Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah lepas dari bencana alam, entah itu gempa, banjir atau terpaan angin yang maha dahsyat, yang memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tidak salah jika ada pakar yang menyatakan, bahwa Indonesia merupakan etalase bencana alam, dikarenakan hampir semua jenis bencana ada di sini.
Dalam berbagai kesempatan cukup sering kita mendengar beberapa pihak mengatakan bahwa timbulnya bencana tersebut dikarenakan Allah swt ingin menghukum bangsa Indonesia, karena telah melakukan banyak maksiat dan pelanggaran terhadap perintah Allah swt.
Seolah-olah menafikan sifat Allah swt yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap hamba-Nya serta Maha Pengampun dosa bagi setiap hamba-Nya yang bertobat. Kekeliruan pemahaman ini perlu diluruskan untuk tetap meletakkan sifat-sifat Allah swt sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kemusyrikan.
Dalam rangka meluruskan kesalahpahaman tersebut, pertama-tama haruslah dipahami bahwa Allah swt telah menuntun manusia agar tidak mengalami bencana di dunia maupun akhirat kelak dengan petunjuk berupa ayat-ayat Allah swt, dalam bentuk ayat-ayat Kauniyah dan ayat-ayat Quraniyah.
Ayat-ayat Kauniyah merupakan ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan Maha Pencipta melalui keteraturan yang terdapat di alam raya ini, seperti terbit dan terbenamnya matahari dari timur ke barat, pergerakan benda-benda langit yang teratur, sifat api yang membakar, sifat es yang dingin, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu diatur oleh hukum Allah swt yang disebut hukum alam (nature wet).
Ayat-ayat Quraniyah adalah ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan Allah swt melalui kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia dengan perantara para rasul yang telah dipilihnya. Ada kitab Zabur yang diturunkan untuk kaum Daud as, ada kitab Taurat yang diturunkan kepada kaum Musa as, ada kitab Injil yang diturunkan kepada kaum Isa as dan kitab Alquran yang diturunkan kepada kaum Muhammad saw.
Kitab-kitab tersebut diturunkan untuk memelihara komunitas manusia dari kebinasaan akibat perilaku sosio-religi yang menyimpang. Seperti kebinasaan kaum Ad dan Tsamud, akibat perilaku mereka yang menyimpang.
Manusia yang ingin selamat di dunia harus mematuhi ketentuan Allah swt sebagaimana tampak pada ayat-ayat Kauniyah yang ditunjukkan-Nya. Sementara manusia yang ingin selamat di dunia maupun akhirat, di samping harus mematuhi ayat-ayat Kauniyah, haruslah pula mematuhi ayat-ayat Quraniyah.
Pelanggaran terhadap ayat-ayat Allah tersebut, selalu mendatangkan sanksi atau bencana kepada manusia yang melanggarnya, dengan dimensi waktu yang berbeda. Pelanggaran terhadap ayat Kauniyah, akan langsung dirasakan oleh manusia selama hidup di dunia, bahkan kadang-kadang seketika.
Seorang yang tanpa sengaja atau dengan sengaja mencelupkan tangannya ke dalam air panas yang mendidih, akan mengalami rasa sakit yang hebat dan kulit melepuh dikarenakan telah melanggar aturan daya toleransi kulit dan daging manusia terhadap panas, atau dengan kata lain telah melanggar sunnatullah yang mengatur toleransi jaringan kulit maupun otot manusia terhadap panas.
Jaringan kulit dan otot manusia tidak diciptakan untuk menoleransi panas hingga mendekati suhu didih air, sehingga jika dicelupkan atau disentuhkan kepada panas pada suhu tersebut, niscaya akan rusak.
Sanksi yang diberikan Allah swt terhadap pelanggaran syariat dalam ayat Quraniyah memiliki masa tenggang waktu yang lebih panjang dibanding pelanggaran terhadap sunnatullah dalam ayat Kauniyah.
Sanksi tersebut bisa dirasakan mulai dari skala waktu dunia maupun skala waktu akhirat yang tidak terbayangkan oleh manusia kapan terjadinya, tapi pasti terjadi.
