pendidikan yang akan datang, kampus atau Universitas termasuk Institut dan yang setingkatnya yang tidak memiliki kecukupan modal dalam mengelola BHP maka secara otomatis gulung tikar kalau tidak mau melakukan merger dan akuisisi dengan BHP yang lebih kuat modalnya. Disamping itu BHP juga bisa membentuk unit lain diluar MWA yang menunjang aktivitasnya. 

Pada perkembangannya, pemerintah sedang mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) yang nantinya semakin memantapkan kemandirian institusi pendidikan tinggi karena akan berlaku bagi semua institusi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Rancangan undang-undang tersebut merupakan hasil rekomendasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PT-BHMN dan perguruan tinggi negeri lainnya akan berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (PT-BHPMN), sedangkan perguruan tinggi swasta akan menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan Milik Masyarakat (PT-BHPMM). 

Dalam penerapan UU BHP nanti membuat seluruh perguruan tinggi lainnya, mengerakakan model pendidikan dengan manajemen yang ”profesional” sebagaimana layaknya sebuah perusahaan yaitu akan menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Akuntabilitas berkaitan dengan pengusahaan dan pengelolaan anggaran dan dana pendidikan yang transparan. Pemaparan akuntabilitas institusi menjadi tugas penting Dewan Audit sebagai salah satu organ BHP. Dewan Audit ini dipilih dan diangkat oleh MWA, yang notabene sebagai pemiliki modal di institusi tersebut. Dengan demikian akan terlihat jelas, siapa pelaku (pemodal) dari suatu institusi, dan bagaimana pengelolaan dana tersebut di dalam institusi. 

Dapat dikatakan pengontrolan dilakukan secara terpusat. Akreditasi merupakan jaminan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi. Badan Akreditasi Nasional (BAN) adalah lembaga yang berperan dalam penilaian akreditasi tersebut. Kinerja BHP sendiri selalu dievaluasi baik oleh institusi sendiri maupun pihak-pihak yang berkepentingan. Bila suatu institusi memiliki posisi strategis secara Internasional, maka institusi tersebut didorong untuk melakukan akreditasi internasional, agar mahasiswa dari Luar Negeri masuk ke dalam institusi tersebut. Dapat dipastikan ketika akreditasi dengan standar internasional, maka kurikulum yang akan diberlakukan di institusi tersebut akan disesuaikan kepada kebutuhan internasional. Dengan kata lain orientasi pendidikan pada institusi skala Internasional ini adalah mampu menyelesaikan persoalan masyarakat luar negeri akan tetapi bukan penyelesaian persoalan bangsanya. 

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Mereka salah besar, pada kenyataannya justru komersialisasi ini tidak dapat dihindari di dalam Prakteknya, karena pencarian dan pengelolaan keuangan institusi pendidikan dilakukan secara otonomi, sehingga pada akhirnya nanti pemerintah tidak campur tangan lagi dan privatisasi kampus malah semakin jelas semakin berjalan sesuai dengan kehendak dari para investornya. 

Secara pasti dan otomatis akibat langsung dirasakan oleh rakyat yang hendak menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi, akan mengurungkan niatnya. Karena biaya pendidikan sangat mahal, belum lagi diperparah dengan kurikulum yang tidak mencerdaskan karena di orientasikan untuk memenuhi tuntutan pasar global (global Market). Sementara itu orang miskin yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia, sakan tetap dibiarkan terbelenggu dengan “kebodohanya” karena para peyelengara negara dalam Political Will-nya semakin tegas dalam melepas tanggung jawabnya dalam mewujudkan cita-cita pendidikan gratis, demokratis dan berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh rakyat. 

