Luka yang dalam bagi masyarakat Sulsel atas kasus pembantaian Westerling masih tersimpan. Korban yang jatuh pada pembantaian di tahun 1946-1947 ini mencapai 40.000 jiwa. Banyak istri menjadi janda dan anak menjadi yatim di kala itu. Perjuangan menegakkan keadilan terus dilakukan masyarakat Sulsel. Tidak tanggung-tanggung, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Sulselbar yang memperjuangkan kebenaran atas pelanggaran HAM dari Westerling ini menyeberang ke negara asal Westerling untuk menuntut keadilan. Perjuangan ini pun berbuahkan hasil. Jumat, 26 April lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Belanda menyampaikan akan melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada keluarga korban serta memberikan kompensasi atau ganti rugi sebesar 20 ribu euro (Satu Euero setara Rp12.600) untuk 10 janda. Waktu pasti melakukan permintaan maaf ini pun masih belum diketahui jadwalnya. Ganti rugi ini pun belum seberapa jika dibanding dengan tindakan yang dilakukan Westerling kepada masyarakat Sulsel. Pemberian kompensasi bagi 10 janda ini pun dinilai tidak sebanding dan belum merata pembagiannya karena masih banyak janda kasus Westerling yang hidup. Apalagi untuk anak korban pembantaian ini. Ketua Perwakilan Sulselbar Yayasan KUKB, Sabriah Hasan saat dihubungi FAJAR, malam tadi mengatakan, perjuangan yang ia lakukan bersama timnya untuk mencari kebenaran dan meminta pertanggungjawaban dari pelaku pembantaian ini akhirnya berbuah hasil. Sejak 2010 lalu, tim ini berkeliling Sulselbar mendata keluarga korban. Hasilnya ditemukan 17 janda yang masih hidup dan 100-an anak yang hidup dari korban pembantaian. "Melalui pengacara kami yang ada di Belanda, pemerintah Belanda akhirnya bersedia meminta maaf kepada korban dan seluruh masyarakat Sulsel secara terbuka. Mereka juga akan memberikan kompensasi kepada korban janda sebesar 20 ribu euro untuk 10 jand," ujar perempuan berusia 35 tahun ini. Menurutnya, nilai kompensasi itu masih belum seberapa dibandingkan tindakan dan kerugian yang didapatkan korban. Terlebih lagi, kompensasi tersebut hanya diperuntukkan bagi 10 orang saja yang telah terdata. "Kami menginginkan seluruh korban baik janda yang tersisa maupun anak-anak yatim yang masih hidup atas kasus ini," ujarnya. Tuntutan pengusutan salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di dunia ini telah dimulai 2011 silam. Saat itu, kasus pembantaian serupa terjadi di Rawagede. Hasilnya, tuntutan dari yayasan ini berbuah manis dengan memberikan ganti rugi kepada sembilan orang janda yang masih hidup dari korban pembantaian Rawagede. Sabriah menambahkan, kenapa Kemenlu Belanda hanya mengganti rugi kepada 10 janda saja? Alsannya karena kompromi advokat negara dengan advokat pembela para janda korban yang tercapai hanya sampai itu saja. Namun, pihaknya pun masih terus memperjuangkan agar semua korban mendapatkan ganti rugi yang sama. "Selain menuntut permintaan maaf dan ganti rugi, kami juga ingin memenjarakan pelaku pembantaian yang masih hidup sampai saat ini. Kita ketahui pelaku yang masih hidup itu ada dua orang, yang pertama Herman van Goedhem dan yang kedua adalah Haij Groenendaal," ujarnya. Ia mengatakan, tindakan dari pelaku itu tidak bisa di maafkan. Ini merupakan pelanggaran HAM yang sangat fatal. Namun, kedua orang tersebut sama sekali tidak menyesali perbuatannya seperti pengakuan mereka pada salah satu siaran televisi di Belanda. "Kami masih terus berupaya menegakkan keadilan. Kami tidak ingin kasus ini terus tersimpan dan menjadi luka bagi masyarakat Sulsel. Ini merupakan tindakan yang sangat kejam dan harus diakhiri," ungkapnya. Untuk mengenang kasus ini, setiap 11 Desember pun dilakukan upacara di monumen korban 40.000 jiwa yang terletak di Jalan Korban 40.000 Jiwa Makassar. Pakar Hukum Internasional Unhas, Dr Masba Magassing menyatakan memang ada semacam dilema bagi korban keganasan Westerling jika merujuk pada hukum internasional. Pasalnya, kata dia, kejahatan ini bersifat individu dan tidak terkait dengan kejahatan terhadap negara. Dengan demikian, tidak bisa diadukan ke Mahkamah Internasional atau yang dikenal dengan International Court of Justice (ICJ). Kalaupun harus dihadapkan pada perbuatan pidana internasional yang dilakukan individu juga sulit. Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) kemungkinan besar akan menolaknya. "Masalahnya, begini, ICC itu baru dikenal dunia internasional pada 1998. Artinya pelaku tidak bisa diadili karena hukum tidak berlaku surut. Jika ada aturan lain yang membenarkannya juga sulit karena tindakan penghilangan nyawa itu dilakukan atas perintah atasan atau pimpinan dalam hal ini Westerling," ucap Masba. Namun, jika ditinjau dari sisi keadilan pembayaran ganti rugi atau konvensasi tersebut kemungkinan besar dianggap tidak adil. Hanya saja, yang perlu dipahami juga bahwa ada nilai yang tersirat dari adanya konvensasi tersebut. Yakni nilai pengakuan atas kesalahan. Apalagi telah diiringi dengan ucapan permohonan maaf. "Yang saya ketahui kasus ini kan diadili di salah satu pengadilan distrik di Amsterdam. Itu adalah pertanggungjawaban ratu belanda atas adanya pemantaian di Sulsel yang dilakukan Westerling. Jadi jangan lihat dari nilainya. Meskipun, bagi keluarga korban kadang ini memang menjadi sesuatu yang dianggap tidak adil," kata Masba. Soal dua pelaku yang masih hidup, Masba mengatakan bisa saja diadukan atau digugat. Namun, tidak mungkin melalui ICC atau ICJ. Paling hanya bisa diadili di pengadilan distrik di Belanda. Itu pun jika ratu Belanda menilai sinkron karena perbuatan tersebut dilakukan atas perintah pimpinan.
Luka yang dalam bagi masyarakat Sulsel atas kasus pembantaian Westerling masih tersimpan. Korban yang jatuh pada pembantaian di tahun 1946-1947 ini mencapai 40.000 jiwa. Banyak istri menjadi janda dan anak menjadi yatim di kala itu. Perjuangan menegakkan keadilan terus dilakukan masyarakat Sulsel. Tidak tanggung-tanggung, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Sulselbar yang memperjuangkan kebenaran atas pelanggaran HAM dari Westerling ini menyeberang ke negara asal Westerling untuk menuntut keadilan. Perjuangan ini pun berbuahkan hasil. Jumat, 26 April lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Belanda menyampaikan akan melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada keluarga korban serta memberikan kompensasi atau ganti rugi sebesar 20 ribu euro (Satu Euero setara Rp12.600) untuk 10 janda. Waktu pasti melakukan permintaan maaf ini pun masih belum diketahui jadwalnya. Ganti rugi ini pun belum seberapa jika dibanding dengan tindakan yang dilakukan Westerling kepada masyarakat Sulsel. Pemberian kompensasi bagi 10 janda ini pun dinilai tidak sebanding dan belum merata pembagiannya karena masih banyak janda kasus Westerling yang hidup. Apalagi untuk anak korban pembantaian ini. Ketua Perwakilan Sulselbar Yayasan KUKB, Sabriah Hasan saat dihubungi FAJAR, malam tadi mengatakan, perjuangan yang ia lakukan bersama timnya untuk mencari kebenaran dan meminta pertanggungjawaban dari pelaku pembantaian ini akhirnya berbuah hasil. Sejak 2010 lalu, tim ini berkeliling Sulselbar mendata keluarga korban. Hasilnya ditemukan 17 janda yang masih hidup dan 100-an anak yang hidup dari korban pembantaian. "Melalui pengacara kami yang ada di Belanda, pemerintah Belanda akhirnya bersedia meminta maaf kepada korban dan seluruh masyarakat Sulsel secara terbuka. Mereka juga akan memberikan kompensasi kepada korban janda sebesar 