***
Allah swt telah memilih manusia sebagai khalifah di planet bumi. Agar tugas kekhalifahan dapat dilaksanakan dengan baik, manusia perlu memahami aturan-aturan yang terdapat di planet bumi tersebut, termasuk aturan mengenai tempat bermukim yang baik, yang membebaskan manusia dari bencana.
Berdasarkan perjalanan panjang sejarah peradaban manusia, dapat dipetik pelajaran (sunnatullah), yang menyatakan bahwa tempat bermukim yang baik adalah tempat yang bebas dari bencana alam atau memiliki risiko paling minim untuk terjadinya bencana alam.
Dengan demikian, membangun permukiman pada tepian pantai yang rawan terjadinya tsunami, pada lembah yang rawan mengalami erosi atau longsor, pada kaki atau punggung gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus, pada tepi sungai yang rawan banjir, jelas merupakan pelanggaran terhadap sunnatullah, sehingga Allah swt tidak dapat disalahkan atau dituding sebagai yang mendatangkan bencana terhadap manusia yang bermukim di tempat tersebut.
Bencana tersebut terjadi semata-mata karena kelalaian manusia membaca ayat-ayat Kauniyah yang sangat jelas keteraturannya.
Dalam perspektif ilmu tata ruang dan konservasi, kawasan rawan bencana yang disebutkan di atas, tidak layak untuk dijadikan tempat aktivitas manusia (kawasan budidaya), akan tetapi lebih layak untuk dijadikan kawasan konservasi, yaitu sebagai kawasan sempadan pantai bila terdapat di tepi pantai, kawasan sempadan sungai bila terdapat di tepi sungai, kawasan hutan konservasi bila terdapat di lembah atau kaki maupun punggung gunung yang rawan erosi maupun rawan terjadinya bencana gunung meletus.
Dengan pemahaman demikian ini, mudah-mudahan dapat menyadarkan berbagai pihak bahwa bencana yang menimpa umat manusia bukan semata-mata karena kemurkaan sang Khaliq, tetapi merupakan ulah manusia sendiri yang kurang memahami sunnatullah atau mereka paham, namun mengabaikannya sebagaimana sering kita lihat dan dengar terjadinya pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang, yang seharusnya diperuntukkan bagi kawasan konservasi, tetapi tetap digunakan sebagai kawasan budidaya (antara lain: pemukiman, kawasan industri dan perkebunan).
Dalam berbagai kesempatan cukup sering kita mendengar beberapa pihak mengatakan bahwa timbulnya bencana tersebut dikarenakan Allah swt ingin menghukum bangsa Indonesia, karena telah melakukan banyak maksiat dan pelanggaran terhadap perintah Allah swt.
Seolah-olah menafikan sifat Allah swt yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap hamba-Nya serta Maha Pengampun dosa bagi setiap hamba-Nya yang bertobat. Kekeliruan pemahaman ini perlu diluruskan untuk tetap meletakkan sifat-sifat Allah swt sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kemusyrikan.
Dalam rangka meluruskan kesalahpahaman tersebut, pertama-tama haruslah dipahami bahwa Allah swt telah menuntun manusia agar tidak mengalami bencana di dunia maupun akhirat kelak dengan petunjuk berupa ayat-ayat Allah swt, dalam bentuk ayat-ayat Kauniyah dan ayat-ayat Quraniyah.
Ayat-ayat Kauniyah merupakan ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan Maha Pencipta melalui keteraturan yang terdapat di alam raya ini, seperti terbit dan terbenamnya matahari dari timur ke barat, pergerakan benda-benda langit yang teratur, sifat api yang membakar, sifat es yang dingin, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu diatur oleh hukum Allah swt yang disebut hukum alam (nature wet).
Ayat-ayat Quraniyah adalah ayat-ayat yang menunjukkan keberadaan Allah swt melalui kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia dengan perantara para rasul yang telah dipilihnya. Ada kitab Zabur yang diturunkan untuk kaum Daud as, ada kitab Taurat yang diturunkan kepada kaum Musa as, ada kitab Injil yang diturunkan kepada kaum Isa as dan kitab Alquran yang diturunkan kepada kaum Muhammad saw.
Kitab-kitab tersebut diturunkan untuk memelihara komunitas manusia dari kebinasaan akibat perilaku sosio-religi yang menyimpang. Seperti kebinasaan kaum Ad dan Tsamud, akibat perilaku mereka yang menyimpang.
