Wacana menghemat alokasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) segera terwujud. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan skema pengurangan subsidi bagi kendaraan roda empat pribadi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menegaskan pilihan skema untuk menekan subsidi BBM yang akan dibahas dalam rapat kabinet sudah mengerucut. Dalam rapat tersebut, Jero memutuskan untuk mengurangi subsidi bagi masyarakat kelas menengah ke atas.
"Ini sudah keputusan terbaik. Bahkan, semula opsi yang ada adalah menghapus total subsidi BBM bagi orang mampu (mobil pribadi, Red). Alias, nol subidi," ujarnya usai menjamu CEO ENI Paolo Scaroni di kantor kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.
Dengan begitu, lanjut dia, masyarakat yang bisa menikmati BBM seharga 4.500 hanyalah pengendara roda dua dan angkutan umum. Di sisi lain, mobil pribadi bakal dikenakan tarif yang di atas harga tersebut. "Indikasi orang kaya kan mempunyai mobil. Jadi subsidi yang tidak tepat inilah yang akan kami kurangi. Nah, dari pengurangan itu akan kami alokasikan untuk rakyat yang tidak mampu," tambahnya.
Soal realisasi, dia mengaku sedang menggarap konsep yang matang. Pasalnya, konsep tersebut diakui cukup rumit. Misalnya, kasus membedakan mobil untuk kepentingan umum dan pribadi. Menurutnya, situasi tersebut bukan hanya soal plat kuning dan hitam. "Kalau misalnya ada mobil box mengangkut sayuran. Tentu harusnya mendapat subsidi. Itu nanti akan diusahakan mendapat plat kuning agar bisa diarahkan petugas SPBU," ungkapnya.
Salah satu kemungkinan yang diungkapkan Jero adalah membuat SPBU baru khusus bagi kendaraan pribadi. Dengan skema tersebut, perbedaan BBM antara masyarakat mampu dan tidak mampu bisa diperjelas. "Pelaksanaannya kami akan rancang lebih lanjut. Kami harus tahu lebih dulu berapa jumlah SPBU di lapangan. Agar nanti (pengisian bagi tiap kendaraan, Red) tidak repot," jelasnya.
Ketika ditanya besaran harga, Jero menolak untuk merinci. "Masih perlu dibahas lagi. Yang jelas kan lebih dari Rp 4.500 per liter. Tapi tidak sampai harga keekonomian premium. Sekarang harganya Rp 9.500 per liter. Maka itu pemerintah sekarang memberi subisidi Rp 5.000 per liter," katanya.
Pada kesempatan yang berbeda, pengamat industri migas Indonesia Pri Agung Rakhmanto mengaku mendukung upaya tersebut. Menurutnya, upaya tersebut memang mempunyai imbas efisiensi. "Ya kalau mau benar-benar efisien seharusnya pukul rata. Tapi pemerintah kan lebih memilih kebijakan populis. Jadi ya, saya dukung saja asal benar-benar terwujud," ungkapnya.
Yang menjadi perhatian, lanjut dia, adalah detil dari skema yang bakal diterapkan pemerintah. Direktur Eksekutif Reforminer Institute itu menilai bahwa semua opsi yang dipikirkan pemerintah termasuk kompleks. Akibatnya, penerapan skema menjadi rawan penyelewengan.
"Misalnya skema beda harga antara angkutan umum dan kendaraan pribadi. Apakah bisa menjamin kalau tidak bocor. Bisa saja pihak SPBU memberikan ke kendaraan pribadi untuk cari untung. Atau kendaraan umum menjual kembali BBM yang mereka beli. Jadi, rencana tersebut harus kongkret dengan penerapan pengawalan dan pengawasan," ujarnya.
Mengapa pemerintah akhirnya meninggalkan opsi kenaikan harga BBM? Selain tentu karena bukan kebijakan itu tidak populis, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memiliki alasan tersendiri.
Menurut dia, jika pemerintah mengambil opsi kenaikan harga BBM, maka harus dibarengi dengan paket Bantuan Langsung Tunai (BLT). Nah, untuk mengalokasikan dana BLT dari APBN, pemerintah tentu harus meminta persetujuan DPR. 'Kalau mesti (minta persetujuan) ke DPR, resistensinya tinggi sehingga opsi itu sulit dilakukan,' ujarnya.
Hatta mengatakan, meskipun opsi kenaikan harga sudah dipinggirkan, namun opsi tersebut akan tetap disampaikan kepada Presiden SBY. 'Nanti dalam rapat, semua akan dibahas plus minusnya,' katanya.
Yang jelas, lanjut dia, apapun opsi yang akan diambil, pengaturan konsumsi dengan menggunakan teknologi informasi (TI) tetap harus dilakukan karena bisa meminimalisir penyelewengan BBM bersubsidi. 'Kebocoran harus dikurangi, apapun opsi yang dipilih, itu (penggunaan TI, Red) harus dilakukan,' ucapnya.
Sebagaimana diketahui, Pertamina berencana akan membagikan radio-frequency identification (RFID) gratis untuk sekitar 6 juta unit mobil pribadi di Jabodetabek. Alat ini akan me-record konsumsi BBM bersubsidi tiap mobil pribadi.
Lantas bagaimana jika semua rencana terkait BBM bersubsidi ini tidak jadi dilaksanakan? Sebab, pada 2011 dan 2012, setelah melalui berbagai pembahasan dan diskusi, pemerintah tidak mengambil keputusan apa-apa.
Jika hal itu terjadi, Menteri Keuangan Agus Martowardojo sudah menyiapkan jurus pamungkas untuk mengantisipasi lonjakan beban subsidi yang bakal menggerus dana APBN. 'Seandainya hal itu (perubahan kebijakan BBM bersubsidi, Red) tidak dilakukan, kami akan potong anggaran (Kementerian/Lembaga),' ujarnya.
Agus mengakui, saat ini belum ada kalkulasi pasti berapa besar potensi pemotongan anggaran Kementerian/Lembaga yang akan dilakukan. Yang jelas, pemotongan akan dilakukan pada pos belanja barang. 'Itu harus dilakukan agar fiskal kita sehat,' katanya.