Sebenarnya dalam UU Sisdiknas 20/2003 sebenarnya sudah tergambar jelas tentang arah pendidikan nasional di Indonesia yang memiliki kecenderungan terkoneksi dengan sistem Globalisasi alias kapitalisme. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas yang berbunyi :“Masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam penyelengaraan pendidikan”. Lalu dikuatkan dengan Pasal 12 ayat (b) “yang memberikan kepada peserta didik untuk menangung biaya penyelengaraan pendidikan”. Beberapa pasal dan ayat yang tertuang dalam UU Sisdiknas 20/2003, sangatlah aneh dan bertengangan 180 derajat dengan amandemen UUD 1945 pasal 31 (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, kemudian dipertegas pada ayat 4, “Negara memprioritaskan angaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD”. Namun kita haruslah melihat dalam prakteknya angaran pendidikan secara keseluruhan hanyalah 10,3%-11-,8 dari RAPBN 2007 atau sekitar 51,3 trilyun dari total anggaran belanja nasional yang berjumlah 746,5 trilyun, tentu angka tersebut sangatlah jauh dari prosentase yang telah ditetapkan sebesar 20% untuk angaran pendidikan. Bersatu dan Tolak RUU-BHP Adalah Wajar 

Jangan heran jika RUU BHP, BHPMN, dan sejenisnya sudah diputuskan. Timbullah berbagai macam episode penindasan, kekerasan di lingkungan kampus yang sasaranya tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswa, sekali lagi mahasiswa. Tentu masih segar dalam memori kita berbagai kasus episode penindasan dan kekerasan di dunia pendidikan terus berlansung di negeri ini, sebagai akibat dari model pendidkan nasional yang tidak demokratis dan anti kerakyatan. Seperti yang terjadi di UAD (Univ Ahmad Dahlan) Yogyakarta yang mengeluarkan Surat edaran Rektor, tertanggal 27 September 2006 No: R/465/A.10/IX/2006, tentang Pembinaan Organisasi kemahasiswaan UAD yang isinya : a) Tidak diperpolehkan bagi organisasi ekstra berdiri di kampus UAD, b) Melarang aktivitas organisasi ekstra selain IMM, mengunakan nama Universitas Ahmad Dahlan, dan fasilitas milik UAD. Lalu Di ITS Surabaya yang pada tanggal 16 Mei 2007, mengeluarkan SK Rektor No: 2908/12/KM/2007 Tentang, “Pemberian Sanksi Pencabutan Status Sebagai Mahasiswa ITS Dalam Waktu Tertentu Atas Pelanggaran Peraturan Tata Tertib Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa ITS”. Kepada, Tomy Dwinta Ginting, Benny Ihwani dan Yuliani. 

Lalu di kampus yang dikenal masyarakat sebagai saksi reformasi 1998 yakni Universitas Trisakti Jakarta, juga tidak kalah garangnya dalam menindas mahasiswa. Tepatnya pada 21 Mei 2007, 3 orang mahasiswa direpresi polisi kampus dan celakanya lagi Ketua BEM Fak HUKUM USAKTI , juga menjadi sasaran dan bulan-bulanan intimidasi birokrat kampus, para mahasiswa itu direpresi pada saat mengalang aksi petisi bersama mahasiswa Trisakti untuk menuntut perbaikan fasilitas kampus, dan solidaritas terhadap rekanya yang mendapat intimidasi dari Wakil PD III Fak Hukum, Bapak ferry Edward. 

Di NTB tepatnya di IKIP Mataram, beberapa waktu yang lalu. Terjadi juga kekerasan terhadap mahasiswa di dalam kampus oleh preman bayaran pejabat kampus, sehingga mengakibatkan, terbunuhnya seorang mahasiswa yang bernama Ridwan. Belum lagi di UISU (Universitas Islam Sumatra Utara) baru-baru ini, dan yang paling fenomenal adalah kasus kekerasan di lingkungan kampus IPDN Sumedang. 

Beberapa kasus diatas adalah sebagian kecil dari amburadulnya pendidikan nasional yang tidak demokratis karena semakin pro pasar alias komersil, mahal dan tidak pernah memihak rakyat. Beginilah skenario episode baru penindasan di dunia pendidikan dengan lakon utamanya adalah Kapitalisme, sehingga membuat mahasiwa semakin dijauhkan dari peran sosialnya dalam mengabdi pada kekuatan massa rakyat buruh dab kaum tani, peredaman aktivitas politik terhadap mahasiswa sehingga kongkrit pada giliranya nanti terjadi pelarangan terhadap mahasiswa untuk berekspresi, berserikat bersama organisasi yang progesif, serta mengeluarkan pendapat, kritik sebagai pertanda dari adanya demokrasi di lingkungan kampus akan hilang dari pusaran dunia pendidikan nasional (khususnya perguruan tinggi). 