Manusia yang ingin selamat di dunia harus mematuhi ketentuan Allah swt sebagaimana tampak pada ayat-ayat Kauniyah yang ditunjukkan-Nya. Sementara manusia yang ingin selamat di dunia maupun akhirat, di samping harus mematuhi ayat-ayat Kauniyah, haruslah pula mematuhi ayat-ayat Quraniyah.
Pelanggaran terhadap ayat-ayat Allah tersebut, selalu mendatangkan sanksi atau bencana kepada manusia yang melanggarnya, dengan dimensi waktu yang berbeda. Pelanggaran terhadap ayat Kauniyah, akan langsung dirasakan oleh manusia selama hidup di dunia, bahkan kadang-kadang seketika.
Seorang yang tanpa sengaja atau dengan sengaja mencelupkan tangannya ke dalam air panas yang mendidih, akan mengalami rasa sakit yang hebat dan kulit melepuh dikarenakan telah melanggar aturan daya toleransi kulit dan daging manusia terhadap panas, atau dengan kata lain telah melanggar sunnatullah yang mengatur toleransi jaringan kulit maupun otot manusia terhadap panas.
Jaringan kulit dan otot manusia tidak diciptakan untuk menoleransi panas hingga mendekati suhu didih air, sehingga jika dicelupkan atau disentuhkan kepada panas pada suhu tersebut, niscaya akan rusak.
Sanksi yang diberikan Allah swt terhadap pelanggaran syariat dalam ayat Quraniyah memiliki masa tenggang waktu yang lebih panjang dibanding pelanggaran terhadap sunnatullah dalam ayat Kauniyah.
Sanksi tersebut bisa dirasakan mulai dari skala waktu dunia maupun skala waktu akhirat yang tidak terbayangkan oleh manusia kapan terjadinya, tapi pasti terjadi.
***
Allah swt telah memilih manusia sebagai khalifah di planet bumi. Agar tugas kekhalifahan dapat dilaksanakan dengan baik, manusia perlu memahami aturan-aturan yang terdapat di planet bumi tersebut, termasuk aturan mengenai tempat bermukim yang baik, yang membebaskan manusia dari bencana.
Berdasarkan perjalanan panjang sejarah peradaban manusia, dapat dipetik pelajaran (sunnatullah), yang menyatakan bahwa tempat bermukim yang baik adalah tempat yang bebas dari bencana alam atau memiliki risiko paling minim untuk terjadinya bencana alam.
Dengan demikian, membangun permukiman pada tepian pantai yang rawan terjadinya tsunami, pada lembah yang rawan mengalami erosi atau longsor, pada kaki atau punggung gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus, pada tepi sungai yang rawan banjir, jelas merupakan pelanggaran terhadap sunnatullah, sehingga Allah swt tidak dapat disalahkan atau dituding sebagai yang mendatangkan bencana terhadap manusia yang bermukim di tempat tersebut.
Bencana tersebut terjadi semata-mata karena kelalaian manusia membaca ayat-ayat Kauniyah yang sangat jelas keteraturannya.
Dalam perspektif ilmu tata ruang dan konservasi, kawasan rawan bencana yang disebutkan di atas, tidak layak untuk dijadikan tempat aktivitas manusia (kawasan budidaya), akan tetapi lebih layak untuk dijadikan kawasan konservasi, yaitu sebagai kawasan sempadan pantai bila terdapat di tepi pantai, kawasan sempadan sungai bila terdapat di tepi sungai, kawasan hutan konservasi bila terdapat di lembah atau kaki maupun punggung gunung yang rawan erosi maupun rawan terjadinya bencana gunung meletus.
Dengan pemahaman demikian ini, mudah-mudahan dapat menyadarkan berbagai pihak bahwa bencana yang menimpa umat manusia bukan semata-mata karena kemurkaan sang Khaliq, tetapi merupakan ulah manusia sendiri yang kurang memahami sunnatullah atau mereka paham, namun mengabaikannya sebagaimana sering kita lihat dan dengar terjadinya pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang, yang seharusnya diperuntukkan bagi kawasan konservasi, tetapi tetap digunakan sebagai kawasan budidaya (antara lain: pemukiman, kawasan industri dan perkebunan).