Pascareformasi 1998, bentuk otonomi daerah selalu mengalami perubahan, ditandai dengan perubahan undang-undang nomor 22 tahun 1999 menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004, dan diubah lagi menjadi undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Perubahan undang-undang tersebut dilandasi dengan alasan dan argumen yang kuat. Perubahan pertama (uu 22/1999 menjadi uu 32/2004), memiliki alasan kuat yakni secara politik uu 22/1999 tidak sepenuhnya mencerminkan demokratisasi lokal karena kepala daerah dipilih DPRD, dan peran DPRD terlalu kuat sehingga menganggau kinerja eksekutif dalam menjalankan tugas dan fungsi dan berpengaruh pada lambatnya proses pembangunan daerah. Karena itu, uu 22/1999 dirubah menjadi uu 32/2004 dengan subtansi memperkuat demokrasi lokal melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung, dan diharapkan berpengaruh pada percepatan pertumbuhan ekonomi lokal.
Undang-undang 32/2004 melahirkan sejumlah masalah seperti tingginya biaya politik yang dikeluarkan negara dan para calon kepala daerah. Negara harus mengeluarkan banyak anggaran dari APBN/D untuk membiaya pelaksanaan pilkada secara langsung sehingga berpengaruh pada pemborosan anggaran untuk pembangunan daerah. Para calon kepala daerah harus mengeluarkan banyak biaya untuk suksesi pemenangan. Untuk mendapatkan anggaran sebagai suksesi pemenangan, tidak sedikit para calon kepala daerah melakukan segala hal terutama membuat kontrak politik untuk membiayai suksesi dengan syarat pihak lain mendapatkan “proyek” yang menguntungkan, sekalipun mengorbankan prioritas pembangunan yang lebih penting. Karena itu, pemenang pilkada tidak mampu membentuk dan melaksanakan kebijakan sesuai prioritas pembangunan untuk kebutuhan masyarakat menuju kesejahteraan. Tidak sedikit kepala daerah produk pemilihan langsung terjebak kasus korupsi sehingga berakhir pada penjara.
Berbagai persoalan yang ada mendorong pemerintah, politisi, dan akademisi untuk menentukan bentuk otonomi daerah yang tepat dalam mewujudkan pembangunan daerah berkemajuan. Baru-baru ini pemerintah melalui mendagri mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah pada konteks: (1) Gubernur dipilih langsung oleh rakyat, (2) bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota, dan (3) wakil gubernur diangkat gubernur, wakil bupati diangkat bupati, dan wakil wali kota diangkat wali kota. Usulan pemerintah tersebut memiliki dasar yang kuat terutama ditinjau pada aspek politik lokal.
Konteks pertama, gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat bagian dari bentuk penguatan otonomi pada tingkat propinsi karena secara prinsip masyarakat di kabupaten/kota dibawah wilayah kekuasaan propinsi. Konteks kedua, bupati dan wali kota dipilih DPRD karena berdasarkan pengalaman yang ada pemilihan langsung bupati dan wali kota membutuhkan biaya tinggi sehingga berdampak pada buruknya prilaku bupati dan wali kota dalam menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Konteks ketiga, belajar dari pengalaman pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih dalam satu paket berakhir pada pecah kongsi. Berdasarkan data mendagri, 94 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir. Persoalan ini berdampak buruk pada pembangunan dan tata kelola pemerintahan daerah.
Perubahan tanpa makna subtansi
Mengingat perubahan bentuk otonomi daerah terus dilakukan, maka muncul pertanyaan “Apa makna perubahan bagi pembangunan daerah?” pertanyaan ini perlu dijawab dengan kembali mengingat tujuan diterapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu agenda reformasi adalah menerapkan kebijakan otonomi daerah seutuhnya dengan tujuan mewujudkan politik lokal yang demokratis, percepatan pertumbuhan ekonomi, dan perbedayaan kearifan lokal. Pemerintah perlu memahi kembali tujuan (makna) kebijakan otomi daerah yang diusung Ryaas Rasyid sebagai konseptor kebijakan otonomi daerah. Menurut Ryaas Rasyid (2000:174) diterapkan kebijakan otonomi daerah dengan tujuan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif, memelihara suatu mekanisme kebijakan demokrasi, membangun struktur pemerintahan sesuai kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, mengembangkan manajemen pemerintahan yang efektif, membuka peluang pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah, dan menciptakan harmoni sosial serta memelihara nilai-nilai lokal.
UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah belum sepenuhnya diimplementasikan sudah dilakukan perubahan. Seharusnya pemerintah dapat memperbaiki manajemen pada tingkat implementasi seperti untuk mengendalikan peran DPRD dapat melalui penguatan peran lembaga pengawasan DPRD (lembaga penegak hukum). Namun perubahan sudah dilakukan ditandai keluarnya uu 32/2004. Uu 32/2004 diharapka mampu mengatasi persoalan yang ada, justru memperluas persoalan, sehingga pemerintah ingin menerapkan format yang lebih tepat sebagaimana usulan pemerintah yang dijelaskan sebelumnya. Karena itu, perubahan tidak berdampak positif pada pembangunan daerah sebagaimana yang dicita-citakan. Perubahan terus-menurus diyakini menjadi penghambat untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Mestinya pemerintah dapat menentukan strategi dan langkah untuk menggapai tujuan otonomi daerah yang sebenarnya.
Butuh penguatan implementasi
Hemat penulis, mestinya pemerintah tidak menjadika hal-hal teknis sebagai landasan perubahan arah dan format otonomi daerah. Pemerintah perlu mengedepankan subtansi visi otonomi daerah yang ingin dicapai. Perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah tidak terlalu penting untuk dilakukan karena membuat pembangunan daerah terhambat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai subtansi otonomi daerah.
Mekanisme yang sudah ada tetap dapat dilakukan dengan perbaikan-perbaikan konsep untuk meminimalisrkan dampak-dampak negatif dari sistem yang ada seperti mmembangun manajemen pilkada secara langsung yang lebih efektif dan efesien, membangun sistem pendukung dalam mewujudkan prilaku politik para calon kepala daerah, menegakkan peraturan hukum tentang pelaksanaan pilakada, dan mendorong peran aktif masyarakat sipil dalam mewujudkan pelaksanaan pilkada sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Dengan melakukan hal-hal tersebut, secara langsung melahirkan kepemimpinan lokal yang berkapabelitas tinggi. Untuk mendukung kepemimpinan lokal tersebut, pemerintah perlu membangunan koordinasi dan sistem pengawasan dengan dilandasi prinsip transparansi, keadilan, persamaan, pemerataan, dan partisipasi, sehingga roda pemerintahan daerah berjalan dengan baik untuk mewujudkan pembangunan daerah yang dicita-citakan
Undang-undang 32/2004 melahirkan sejumlah masalah seperti tingginya biaya politik yang dikeluarkan negara dan para calon kepala daerah. Negara harus mengeluarkan banyak anggaran dari APBN/D untuk membiaya pelaksanaan pilkada secara langsung sehingga berpengaruh pada pemborosan anggaran untuk pembangunan daerah. Para calon kepala daerah harus mengeluarkan banyak biaya untuk suksesi pemenangan. Untuk mendapatkan anggaran sebagai suksesi pemenangan, tidak sedikit para calon kepala daerah melakukan segala hal terutama membuat kontrak politik untuk membiayai suksesi dengan syarat pihak lain mendapatkan “proyek” yang menguntungkan, sekalipun mengorbankan prioritas pembangunan yang lebih penting. Karena itu, pemenang pilkada tidak mampu membentuk dan melaksanakan kebijakan sesuai prioritas pembangunan untuk kebutuhan masyarakat menuju kesejahteraan. Tidak sedikit kepala daerah produk pemilihan langsung terjebak kasus korupsi sehingga berakhir pada penjara.
Berbagai persoalan yang ada mendorong pemerintah, politisi, dan akademisi untuk menentukan bentuk otonomi daerah yang tepat dalam mewujudkan pembangunan daerah berkemajuan. Baru-baru ini pemerintah melalui mendagri mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah pada konteks: (1) Gubernur dipilih langsung oleh rakyat, (2) bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota, dan (3) wakil gubernur diangkat gubernur, wakil bupati diangkat bupati, dan wakil wali kota diangkat wali kota. Usulan pemerintah tersebut memiliki dasar yang kuat terutama ditinjau pada aspek politik lokal.