Karena di era baru kapitalisasi pendidikan nasional, semua aktifitas politik yang progresif dari mahasiswa akan tergantikan dengan aktifitas-aktifitas kemahasiswaan hanya semata-mata hanya bersifat rekreatif dan entertainment semata yang sudah barang tentu adalah langkah dari kaum pemodal untuk mengiklankan daganganya, misalnya program Class Music on Campus, sebuah acara musik di yang di salah satu televisi nasional yang disponsori perusahaan rokok. belum lagi acara entertainment yang lain yang sering mampir di kampus-kampus tempat kita belajar dan berjuang. Inilah contoh-contoh kongkrit depolitisasi secara sistematis oleh kapitalisme yang sudah mengalir deras dalam ranah pendidikan nasional, atas situasi yang kapitalistik itulah nanti mempengaruhi, bahkan tidak jarang menjadi segi yang menentukan munculnya sikap pragmatisme dan oportunisme dari massa mahasiswa. 

Berdasarkan gambaran umum dan kondisi kongkrit di atas maka sudah saatnya secara SMI konsisten meningkatkan terus dalam praktek perjuangan hak-hak demokratis dari massa mahasiswa mulai dari perbaikan fasilitas akademik, penurunan uang SPP, membuka ruang partisipasi yang luas dan seimbang antara birokrat kampus dan kaum mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan, hak-berserikat dan berorganisasi dalam kampus dan seterusnya. Sehingga praktek perjuangan kita bersama massa mahasiswa dalam memaksimalkan tuntutan dengan segenap energi berlawan dari massa dalam rangka memperoleh pendidikan nasional gratis, ilmiah dan demokratis di semua tingkat dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Karena itu tugas-tugas mendesak SMI sebagai gerakan massa yang progresif harus di jalankan oleh anggota secara konsisten: 

Pertama,. Mengkampanyekan secara terus-menerus kepada massa mahasiswa dan rakyat di seluruh Indonesia tentang watak RUU BHP yang sesungguhnya anti rakyat. Karena pada dasarnya RUU BHP merupakan rangkaian kebijakan kaum Imperialis untuk menghambat kemajuan tenaga produktif (generasi muda, termasuk didalamnya mahasiswa) untuk menguasai teknologi yang berguna bagi pembangunan Industri nasional yang tangguh. Kedua, Memperkuat pengaruh Organisasi dan menjalankan pendidikan politik kepada massa agar massa bangkit dari kesadaranya untuk mendesakan secara konsisten kepada Negara agar bertanggung jawab secara konsisten membiayai dan mengratiskan seluruh jenjang pendidikan nasionalnya Ketiga, Mengusakan dalam setiap praktek perjuangan politik untuk bersatu padu dengan gerakan rakyat lainya dalam alat perjuangan bersama (Front) dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan dan desa-desa untuk menghadapi musuh-musuh utama rakyat Indonesia yakni Imperialisme dan kaki tanganya (SBY-JK) di dalam negeri yang kian hari makin mengurita dan menindas rakyat. Keempat, gerakan massa progresif di Indonesia juga perlu memikirkan dan membangun persekawanan yang solid gerakan rakyat Internasional yang anti Imperialisme, karena memang pada hakekatnya Imperialisme tidak hanya menindas umat manusia di Indonesia tapi semua manusia yang ada di muka bumi ini juga di tindas dan dihisap oleh Imperialisme. Upaya dalam memperjuangankan kebutuhan rakyat agar pendidikan nasional bisa Gratis, demokratis serta berkualitas. Haruslah berpadu dengan program perjuangan politik strategis, sehingga desakan kepada Negara Untuk segera menjalankan agenda-agenda kerakyatan, bisa diukur dan dilihat apakah Negara berani: 