20 ribu euro untuk 10 jand," ujar perempuan berusia 35 tahun ini. Menurutnya, nilai kompensasi itu masih belum seberapa dibandingkan tindakan dan kerugian yang didapatkan korban. Terlebih lagi, kompensasi tersebut hanya diperuntukkan bagi 10 orang saja yang telah terdata. "Kami menginginkan seluruh korban baik janda yang tersisa maupun anak-anak yatim yang masih hidup atas kasus ini," ujarnya. Tuntutan pengusutan salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di dunia ini telah dimulai 2011 silam. Saat itu, kasus pembantaian serupa terjadi di Rawagede. Hasilnya, tuntutan dari yayasan ini berbuah manis dengan memberikan ganti rugi kepada sembilan orang janda yang masih hidup dari korban pembantaian Rawagede. Sabriah menambahkan, kenapa Kemenlu Belanda hanya mengganti rugi kepada 10 janda saja? Alsannya karena kompromi advokat negara dengan advokat pembela para janda korban yang tercapai hanya sampai itu saja. Namun, pihaknya pun masih terus memperjuangkan agar semua korban mendapatkan ganti rugi yang sama. "Selain menuntut permintaan maaf dan ganti rugi, kami juga ingin memenjarakan pelaku pembantaian yang masih hidup sampai saat ini. Kita ketahui pelaku yang masih hidup itu ada dua orang, yang pertama Herman van Goedhem dan yang kedua adalah Haij Groenendaal," ujarnya. Ia mengatakan, tindakan dari pelaku itu tidak bisa di maafkan. Ini merupakan pelanggaran HAM yang sangat fatal. Namun, kedua orang tersebut sama sekali tidak menyesali perbuatannya seperti pengakuan mereka pada salah satu siaran televisi di Belanda. "Kami masih terus berupaya menegakkan keadilan. Kami tidak ingin kasus ini terus tersimpan dan menjadi luka bagi masyarakat Sulsel. Ini merupakan tindakan yang sangat kejam dan harus diakhiri," ungkapnya. Untuk mengenang kasus ini, setiap 11 Desember pun dilakukan upacara di monumen korban 40.000 jiwa yang terletak di Jalan Korban 40.000 Jiwa Makassar. Pakar Hukum Internasional Unhas, Dr Masba Magassing menyatakan memang ada semacam dilema bagi korban keganasan Westerling jika merujuk pada hukum internasional. Pasalnya, kata dia, kejahatan ini bersifat individu dan tidak terkait dengan kejahatan terhadap negara. Dengan demikian, tidak bisa diadukan ke Mahkamah Internasional atau yang dikenal dengan International Court of Justice (ICJ). Kalaupun harus dihadapkan pada perbuatan pidana internasional yang dilakukan individu juga sulit. Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) kemungkinan besar akan menolaknya. "Masalahnya, begini, ICC itu baru dikenal dunia internasional pada 1998. Artinya pelaku tidak bisa diadili karena hukum tidak berlaku surut. Jika ada aturan lain yang membenarkannya juga sulit karena tindakan penghilangan nyawa itu dilakukan atas perintah atasan atau pimpinan dalam hal ini Westerling," ucap Masba. Namun, jika ditinjau dari sisi keadilan pembayaran ganti rugi atau konvensasi tersebut kemungkinan besar dianggap tidak adil. Hanya saja, yang perlu dipahami juga bahwa ada nilai yang tersirat dari adanya konvensasi tersebut. Yakni nilai pengakuan atas kesalahan. Apalagi telah diiringi dengan ucapan permohonan maaf. "Yang saya ketahui kasus ini kan diadili di salah satu pengadilan distrik di Amsterdam. Itu adalah pertanggungjawaban ratu belanda atas adanya pemantaian di Sulsel yang dilakukan Westerling. Jadi jangan lihat dari nilainya. Meskipun, bagi keluarga korban kadang ini memang menjadi sesuatu yang dianggap tidak adil," kata Masba. Soal dua pelaku yang masih hidup, Masba mengatakan bisa saja diadukan atau digugat. Namun, tidak mungkin melalui ICC atau ICJ. Paling hanya bisa diadili di pengadilan distrik di Belanda. Itu pun jika ratu Belanda menilai sinkron karena perbuatan tersebut dilakukan atas perintah pimpinan.