Konteks pertama, gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat bagian dari bentuk penguatan otonomi pada tingkat propinsi karena secara prinsip masyarakat di kabupaten/kota dibawah wilayah kekuasaan propinsi. Konteks kedua, bupati dan wali kota dipilih DPRD karena berdasarkan pengalaman yang ada pemilihan langsung bupati dan wali kota membutuhkan biaya tinggi sehingga berdampak pada buruknya prilaku bupati dan wali kota dalam menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Konteks ketiga, belajar dari pengalaman pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih dalam satu paket berakhir pada pecah kongsi. Berdasarkan data mendagri, 94 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir. Persoalan ini berdampak buruk pada pembangunan dan tata kelola pemerintahan daerah.
Perubahan tanpa makna subtansi
Mengingat perubahan bentuk otonomi daerah terus dilakukan, maka muncul pertanyaan “Apa makna perubahan bagi pembangunan daerah?” pertanyaan ini perlu dijawab dengan kembali mengingat tujuan diterapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu agenda reformasi adalah menerapkan kebijakan otonomi daerah seutuhnya dengan tujuan mewujudkan politik lokal yang demokratis, percepatan pertumbuhan ekonomi, dan perbedayaan kearifan lokal. Pemerintah perlu memahi kembali tujuan (makna) kebijakan otomi daerah yang diusung Ryaas Rasyid sebagai konseptor kebijakan otonomi daerah. Menurut Ryaas Rasyid (2000:174) diterapkan kebijakan otonomi daerah dengan tujuan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif, memelihara suatu mekanisme kebijakan demokrasi, membangun struktur pemerintahan sesuai kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, mengembangkan manajemen pemerintahan yang efektif, membuka peluang pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah, dan menciptakan harmoni sosial serta memelihara nilai-nilai lokal.
UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah belum sepenuhnya diimplementasikan sudah dilakukan perubahan. Seharusnya pemerintah dapat memperbaiki manajemen pada tingkat implementasi seperti untuk mengendalikan peran DPRD dapat melalui penguatan peran lembaga pengawasan DPRD (lembaga penegak hukum). Namun perubahan sudah dilakukan ditandai keluarnya uu 32/2004. Uu 32/2004 diharapka mampu mengatasi persoalan yang ada, justru memperluas persoalan, sehingga pemerintah ingin menerapkan format yang lebih tepat sebagaimana usulan pemerintah yang dijelaskan sebelumnya. Karena itu, perubahan tidak berdampak positif pada pembangunan daerah sebagaimana yang dicita-citakan. Perubahan terus-menurus diyakini menjadi penghambat untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Mestinya pemerintah dapat menentukan strategi dan langkah untuk menggapai tujuan otonomi daerah yang sebenarnya.
Butuh penguatan implementasi
Hemat penulis, mestinya pemerintah tidak menjadika hal-hal teknis sebagai landasan perubahan arah dan format otonomi daerah. Pemerintah perlu mengedepankan subtansi visi otonomi daerah yang ingin dicapai. Perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah tidak terlalu penting untuk dilakukan karena membuat pembangunan daerah terhambat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai subtansi otonomi daerah.
Mekanisme yang sudah ada tetap dapat dilakukan dengan perbaikan-perbaikan konsep untuk meminimalisrkan dampak-dampak negatif dari sistem yang ada seperti mmembangun manajemen pilkada secara langsung yang lebih efektif dan efesien, membangun sistem pendukung dalam mewujudkan prilaku politik para calon kepala daerah, menegakkan peraturan hukum tentang pelaksanaan pilakada, dan mendorong peran aktif masyarakat sipil dalam mewujudkan pelaksanaan pilkada sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Dengan melakukan hal-hal tersebut, secara langsung melahirkan kepemimpinan lokal yang berkapabelitas tinggi. Untuk mendukung kepemimpinan lokal tersebut, pemerintah perlu membangunan koordinasi dan sistem pengawasan dengan dilandasi prinsip transparansi, keadilan, persamaan, pemerataan, dan partisipasi, sehingga roda pemerintahan daerah berjalan dengan baik untuk mewujudkan pembangunan daerah yang dicita-citakan