1. Melaksanakan Reforma Agraria Sejati yang berlandaskan prinsip kerakyatan Bukan PPAN yang merupakan land reform ala World Bank 
2. Melakukan Nasionalisasi Aset Asing 
3. Membangun Industrialisasi nasional yang berwatak kerakyatan. 
4. Menyita Semua Asset Koruptor kakap 
5. Menghapus hutang Luar Negeri, yang telah menguras APBN 
6. Menolak Intervensi IMF, WTO, WB dan putuskan hubungan Diplomatik dengan Negeri Imperialis 

Bukan tunduk di bawah kaki tangan Kaum Imperialis Internasional yang selalu mendesak pada negara dan rakyat Indonesia untuk menjalankan resep-resep neoliberalisme yang sebenarnya telah usang di muka bumi ini.

Popular posts from this blog

Ngewe ABG SMU yang Super Seksi

Cerita Seks Ngawek Hot Bangat yang akan kuceritakan di Bergairah.org ini adalah pengalamanku ngentot cewek sma bispak tapi aku akui toketnya gede banget dan amoi banget memeknya. Berawal dari aku yang dapat tender gede, aku dan temanku akhirnya ingin sedikit bersenang-senang dan mencoba fantasi seks baru dengan cewek-cewek abg belia. Akhirnya setelah tanya kesana kemari, ketemu juga dengan yang namanya Novi dan Lisa. 2 cewek ini masih sma kelas 3, tapi mereka sangat liar sekali. Baru kelas 3 sma aja udah jadi lonte perek dan cewek bispak. Apalagi nanti kalo dah gede ya ? memeknya soak kali ye   . Ahh tapi saya ga pernah mikirin itu, yang penting memeknya bisa digoyang saat ini dan bisa muasin kontol saya. Udah itu aja yang penting. Untuk urusan lainnya bukan urusan saya   . Aku segera mengambil HP-ku dan menelpon Andi, temanku itu. “Di.., OK deh gue jemput lu ya besok.. Mumpung cewek gue sedang nggak ada” “Gitu donk.. Bebas ni ye.. Emangnya satpam lu kemana?” “Ke Sura

RPP MULOK PERTANIAN KELAS IX

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang bermuatan lokal (MuLok) untuk menanamkan pengetahuan tentang arti penting kesetimbangan lingkungan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip Pertanian Organik diantaranya Budidaya Tanaman dengan Menggunakan Pupuk Organik. Naskah berikut saya sadur dari presentasi seorang guru SLTP di sebuah web (mohon maaf, karena filenya sudah cukup lama saya tidak sempat menyimpan alamat webnya). "Arti Penting Pertanian Organik", itu dia phrase (rangkaian) kata kuncinya. Berikut merupakan contoh Mulok Bidang Pertanian untuk SLTP. RINCIAN MINGGU EFEKTIF                                                 Mata Pelajaran       : Muatan Lokal Pertanian                                                 Satuan Pendidikan : SMP                                                 Kelas/Semester       : IX/II                                                 Tahun Pelajaran    : 2011/2012  1.        Jumlah Minggu Efektif No Bulan Banyaknya Minggu

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel dengan Timur Imam Nugroho

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel atau yang akrab disapa dengan Annie dengan Timur Imam Nugroho atau Imung, sangatlah panjang. Mereka mengawali perkenalan mereka sejak lima tahun, di Australia. Saat itu keduanya sedang menimba ilmu di Australia. Timur merupakan kakak kelas dari Anni, dari situ keduanya saling mengenal satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran. “Kita awalnya saling berkenalan, lalu memutuskan untuk kenal lebih dekat sudah sejak 5 tahun lalu,” ungkap Annie, saat diwawancarai Gorontalo Post, di rumah adat Dulohupa, Jumat (23/9). Anni mengatakan selama 5 tahun masa perkenalan tentunya mereka sudah banyak mengenal kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga mereka selalu berusaha untuk saling melengkapi. Lima tahun merupakan waktu yang sangat cukup, hingga akhirnya keduanya saling memutuskan untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 17 September 2016, di Kalibata, Jakarta. Annie merupakan lulusan dari RMIT University, Bachelo